Bab 18

151 9 2
                                    

Kyra menatap jam dinding sambil menenangkan Arzan dalam gendongan. Sudah pukul sebelas malam, tetapi Arshaka tak kunjung tiba. Semenjak percakapannya beberapa waktu lalu, Arshaka memang menjaga jaraknya dengan Arzan dan Kyra. Dalam weekend pun, Arshaka akan menyibukkan diri dengan pekerjaannya.

“Arzan bobo, ya, jangan rewel. Mama ngantuk banget,” ucap Kyra sambil menepuk pelan pantat Arzan.

Tak lama kemudian, Kyra mendengar suara mobil memasuki halaman. Kyra sedikit lega karena Arshaka sampai rumah juga. Tanpa pikir panjang, Kyra menuju ruang tamu untuk menyambut Arshaka. Bila Arshaka tidak terlihat lelah dan mengantuk, Kyra ingin menitip Arzan sebentar.

“Kak, kok, pulangnya malem banget?”

“Banyak kerjaan, Ra.”

Arshaka melonggarkan dasinya. Dia berlalu melewati Kyra begitu saja.

Kyra menghela napas berat. Kyra memilih masuk ke kamar sebelah, tempat di mana dia tidur sebelum sekamar dengan Arshaka.

Rasanya Kyra ingin menangis saja. Dia mengantuk, lelah, dan cukup pusing dalam menghadapi Arzan yang rewel di setiap malamnya. Kyra juga merasa stres dengan rasa sakit bekas sayatan di perut bawahnya. Tak jarang dia menangis tanpa alasan. Sungguh, Kyra merasa gila dan tak bisa memahami perasaannya sendiri.

Di siang hari, Arzan memang tidur terus. Kyra sampai sering mengganggu tidur Arzan agar bayinya mau menyusu. Namun, tetap saja, Kyra merasa kelelahan karena tidak terbiasa begadang.

Meskipun sedang menangis tanpa suara, tetapi Kyra tetap menimang Arzan sambil menepuk pelan pantatnya. Kyra ingin Arzan terlelap atau paling tidak jangan rewel terus-terusan agar dia bisa istirahat. Yang paling penting, Kyra tidak mau merepotkan Arshaka.

Sekian menit berlalu, akhirnya bayi yang bobotnya sudah tiga kilogram lebih itu terlelap juga. Kyra merasa lega karena akhirnya dia bisa istirahat. Kyra bergegas menidurkan Arzan dengan pelan. Sayang, baru saja dia menata bantal, Arzan kembali merengek.

Kyra memejamkan matanya dengan kedua tangan terkepal kuat. Giginya beradu. Rasanya Kyra ingin melempar bantal yang sedang dipegangnya. Kyra dongkol kepada Arzan yang selalu seperti itu dan marah kepada Arshaka yang kini menjadi dingin.

“Ardhan sialan! Kalau bukan karena kamu, aku nggak bakalan kayak begini,” ucap Kyra di tengah isaknya.

***

Kyra menghela napas panjang. Kyra tak bisa menikmati perannya dengan baik, dia merasa sibuk sendiri, sedangkan Arshaka tak punya banyak waktu untuk mereka. Kyra lelah. Masa remajanya telah terenggut. Fase yang seharusnya dilalui dengan canda, tawa, dan keantusiasan akan pemahaman baru itu malah berakhir sulit.

Ya, Kyra sulit menerima status baru tersebut. Bukan tidak menyayangi Arzan, hanya saja Kyra merasa kalau waktunya belum pas.

Kendati begitu, Kyra tetap bersyukur. Masa mudanya mungkin sudah hilang. Namun, dia bisa berprofesi sebagai apa pun di usianya saat ini. Dia sempat ingin menyerah. Namun, kehadiran Arzan menamparnya dengan telak. Kyra dituntut agar bisa menjadi sosok ibu muda yang kuat, walaupun dia tertatih-tatih saat menjalaninya. Kyra dipaksa harus bisa melakukan apa pun, termasuk memasak makanan. Jika hidangan kali ini asin, maka esok, takaran garam itu harus dikurangi.

“Belum tidur?”

Kyra menoleh, lalu tatapan yang tadi sempat kosong karena melamun, kini terpusat pada televisi yang menyala.

“Belum ngantuk.”

“Arzan sudah tidur?”

“Kakak liat aja sendiri.”

Sebenarnya, Kyra tidak tahu pasti penyebab dia kesal dengan Arshaka. Kyra hanya menebak kalau dia terlalu lelah memomong Arzan sehari penuh, belum lagi malamnya. Sementara pendamping yang seharusnya berbagi tugas dengannya malah tidak peka, dan terkesan menjauh.

Nikah tanpa CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang