“Memalukan!” murka lelaki yang beberapa tahun lagi usianya akan menginjak setengah baya itu.
Gadis bernama Shakyra itu memalingkan wajah dengan kedua mata terpejam. Perlahan, napas yang sedari tadi ditahannya berembus pelan. Tak ada tamparan keras yang mendarat di pipinya. Setelah membuka mata, ternyata sesosok wanita tengah menahan ayunan tangan sang paman.
“Mas.” Wanita yang terlihat cantik dan anggun di usianya yang tak lagi muda itu menggeleng pelan. “Jangan kalap. Istighfar.”
Paman Kyra yang bernama Gunawan itu menend4ng bufet di ruang tengah hingga dua perempuan di dekatnya tersentak. Kyra sy0k, selama emosi, Pak Gunawan tak pernah me-mukul, atau menend4ng barang, apa lagi main tangan terhadap siapa pun. Lelaki itu lebih sering memilih bersikap dingin daripada orang rumah atau seisi rumahnya dijadikan pelampiasan atas emosinya.
“Maaf, Om ... maaf ... maafin Kyra.”
Kyra tersedu-sedu dalam pelukan Bu Dina. Kedua tangannya bergantian menghapus jejak air mata yang mengalir sedari tadi.
“Om kecewa, Kyra. Om kecewa.”
Pak Gunawan mengusap wajahnya dengan gerakan kasar. Tak ada nada membentak dalam kalimat yang diucapkan Pak Gunawan. Namun, nada rendah dengan raut frustrasinya menggambarkan seberapa dalam rasa kecewa yang telah Kyra berikan.
“Om, maaf.”
Bu Dina mengusap punggung keponakannya dengan penuh sayang. Lalu, wanita berkaos biru itu menuntun Kyra menuju kursi setelah mendapat isyarat mata dari Pak Gunawan.
Setelah duduk berhadapan dengan Pak Gunawan di ruang televisi, tangis Kyra sedikit reda karena di sampingnya, Bu Dina terus menguatkan. Namun, Kyra masih sesenggukan. Saat ini Kyra tak berani menatap pamannya, bahkan sekadar melirik pun tak mampu.
“Sekarang beri tau Om, siapa ayah dari janin yang kamu kandung?”
Kyra semakin menunduk takut. Bukan takut karena interogasi pamannya, tetapi Kyra takut kalau seandainya ayah dari janinnya enggan bertanggungjawab, pamannya pasti akan semakin mengamuk. Yang lebih takutnya lagi, Kyra tidak mau orang yang dia cintai itu terluka.
“Kyra, jawab pertanyaan Om.”
Pak Gunawan masih berusaha keras mengendalikan emosi. Namun, keponakannya itu malah kembali terisak dengan bahu yang masih bergetar.
“Sekali lagi Om tanya, siapa ayah dari janin yang sedang kamu kandung, Shakyra? Siapa!”
Hasilnya nihil. Kyra enggan angkat bicara dan keputusannya itu membuat Pak Gunawan menahan murka.
“Gugurkan anak itu, Kyra!”
Kyra terperanjat. Dia menatap Pak Gunawan sebentar, lalu menggeleng saat kepalanya menoleh ke arah Bu Dina.
“Mas, jangan bentak-bentak Kyra seperti itu. Lagi pula kita jangan menghakimi Kyra. Kita dengarkan alasan dia dulu. Beri Kyra waktu.”
“Lalu bagaimana caranya supaya kita bisa mendengarkan penjelasan dia sementara Shakyra mendadak g4gu, Ma?”
Bu Dina mengucap istighfar. Lalu, dia mencoba menengahi perselisihan antara paman dan keponakan.
“Kyra, bisa kasih tau Tante sama om siapa orangnya, Sayang? Kamu tenang saja, kami begini supaya kami bisa meminta pertanggungjawaban dari orang tersebut.”
Melihat Shakyra terdiam, Pak Gunawan beranjak bangun. Langkah lebarnya mengayun ke arah jendela. Pak Gunawan berdiri membelakangi keponakan dan istrinya. Perlahan, dia menyibak gorden yang menampilkan pemandangan malam tanpa cahaya bulan.
“Shakyra Anastasya,” ucap Pak Gunawan dengan suara berat. Sontak, pandangan Kyra dan Bu Dina pun tertuju kepada Pak Gunawan. “Kamu memang bukan darah daging Om dan tante. Tapi kamu harus tau, Kyra, setelah orang tuamu meninggal dan menitipkan tanggung jawabnya kepada kami, kamu sudah kami anggap kamu seperti putri kami sendiri. Tidak ada yang kami beda-bedakan. Kamu dan sepupu-sepupumu itu Om samaratakan. Tapi kenapa kamu malah membalasnya dengan cara seperti ini, Kyra?”
“Maafin Kyra, Om,” isak Kyra dengan kepala menunduk dan bahu yang kembali bergetar kuat.
“Kamu anak gadis satu-satunya di rumah ini. Kamu anak gadis yang selalu membanggakan Om dan tantemu. Kamu mau tau salah satu impian terbesar Om terhadap kamu, Kyra? Kamu mau tau?”
Kyra masih menangis. Namun, dia terus mencoba mengendalikan diri agar tangisnya tidak semakin menjadi-jadi.
Pak Gunawan pun mengusap wajahnya lagi. Lalu, dia berbalik agar bisa melihat wajah rapuh keponakannya.
“Om ingin mewakili mendiang kakak Om yang tak lain mendiang ayahmu untuk menjabat tangan calon suamimu di pernikahan kalian kelak, Kyra.”
Bu Dina mengusap bahu Kyra seraya menenangkannya. Pinta isyaratnya terhadap sang suami agar berhenti bicara kepada Kyra tak digubris Pak Gunawan. Bu Dina tahu, kalau Pak Gunawan sedang berada di titik kecewanya. Lelakinya itu terlihat kacau setelah mengetahui fakta yang selama ini disembunyikan Kyra.
“Kyra, sudah bisa kasih tau Tante siapa orangnya, Sayang?”
Kyra masih bertahan dengan isak dan kebungkamannya. Pak Gunawan tak tahan melihatnya. Dia ingin memb4nting apa saja yang ada di sekitarnya. Namun, Pak Gunawan sadar kalau hal itu tidak akan memecahkan masalah.
“Kyra, harus dengan cara apa lagi Om bertanya sama kamu? Siapa lelaki bej4t itu? Siapa, Shakyra!” bentak Pak Gunawan.
“Assalamualaikum?”
Suara berat dari arah ruang tamu menyita perhatian semua orang. Walau hatinya masih diliputi em0si, tapi Pak Gunawan masih menyempatkan menjawab salam. Begitu juga dengan Bu Dina yang menjawab dengan nada lirih.
“Ada apa, Bun?” tanyanya ketika melihat mata dua perempuan di depannya sembab.
“Baik. Kalau kamu tetap bersikeras seperti ini, Om tidak akan sungkan untuk mengambil keputusan terbaik.”
“Maksud Mas apa?” tanya Bu Dina panik.
“Kemasi barang-barangmu dan tinggalkan rumah Om malam ini juga,” lanjut Pak Gunawan, mengabaikan tanya sang istri.
“Mas, kita bisa bicarakan semua ini dengan kepala dingin, Mas. Beri Kyra waktu.”
Kyra masih terisak dengan kepala menunduk. Tubuhnya bahkan masih membeku di tempat. Kyra ingin bersuara, tapi dia rasa semua itu akan percuma. Jika kebenaran Kyra katakan, maka permasalahan baru akan terus berdatangan, kesimpulan itulah yang Kyra dapatkan.
“Baik. Aku akan memberi dia waktu. Jika besok keponakanmu itu tidak membawa b4jing4n itu ke sini, maka jangan harap kakinya akan menginjak di rumah ini lagi. Tapi jika dia berhasil membawa b4jing4n itu, maka saat itu juga, mereka harus dinikahkan.”
Tubuh Kyra menegang bersamaan dengan air mata yang terus menetes. Kepalanya pening bukan main. Sejenak, dia menatap sosok yang sedari tadi terdiam memperhatikan. Lalu, Kyra memberanikan diri menatap sang paman yang hendak berlalu menuju kamar.
“Om, orang itu Kak Shaka, Om,” kata Kyra, mendahului Bu Dina yang hendak menjawab tanya.
Seketika, ketegangan di ruang televisi kian terasa. Lelaki bernama Arshaka itu memandang Kyra dengan tatapan tak percaya. Tanpa bertanya-tanya pun dia sudah tahu jawaban dari akar pertengkaran di rumah.
“Kamu yakin, Kyra?” Pak Gunawan memastikan.
Arshaka menatap Kyra dengan sorot tak percaya saat gadis yang sudah dia anggap seperti adik sendiri itu mengangguk mantap. Pandangannya beralih kepada Pak Gunawan. Dari kejauhan, Arshaka sudah bisa melihat tatapan ber4pi-4pi dari sorot lelaki yang selalu dihormatinya.
Dengan langkah lebar dan api emosi yang kian berkobar, Pak Gunawan menghadiahi lelaki yang usianya sembilan tahun di atas Kyra itu dengan pukul4n keras.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nikah tanpa Cinta
General FictionKyra tidak pernah menyangka kalau dia akan menikah dengan lelaki yang bahkan tak pernah singgah dalam mimpi dan angannya. Bagi Kyra, nikah tanpa cinta itu bagai Kopi tanpa Gula, karena Pemanis itu sendiri sudah pergi tanpa pamit. Cowok yang menjanji...