Bab 9

128 8 0
                                    

Kyra memiringkan tubuhnya kembali. Lima belas menit sudah berlalu, tapi kantuk tak kunjung datang. Kyra merasa gelisah, pegal, dan kesal sendiri, padahal dia sudah mencari kenyamanan dengan mencoba berbagai macam posisi, tapi belum mengantuk juga.

Di sebelahnya, Arshaka pun tak bisa memejamkan mata. Kedua matanya memang terkatup bak orang yang sudah dibuai mimpi, ditambah tidak sering mengubah posisi tidur seperti Kyra, tetapi sebenarnya Arshaka pun kesulitan untuk tidur. Akhirnya dia membuka mata dan memperhatikan Kyra yang sekarang sedang berbalik menghadapnya.

“Kyra?”

Arshaka tersenyum melihat Kyra masih berpura-pura terlelap. Arshaka pun mengubah posisi tidurnya dari terlentang menjadi menghadap Kyra.

“Kakak tau kalau kamu belum tidur.”

Awalnya, Arshaka memperhatikan mata Kyra yang bulu matanya bergerak pelan tak beraturan. Lama kelamaan, Arshaka memperhatikan semua yang ada di wajah Kyra satu per satu. Ini adalah kali pertamanya Arshaka melihat Kyra dengan jarak dekat dan dalam durasi lumayan lama.

Tak lama berselang ....

“Ih, Kak Shaka ngapain liatin Kyra terus,” ujar Kyra seraya menarik bantal guling hingga sejajar dengan kepala mereka. Setelahnya, Kyra berbalik memunggungi Arshaka.

“Tidak baik, loh, seorang istri tidur memunggungi suaminya.”

Kyra kembali berbalik dan menatap Arshaka yang sedang tersenyum geli. “Kalau Kakak lupa, kita ini cuman nikah pura-pura. Lagian Kyra kemarin kan udah minta ke Kak Shaka supaya nggak usah nikahin Kyra.”

Arshaka bangun dari berbaringnya. Arshaka mengambil bantal guling yang dipakai sekat oleh Kyra lalu menumpuknya. Setelah tertumpuk bersama dua bantal lain, Arshaka duduk menyandar.

“Ya, kamu benar. Tapi status pernikahan kita ini sah dia mata agama dan negara. Selagi kita masih terikat pernikahan, kita wajib saling mengingatkan kalau salah satu di antara kita kehilangan arah tujuan.”

“Tapi, Kak—”

“Kebanyakan tapi kamu ini. Apa salahnya kita belajar menjadi lebih baik supaya nanti setelah kita menemukan pasangan masing-masing, kita tinggal langsung ambil peran tanpa capek-capek praktik.”

“Tapi Kyra takut.” Kyra ikut bangun. Kyra duduk tegak dengan badan menghadap Arshaka. Raut cemas tercetak jelas di wajahnya.

“Takut apa?” Alis Arshaka bertautan.

“Takut Kak Shaka beneran suka sama Kyra. Kan serem. Haha!”

Arshaka langsung menutup mulut Kyra. Malam-malam bukannya menjerit, tetapi Kyra malah tertawa. Jangan sampai mengundang curiga orang rumah.

“Jangan berisik. Kakak itu sudah anggap kamu sebagai adik Kakak sendiri. Kalaupun suka, Kakak suka sebagai kakak ke adiknya.”

Kyra terdiam sejenak. “Tapi dalam silsilah keluarga, seharusnya Kyra yang dipanggil “kakak”. Kan, Kyra anak tertua kakaknya Om Gunawan.”

Arshaka mengangguk kecil. “Iya. Tapi Kakak ini cuman anak kurang beruntung yang dipungut sama om kamu.”

Kyra menendang pelan kaki Arshaka. “Kakak ngomong apa, sih, pungut-pungut. Om sama tante bisa sedih kalo denger ucapan Kak Shaka.”

“Itu fakta, Kyra.” Shaka mengacak rambut Kyra. “Mendingan Kakak ngomong apa adanya daripada kamu tidak ada sopan-sopannya main tendang sama suami.”

Kyra cengengesan dan langsung menarik kakinya. “Maaf, Kak.”

Suasana canggung itu perlahan mulai menghangat. Karakter Arshaka kini mulai Kyra kenali. Ternyata Arshaka tidak sedingin dan sependiam yang dia kira.

“Tapi, Kak, kalo pacar Kakak tau kita nikah gimana?”

“Kenapa bahas itu lagi, Kyra?”

Kalau boleh jujur, Arshaka merasa terganggu oleh pertanyaan Kyra. Niat hati ingin berbincang ringan saja, tetapi Kyra malah menyinggung perasaannya.

“Kyra cuma mau pastiin aja. Nanti kalo kita ngontrak, pacar Kakak pasti sering main ke kontrakan kita. Nanti Kakak berduan dan Kyra pasti jadi obat nyamuk.”

Tiba-tiba saja Kyra menjadi kesal. Andai Ardhan mau menikahinya, mungkin Kyra tidak perlu memainkan banyak peran. Dia tidak akan merasa berada di posisi yang serba salah.

“Kamu ini selalu berpikir pendek. Memang siapa yang mau bawa-bawa orang lain ke kontrakan?” Arshaka menjitak pelan kening Kyra. Lalu, tangannya terulur hendak mengacak rambut Kyra. Namun, Kyra menghindari uluran tangan Arshaka.

“Ya, di perjanjian kita kan Kakak bebas mau bawa pacar Kakak ke kontrakan pun.”

Arshaka mengembuskan napas dalam. “Kamu ngerti maksud Kakak tadi nggak, Ra?”

“Maksud yang mana?”

“Yang Kakak bilang kalo kita harus saling mengingatkan kalau Kakak atau kamu salah.”

“Tapi perjanjian kita gimana?”

“Tidak ada perjanjian yang bisa bikin kita celaka.” Kali ini, Arshaka berhasil mengacak rambut Kyra. “Bawa orang lain ke kontrakan kita itu termasuk kesalahan besar. Makanya jangan keseringan baca novel, biar nggak punya pemikiran aneh.”

Arshaka kembali mengacak rambut Kyra yang tengah cemberut. Bagaimana tidak kesal, Arshaka mengatainya “berpemikiran aneh”, padahal Kyra menyangka kalau perjanjian yang pernah dibuatnya itu akan tetap berlaku.

“Terus hubungan Kakak sama pacar Kakak gimana?”

“Kakak juga bingung. Kakak aja tidak tau gimana kabar dia sekarang.”

Kyra terperanjat mendengar ungkapan Arshaka. “Lah, kenapa?”

“Kakak bilang tidak tau, Kyra.”

“Pacar Kakak secantik apa, sih?”

Kyra penasaran juga dengan wajah gadis yang berhasil mendapatkan hati Arshaka. Arshaka sampai sempat menolak menikahinya waktu itu.

Arshaka menyodorkan ponselnya yang kebetulan berada dalam jangkauan. Ponsel Arshaka menampilkan foto seorang gadis cantik berlesung pipit di kedua pipinya. Dari raut wajahnya, Kyra bisa melihat kalau gadis tersebut itu begitu cantik, dewasa, lemah lembut, penyabar, dan penyayang.

Kyra tidak cemburu terhadap Arshaka, tetapi hanya minder saja. Pacar suaminya itu terlihat begitu spesial di hati Arshaka. Kyra juga ingin Ardhan seperti Arshaka, paling tidak membuktikan janji yang akan selalu ada di sampingnya.

“Namanya Aleena.”

“Cantik,” komentar Kyra, “asli mana?”

Arshaka mengangguk kecil. Dia mengambil ponselnya yang tadi digenggam Kyra. “Bandung. Seminggu terakhir ini dia kayak menghindar.”

Kyra menunduk seraya memainkan jari-jari tangannya. “Maaf, ya, Kak, gara-gara Kyra hubungan Kakak sama Kak Aleena jadi—”

“Bukan karna kamu juga.” Arshaka mengembuskan napas kasar. “Sebelumnya kami pernah bertengkar. Leena meminta Kakak segera menikahinya untuk membuktikan keseriusan Kakak. Tapi kamu tau sendiri kalau Kakak belum mapan. Rumah belum punya, belum punya pekerjaan tetap juga, sedangkan keluarga Leena itu orang-orang terpandang.”

“Kakak kan kerja di kantor om.”

“Kakak tidak mau ngandelin orang lain, Kyra.”

“Om Gunawan bukan orang lain, tapi ayah Kakak.”

“Iya. Terserah kamu saja. Kamu doakan saja supaya kita punya jalan keluar dan bisa bersama dengan orang yang kita cinta.”

Kyra tersenyum seraya mengangguk. Tak lama berselang, Kyra juga ikut berbaring. Mungkin karena sudah puas mengobrol jadi kantuk menguasai matanya.

Nikah tanpa CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang