“Tensinya naik lagi, Bu. Tadi 150/90 mmHg, sekarang 160/80 mmHg,” kata bidan yang sedari tadi menangani Kyra. Kebetulan, dia merupakan bidan senior yang sedang bertugas.
“Kok, bisa naik terus, ya, Bu?”
“Ibunya harus rilex, jangan banyak pikiran, sebab naiknya tensi yang paling kuat itu dari pikiran.”
Kyra mengembuskan napas panjang. Bagaimana tidak banyak pikiran, tadi pagi dia dibentak Arshaka. Lelaki yang selalu ada itu akhir-akhir ini menunjukkan sikap berbeda. Dia tahu, Arshaka berubah agar kelak Kyra bisa kuat dalam menjalani lembaran baru tanpanya.
Selama menikah, Kyra memang bergantung pada Arshaka. Sikap manjanya semakin menjadi. Tak jarang, tengah malam ataupun sebelum pulang bekerja Kyra meminta dibelikan apa pun pada Arshaka.
“Mulasnya gimana, Bu Shakyra?” tanya bidan satunya lagi.
“Mulesnya bertambah, Bu.”
“Tapi bukaannya masih di pembukaan dua, Bu,” kata bidan junior yang baru saja menyimpan sphygmomanometer ke meja.
“Bu Shakyra, apa tidak ada keluarga yang bisa dihubungi?” tanya bidan senior.
“Ayah anak saya dan keluarganya di luar negeri, Bu.”
Kedua bidan itu beradu pandang. Mereka kurang percaya dengan jawaban Kyra. Pasalnya, bidan junior melihat Kyra turun dari ojek online ketika dia keluar dari IGD. Pakaian yang dikenakan Kyra juga bukan brand ternama, hanya daster biasa.
Dari segi wajah, warna kulit, dan cara berbicara mungkin Kyra memang terlihat seperti perempuan kelas atas. Namun, setelah berkomunikasi langsung dengan Kyra yang masih berusia muda dan pergi ke faskes kesehatan tanpa pendamping, kedua bidan itu menduga kalau ada sesuatu yang disembunyikan pasiennya.
“Kalau teman dekat?”
Kyra menggeleng.
“Begini, Bu Shakyra, saya sarankan kita lakukan cek darah, urine, gula darah dan cek lab yang lainnya sebentar bagaimana? Di catatan buku kehamilan hasilnya bagus semua. Tapi kaki Bu Shakyra bengkak, tensi tinggi terus meskipun sudah diberi obat anti tekanan darah tinggi, dan mulasnya kurang bagus. Kalau diinduksi, takutnya tensi Bu Shakyra bertambah tinggi. Satu-satunya cara melahirkan yang aman yaitu melalui prosedur sesar, Bu. Makanya kami meminta Ibu menelepon keluarga Ibu untuk membicarakan kondisi Ibu dan tindakan apa yang akan diambil karena fasilitas di puskes ini tidak lengkap.”
Setelah diberi penjelasan oleh bidan senior, Kyra termenung sebentar. Akhirnya Kyra mengambil ponselnya yang terletak di nakas samping brankar.
“Tapi nanti yang telepon kakak saya Ibu, ya? Saya lemes.”
“Baik,” jawab bidan senior.
“Semisal nanti sesar nggak papa kan, Bu?”
Kyra mengangguk pasrah. Kyra yakin kalau pihak medis yang dipercaya akan menghendel persalinannya bisa diandalkan. Lagi pula, Kyra lemas, kepala pusing bukan kepalang, mulas bertambah, dan panas pinggang kali ini luar biasa menyiksanya.
***
Di lain tempat, Arshaka kelabakan. Rambut berantakan, wajah kusut, dan pikirannya tak kalah semrawut. Arshaka merutuki dirinya sendiri yang tadi pagi lepas kendali. Andai bisa memutar waktu, dia ingin menahan diri agar tidak membentak Kyra.
Arshaka tidak pernah sekacau ini. Arshaka memang pernah patah hati dan gelisah karena Aleena, tetapi kali ini rasanya berbeda. Arshaka yakin alasannya bukan karena cinta, tetapi dia khawatir dengan keadaan kakak sepupu dan calon keponakannya.
“Sialan!” maki Arshaka sambil menendang ban mobil.
Sejurus kemudian, Arshaka mengucap istighfar beberapa kali. Dia menyugar rambut karena tidak bisa berpikir jernih. Sungguh, Arshaka pusing dan bingung harus mencari Kyra ke mana lagi. Ketika ponselnya bergetar, saat itu dia sedang meeting, dan ketika Kyra dihubungi kembali, nomornya sudah tidak aktif.
Selama menikah, Kyra tidak pernah bercerita mengenai teman-temannya. Orang-orang di sekeliling Kyra yang Arshaka tahu hanya Jeremy dan Ardhan. Jika Kyra ke tempat Ardhan, rasanya mustahil karena cowok itu tidak ada di Indonesia. Sedangkan jika ke tempat Jeremy lebih mustahil lagi karena mereka tidak sedekat itu.
Seolah-olah baru tersadar dari kebingungannya, Arshaka teringat pak Gunawan dan bu Dina. Ragu-ragu dia menelepon sang bunda.
“Kenapa, Ka? Kyra mulas lagi?” tanya bu Dina setelah menjawab salam Arshaka.
Arshaka membatu. Setelah mengartikan pertanyaan bu Dina, dia sadar kalau Kyra tak ada di sana.
“Aku cuman mau tanya kabar bunda sama ayah. Gimana, sudah mendingan, Bun? Maaf aku belum bisa nengokin Bunda.”
Bu Dina terbatuk-batuk. “Nggak papa, Ka. Alhamdulillah Bunda mendingan. Tinggal meriang aja. Kayaknya Bunda mau flu.”
“Ya sudah kalau begitu. Banyakin istirahat, Bun.”
Bu Dina terkekeh kecil. “Kamu ini lagi mengolok-olok Bunda? Kerjaan Bunda tiap hari istirahat terus. Ya sudah, salam sama Kyra. Kalau Kyra mulas atau tanda-tanda mau melahirkan seperti yang pernah Bunda kasih tau, kamu harus kasih tau Bunda atau ayah. Atau insya Allah minggu besok Bunda sama Ayah yang main ke rumahmu.”
“Iya, Bun. Bunda tenang saja.”
Setelah menjawab salam bu Dina, Arshaka menatap sekeliling. Dalam pencariannya yang tak menentu, Arshaka memilih masuk mobil. Arshaka memukul kemudi karena frustrasi nomor telepon Kyra belum bisa dihubungi juga.
Ketika mensetater mobil, ponsel Arshaka berdering. Sederet nomor baru terpampang di ponselnya. Benerapa pemikiran buruk tentang Kyra berkelebat dalam pikirannya. Tak ingin membuang waktu cuma-cuma, Arshaka gegas menerima panggilan tersebut.
“Dengan Pak Arshaka?”
“Iya saya sendiri.”
“Begini, Pak, bisa langsung ke Puskesmas dekat SMA Tunas Bangsa, Pak? Ada yang ingin kami bicarakan terkait persalinan ibu Shakyra.”
“Baik.”
Tanpa basa-basi lagi, Arshaka mengakhiri panggilan. Dia memacu mobilnya menuju tempat yang dituju. Bodoh! Arshaka merasa menjadi orang terbodoh di dunia karena tidak memikirkan faskes kesehatan selain klinik dan rumah sakit. Dia pikir, Kyra tidak akan senekat itu dengan memilih puskesmas sebagai faskes pertama untuk melahirkan buah hatinya.
Ini adalah kali pertamanya Arshaka mengunjungi puskesmas. Bukan karena menjunjung nilai kegengsian. Akan tetapi, Arshaka tidak pernah sakit parah dan sedari kecil dia paling anti minum obat. Seandainya bu Dina dan pak Gunawan sakit pun, faskes pertama yang akan mereka kunjungi itu langsung ke rumah sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nikah tanpa Cinta
General FictionKyra tidak pernah menyangka kalau dia akan menikah dengan lelaki yang bahkan tak pernah singgah dalam mimpi dan angannya. Bagi Kyra, nikah tanpa cinta itu bagai Kopi tanpa Gula, karena Pemanis itu sendiri sudah pergi tanpa pamit. Cowok yang menjanji...