“Jadi namanya Ardhan?” tanya Arshaka ketika keduanya sudah di mobil menuju arah pulang.
“Iya, Kak.”
Arshaka mengangguk pelan seraya melajukan mobilnya membelah jalanan Tebet yang tidak seramai di jam-jam tertentu.
“Gimana kalau kita datangin orang tua Ardhan dan memberitahu mereka kebenaran—”
“Jangan!”
Arshaka menoleh ke arah Kyra duduk. Reaksinya benar-benar mengundang perhatian.
“Kenapa?”
“Orang tua Ardhan udah cerai.”
“Terus?”
“Mamanya sakit-sakitan dan papanya udah nikah lagi. Kyra nggak mau kalau kabar kehamilan ini membuat sakit mamanya Ardhan bertambah parah. Apalagi papanya Ardhan itu galak, Kak, dia pasti bakal ngelakuin apa aja supaya Ardhan tetep sekolah.”
Arshaka menghela napas dalam. Terkadang dia tidak mengerti mengapa cara berpikir perempuan begitu rumit dan terkadang sulit untuk dipahami. Seperti pola pikir Kyra contohnya, dia rela memberikan semuanya, tapi tidak bisa memperjuangkan haknya untuk dinikahi Ardhan.
“Kak Shaka kok diem?”
“Aku cuman mikir, memang apa susahnya menikah sambil kuliah. Temen-temenku juga banyak yang kuliah sambil nikah dan semuanya baik-baik aja.”
“Tapi papa Ardhan beda.”
“Terus sekarang kamu mau gimana? Ardhan juga gimana kabarnya?”
“Kyra kan udah bilang kalau Ardhan susah dihubungi.”
“Oke.”
Kyra terdiam. Mati-matian dia menahan sesak di dada yang kian membuncah. Kyra tak mau menangisi Ardhan di depan Arshaka. Kyra tak mau itu terjadi.
“Kak, kalau misal Kakak berubah pikiran, Kyra nggak papa kok kalau kita batal nikah. Nanti Kyra jujur sama tante dan om asal Kakak jangan bawa-bawa nama Ardhan.”
Kyra mengembuskan napas dalam. Dadanya benar-benar sesak pun dengan pikirannya. Terlalu berat masalah yang sedang dihadapinya.
Sempat terlintas dalam benak Kyra untuk menyerah dan menyusul kedua orang tuanya saja. Namun, akal sehatnya menolak itu semua. Kyra sudah melakukan dosa besar dan dia tidak mau jika hidupnya berakhir dengan berbuat dosa lagi.
Sejujurnya Kyra enggan membawa-bawa Arshaka dalam masalahnya. Namun, semuanya sudah terlanjur. Kyra sudah terlanjur menyeret Arshaka di saat keadaan terdesak. Itu merupakan cara teraman Kyra agar hubungannya dengan Ardhan bisa baik-baik saja, meskipun dia sendiri juga belum tahu arti ‘baik-baik saja’ yang sesungguhnya itu yang seperti apa.
Menikah dengan Arshaka mungkin bisa menyelamatkan reputasi sang paman, tapi bagaimana dengan perasaan keduanya, perasaan pasangan mereka, terutama perasaan pacar Arshaka sendiri. Sungguh, Kyra merasa menjadi orang paling egois di dunia.
“Jangan terlalu dipikirkan. Soal janji tadi, aku bakal tepatin, aku bakal nikahin kamu.”
“Tapi, Kak ....”
Saat itu juga, tangis Iyra pecah. Kyra tak bisa membendung air mata yang sedari tadi mendesak ingin keluar. Kyra masih tak menyangka kalau ada lelaki sebaik Arshaka yang mau menyelamatkan nama baik keluarga di saat cowok yang selama ini dia cintai malah pergi begitu saja.
Arshaka segera menepikan mobil Pak Gunawan. Setelah melepas seatbelt, Arshaka membiarkan mesin menyala. Lalu, Arshaka membawa Kyra dalam pelukannya.
“Udah, jangan nangis. Nanti ayah ngira kita abis macem-macem lagi. Mana ini udah malem. Kita kan izinnya cuman beli pecel doang.” Setelah melepas pelukan, Arshaka mengusap kepala Kyra seraya merapikan rambutnya. “Ada makanan yang kamu mau?”
Kyra menghapus air matanya dengan kasar. “Kita pulang aja, Kak. Makasih banyak, ya, Kak.”
***
Siang ini, Arshaka dan Bu Dina mengantar Kyra periksa. Pak Gunawan sendiri tak bisa ikut karena ada keperluan mendadak.
Saat kaos Kyra disingkap asisten dokter, Arshaka bergegas mengalihkan pandangan. Dia merasa canggung melihat tiga perempuan yang pandangannya berpusat ke ibu hamil dan pada monitor.
“Usia kandungannya berapa bulan?” tanya Bu Dina.
Kebetulan, dokter yang menangani Kyra itu merupakan teman lama Bu Dina. Saat mengandung putranya, dokter tersebut jugalah yang menanganinya hingga Bu Dina melahirkan.
“Usia janinnya sudah memasuki minggu ke-14, ya, Din.” Dokter sebaya Bu Dina itu menggeser transducer ke bagian perut Kyra yang sudah diolesi gel.
“Loh, suaminya nggak pengen liat perkembangan janinnya, nih?” tanya asisten dokter yang diperkirakan seumuran Arshaka.
Senyum di wajah Kyra memudar. Dia dan Bu Dina saling melempar tatapan. Namun, beruntungnya Arshaka langsung mengambil alih situasi yang benar-benar tak diharapkan itu.
Langkah lebar Arshaka mengayun ke arah brankar. Dia dan Kyra sempat saling bertukar pandang. Namun, tak lama setelahnya mereka kembali fokus pada monitor.
Setelah pemeriksaan USG selesai, asisten dokter di sampingnya memberikan beberapa helai tisu kepada Kyra untuk mengelap gel di perutnya. Lalu, Kyra dan Bu Dina pun duduk di kursi seberang dokter, sementara Arshaka berdiri di samping Kyra.
“Begini, ya, sebenarnya kehamilan di usia muda seperti Shakyra ini sangat berisiko tinggi.”
“Risiko tinggi seperti apa, Dok?” Kyra agak syok saat mendengarnya. “Tapi janin saya baik-baik aja kan, Dok?”
Dokter tersebut tersenyum mendengarnya. “Baik. Untuk saat ini kondisinya baik. Tapi ada beberapa hal yang harus kalian perhatikan mengingat usia Shakyra masih terbilang muda.”
Dokter pun menjelaskan semuanya dengan lugas, tentunya dengan cara supaya tidak menakut-nakuti Kyra juga.
***
Sudah tiga malam Kyra kesulitan memejamkan mata. Ucapan dokter beberapa hari yang lalu membuatnya takut untuk terlelap. Kyra merasa diteror oleh mimpi-mimpi buruknya. Kyra takut kalau apa yang ditakutkannya terjadi.
Kehamilannya bukan berisiko pada diri Kyra sendiri, melainkan pada sang janin juga. Organ reproduksi gadis di bawah umur dua puluh tahun kebanyakannya belum siap untuk mengandung. Yang ditakutkan dokter teman Bu Dina, dia takut Kyra melalui semua itu dan dia atau calon buah hatinya tidak akan bisa melewati fase tersebut.
“Kyra, tidur belum, Nak?”
Kyra menatap pintu kamarnya. “Belum, Tan.”
“Ada yang mau Tante dan om bicarakan. Bisa keluar sebentar, Sayang?”
Bu Dina memang begitu. Panggilan sayang terhadap Kyra dan Arshaka memang benar-benar menggambarkan perasaannya terhadap orang yang dia panggil. Arshaka dan Kyra sudah dia anggap anak sendiri. Dalam diamnya, terkadang Bu Dina tidak percaya kalau semesta akan memberikan kejutan dengan menyatukan anak angkat dan juga keponakannya itu.
“Tunggu sebentar, Tan. Nanti Kyra nyusul.”
Kyra segera menyambar ponselnya. Jari-jari tangannya bergerak cepat di atas keyboard. Setelah kata demi kata terangkai sempurna, Kyra langsung mengirimkannya tanpa ada keraguan sedikit pun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nikah tanpa Cinta
General FictionKyra tidak pernah menyangka kalau dia akan menikah dengan lelaki yang bahkan tak pernah singgah dalam mimpi dan angannya. Bagi Kyra, nikah tanpa cinta itu bagai Kopi tanpa Gula, karena Pemanis itu sendiri sudah pergi tanpa pamit. Cowok yang menjanji...