Bab 17

143 11 0
                                    

Hohohooo ... Kyra datang lebih cepat. 😂 Semoga suka, yaaa. Selamat membaca.

***

“Sakit,” rengek Kyra.

Kyra sudah berada di ruang rawat inap dari dua belas jam yang lalu. Dia sedang belajar memiringkan tubuh sedikit-sedikit sesuai instruksi dokter.

“Sabar.”

“Kak Shaka sabar sabar mulu. Kak Shaka nggak ngerasain sih gimana rasanya kulit abis disayat.”

Kalau tidak ingat tempat dan punya banyak kekuatan, Kyra ingin sekali menangis kencang. Sialnya, sekadar bicara saja dia kesulitan. Butuh persiapan dan mood baik untuk mengucapkan sepatah dua patah kalimat.

“Mau minum?”

Kyra menggeleng pelan. Entahlah, sedari tadi dia tidak nafsu makan dan minum. Kyra hanya ingin berdiam diri saja.

Tak lama berselang, bayi laki-laki berbobot tiga kilogram itu merengek tanpa suara. Kepalanya bergerak gelisah, sementara kedua tangannya pun menyingkap kain, dan selimut yang menghangatkan tubuhnya dengan gerakan pelan.

Perhatian dua orang dewasa itu pun tertuju pada bayi Kyra yang bernama Muhammad Arzan Ravindra. Sebenarnya nama Muhammad Arzan tersebut diberikan oleh pak Gunawan. Arshaka tidak berani menamainya karena dia takut Ardhan tak akan suka. Bagaimanapun, Arzan merupakan darah daging Ardhan, meskipun dalam Islam, Arzan tidak mempunyai hubungan nasab dengan ayah biologisnya.

Pak Gunawan berharap kalau kelak, Arzan akan menjadi anak yang berguna seperti arti namanya. Nama Ravindra sendiri diberikan oleh Arshaka yang diambil dari bahasa Sanskerta yang berarti kekuatan. Arshaka berharap kalau nanti Arzan akan menjadi anak yang berguna dan kuat, serta menjadi kekuatan untuk orang tua, dan orang-orang yang menyayanginya.

“Hai, Son. Kamu aus, ya?” tanya Arshaka sambil mengelus pelan pipi Arzan.

“Kak Shaka, Kyra bisa minta tolong bikinin susu buat Arzan?”

Arshaka menatap Kyra yang sedang meringis di brankar. “Ra, kata dokter dan suster Arzan baiknya mi-mimi ke kamu. Jangan pake susu formula.” Arshaka sedikit gagap saat mengatakannya.

“Tapi, Kak—”

“Kakak panggilkan suster buat bantu kamu. Oh, iya, kamu mau Kakak belikan apa?”

***

Dua bulan sudah Arshaka menikmati peran barunya menjadi orang tua Arzan. Bayi lelaki yang rambutnya mulai tumbuh itu kini mulai menemaninya begadang. Sungguh, memomong Arzan di sela-sela waktu luangnya membuat Arshaka kecanduan.

Tak lama kemudian, Kyra menghampiri Arshaka dan Arzan dengan segelas kopi beserta makanan ringan. Melihat Arshaka beranjak, Kyra sigap mendekati Arzan karena buah hatinya itu akan menangis.

Kyra mengusap pelan paha Arzan. Sebelah tangannya lagi mengelus sayang pipi cabinya. Setelah Arzan kembali terlelap dari gangguan Arshaka, baru lah Kyra beringsut bangun menjauhi ranjang.

“Kamu udah makan, Ra?”

Kyra menggeleng. “Nanti aja, Kak.”

Setelah menyecap kopi buatan Kyra, Arshaka kembali berkutat dengan pekerjaannya. Sesekali Arshaka mengecek ponselnya seperti biasa. Sekian menit berlalu, Arshaka merasa kalau sedang ada yang memperhatikannya.

“Kenapa?” tanya Arshaka sambil melirik Kyra, lalu fokusnya kembali ke laptop di pangkuan. Biasanya, kalau Kyra menatap lama seperti itu akan ada yang dia sampaikan.

“Om Gunawan telepon.”

Kyra menatap Arshaka yang masih fokus pada layar laptop. Ada rasa aneh saat membayangkan kemungkinan di kemudian hari. Kyra merasa bahwa lelaki yang lebih sering menghujani perhatian itu berhasil menggeser posisi Ardhan secara perlahan.

“Terus?”

Kyra berpura-pura membetulkan selimut Arzan yang tersingkap. Kyra tidak boleh berpikir macam-macam. Semuanya harus berjalan sesuai rencana agar tidak ada yang terluka.

“Mereka nanyain gimana rumah tangga kita. Ada perkembangannya atau gimana.”

Pergerakan tangan Arshaka pada tuts laptop terhenti. Lelaki berkaos hitam polos itu menatap Kyra yang ternyata sedang memandangnya juga.

“Arzan udah lahir, bahkan dia juga udah besar, Kak. Kyra udah bisa rawat Arzan sendiri, kok.”

Arshaka masih diam seribu bahasa. Namun, tatapannya masih tertuju kepada Kyra.

“Kakak kok diem terus?”

Arshaka mengembuskan napas kasar. Laptop di pangkuan segera disimpan di meja. Kebetulan, setelah Kyra melahirkan, kamar Arshaka dijadikan kamar bersama karena ukurannya yang terbilang agak luas. Arshaka juga memindahkan sofa, meja, dan barang-barang lain yang ditempatkan di sana.

“Lalu?”

“Kyra siap kalau semisal Kakak mau kita cepai secepatnya.”

“Tapi Kakak yang berat, Ra.”

“Berat?”

Mata Kyra memicing curiga. Terlintas pikiran bahwa Arshaka menyukainya. Namun, dia rasa tidak mungkin karena Arshaka dan Aleena saling cinta.

“Kakak nggak bisa jauh dari Arzan.”

Untung saja Kyra tidak berekspektasi terlalu tinggi. Dari awal dia memang tidak menaruh harapan besar dalam pernikahannya bersama Arshaka. Namun, dalam hati kecilnya Kyra berharap kalau pernikahannya tidak akan usai.

“Lalu kak Aleena?”

“Kenapa bawa-bawa Leena?”

“Kak, Kyra udah tau semuanya. Kakak berhak bahagia. Kakak nggak harus berkorban terlalu banyak buat Kyra dan Arzan.”

Arshaka menggeleng pelan sambil mengalihkan pandangannya dari Kyra. “Kakak nggak ngerti maksud kamu, Ra.”

“Waktu Kyra oprasi Kak Aleena nemenin Kakak kan?”

Arshaka terdiam, lalu kepalanya mengangguk mantap. Tak lama setelah berkenalan dengan orang tuanya, Aleena memang langsung pamit pulang. Bahkan sampai sekarang, gadisnya itu belum pernah menengok Arzan dan Kyra. Arshaka tidak perlu berpikir dari maba Kyra mengetahui semuanya dari siapa, karena pak Gunawan atau bu Dina pasti yang sudah mengatakannya.

“Kakak juga kerja di kantor kak Aleena, kan? Kalian juga sering makan bareng. Daripada ngundang fitnah—”

“Kenapa harus ngundang fitnah? Aku sama Leena cuma makan biasa, Ra. Kami nggak ngapa-ngapain.”

Kyra tersenyum tipis kala mendengar pengakuan Arshaka. Awalnya dia memang tidak percaya dengan pesan-pesan yang sering diterimanya. Kyra masih bersikap biasa-biasa saja meskipun pesan tersebut disertai foto ataupun video. Namun, setelah mendengarkan pengakuan langsung Arshaka, ternyata rasanya berbeda, seperti ada yang tercubit di hati Kyra.

“Tapi kalo om atau tante tau gimana? Makan atau jalan bareng dengan atasan, klien, atau teman mungkin biasa, tapi Kakak nggak mikirin gimana pandangan mereka sama Kakak kalo hal-hal sepele itu sering Kakak lakuin?”

“Kamu tenang aja, Ra. Aku juga bakal ambil keputusan secepatnya. Paling lambat seminggu dari sekarang.”

Kyra terdiam. Hampir satu tahun menyelami karakter Arshaka, Kyra sudah tahu bagaimana dia mendeskripsikan perasaannya. Arshaka memang tidak akan marah-marah, tetapi melalui panggilan “aku” dan “kakak”, semuanya sudah tergambar dengan jelas.

Nikah tanpa CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang