Setibanya di puskesmas, Arshaka langsung berbincang dengan bidan senior. Arshaka pun sigap mengambil keputusan. Kyra akan melahirkan di rumah sakit tempat dokter Maria praktik, bukan di rumah sakit yang direkomendasikan pihak puskesmas.
“Kalau itu tergantung Bapak saja. Rumah Sakit Harapan Bunda juga tidak kalah bagus dan lebih lengkap fasilitasnya.”
“Kalau begitu kami pamit dulu, Bu Bidan,” pamit Arshaka setelah melunasi biaya administrasi.
“Oh, iya, Pak. Mari kami antar. Semoga segera selamat dan sehat dua-duanya, ya.”
“Aamiin. Terima kasih.”
Setelah melihat penampilan Arshaka dan kendaraan yang dipakainya, barulah kedua bidan tersebut percaya kalau Kyra bukan orang biasa. Namun, karena kedatangan Kyra yang sendiri, dari segi usia, dan wajah jelitanya nan imut menarik perhatian banyak orang, termasuk para pihak medis yang berada di puskesmas.
***
“Kenapa tidak ngasih tau Kakak dari awal, Ra?”
Kali ini, Kyra memang sudah berbaring di brankar rumah sakit. Kyra masih berada di ruang bersalin. Arshaka menaruh ransel Kyra di atas nakas dan langsung menggeser infusan agar Kyra lebih nyaman.
“Kyra nggak mau ngerepotin Kak Shaka.”
Arshaka berdecak. “Ngerepotin apa, sih, Ra. Kamu itu tanggung jawab Kakak, istri Kakak, sudah sewajarnya Kakak nemenin kamu.”
Tanggung jawab. Istri. Kyra termenung kembali mengulang ucapan Arshaka dalam hati. Siapa pun tahu kalau istri itu tanggung jawab suaminya. Namun, dalam pernikahannya berbeda, dan Kyra merasa menjadi beban untuk Arshaka.
Adapun kata istri yang Arshaka ucap bukanlah sebuah pengakuan, Kyra yakin itu. Kyra yakin kalau Arshaka hanya sedang khawatir dan tidak mau lalai dalam perannya saja.
“Jadi gimana, mau sesar, ya?”
Arshaka duduk sambil menghadap Kyra. Kali ini, Arshaka bahkan menggenggam tangan Kyra lagi. Meskipun Kyra sempat menghindar, tetapi Arshaka menggenggamnya dengan erat.
“Kyra takut, Kak.” Kyra melepaskan diri dari genggaman tangan Arshaka.
“Ra, trombosit kamu sekarang rendah. Obat, kurma, dan madu belum ada pengaruhnya di tubuh kamu.”
Kyra beranjak duduk dibantu Arshaka. Kyra membiarkan Arshaka mengusap dan memijat pelan punggungnya yang panas, pegal, dan sakit.
“Tapi, Kak—”
“Ra, melahirkan sesar itu tidak akan mengubah status seorang ibu. Perbedaannya cuma di prosesnya saja. Percaya sama Kakak, Allah pasti kasih kemudahan. Yang terpenting kalian selamat dulu.”
Kyra menghindari tatapan memohon Arshaka. Jangankan caesar, melahirkan secara spontan saja Kyra takut. Di satu sisi Kyra ingin melahirkan melalui jalan lahir saja. Di sisi lain, dia sudah tak tahan dengan mulas, sakit, pegal, dan panas yang sedang dirasa.
Jika caesar, Kyra pernah mendengar pengalaman melahirkan teman SMA-nya yang melahirkan melalui prosedur caesar. Katanya, setelah suntikan anestesi epidural hilang, baru lah sakit itu terasa. Mereka yang melahirkan melalui operasi caesar akan kembali belajar bergerak, berbaring, berjalan, dan pergerakan tidak sebebas melahirkan normal.
Setiap membayangkannya, tak jarang Kyra ngilu dan ketakutan. Namun, tampaknya tak ada pilihan lain lagi karena tekanan darahnya masih tinggi, HB janin rendah, trombosit turun, dan pembukaan jelek.
Melahirkan merupakan perjuangan perempuan-perempuan yang beruntung. Seperti apa pun proses melahirkan seseorang, status seorang ibu tidak akan bisa diubah.
Tak lama berselang, bidan dan perawat memasuki ruangan Kyra. Mereka mengecek pasien di samping Kyra yang pembukaannya sudah menginjak angka enam. Selesai mengeceknya, mereka beralih mengecek Kyra.
***
Sedari Kyra memasuki ruang operasi, Arshaka bak ayam betina yang mau bertelur, tidak mau diam. Arshaka tak henti-hentinya melangitkan doa. Tidak dapat dipungkiri kalau dia begitu mengkhawatirkan Kyra. Saat keputusan caesar diambil, Kyra tampak terpaksa, murung, dan diam di tengah rasa yang berkecamuk.
“Ar, Kyra gimana?”
Arshaka melirik Aleena yang kini berdiri di hadapan. Gadis yang memakai dres hijau muda itu menghela napas panjang ketika melihat isyarat gelengan Arshaka.
“Sabar. Kyra pasti baik-baik aja.” Aleena menggenggam tangan Arshaka agar lelaki yang dicintainya itu tenang.
Arshaka menatap tangannya yang digenggam Aleena. Getar di hatinya masih ada dan Arshaka menikmatinya. Sejurus kemudian Arshaka tersadar. Dia ingin melepas genggaman Aleena, tetapi rasanya susah luar biasa.
“Ka, gimana keadaan Kyra?”
Genggaman Aleena dan Arshaka terlepas secara refleks. Arshaka sadar seberapa berengsek dirinya saat ini. Di saat Kyra sedang bertaruh nyawa, dia malah bersentuh tangan dengan perempuan lain. Dalam hatinya, Arshaka memaki diri sendiri, lelaki macam apa dia itu.
Pernikahannya dengan Kyra memang karena terpaksa. Namun, ijab qobul yang terlaksana beberapa bulan lalu itu dilakukannya dengan sungguh-sungguh.
“Masih di dalam, Bun.”
“Allahu ... lancarkan persalinan Kyra. Selamatkan Kyra dan buah hatinya,” ujar bu Dina dengan pandangan yang terus tertuju pada pintu ruangan operasi.
“Sedari kapan Kyra di rumah sakit, Ka?”
Arshaka menatap pak Gunawan yang baru saja melirik Aleena dengan mimik dingin. “Sudah dari satu jam yang lalu, Yah.”
“Terus kenapa baru mengabari kami, Ka?”
“Kyra larang aku, Bun, dia nggak mau Bunda drop. Maaf karna aku baru bisa kabarin setelah Kyra mau oprasi.”
“Apa ada lilitan ari-ari, Ka? Bukannya kata dokter Maria kandungan Kyra baik-baik aja?” tanya bu Dina sambil terisak.
“Awalnya kandungan Kyra memang baik-baik saja, Bun. Tapi menjelang melahirkan, tensi Kyra tinggi terus, protein urine positif satu, dan pas cek lab di sini trombosit Kyra turun drastis, pembukaan Kyra juga jelek.”
“Astaghfirullah, Kyra.”
Bu Dina terisak dalam pelukan pak Gunawan. Dia merasa gagal menjadi orang tua karena tidak bisa menemani fase tersulit Kyra.
“Oh, iya, ini siapa? Teman Kyra?” tanya bu Dina setelah tangisnya reda.
Arshaka dan Aleena beradu pandang. Andai tahu kalau Aleena akan ke rumah sakit, Arshaka pasti sudah menahannya untuk tidak datang sedari tadi. Sayang, semua sudah terlambat dan Arshaka tak punya pilihan lain.
“Oh, ini teman aku, Bun. Namanya Leena. Kebetulan tadi Leena abis jengukin temannya yang dirawat di sini.” Arshaka menangkap seulas senyuman sinis yang tersungging di bibir pak Gunawan. Hatinya bertanya-tanya, apakah pak Gunawan melihat semuanya.
Di sampingnya sendiri, Aleena tersenyum pilu. Padahal dia ingin sekali dikenalkan sebagai seseorang yang spesial di depan keluarga Arshaka. Namun, apa mau dikata, keadaannya sedang seperti ini.
***
Jreng ... jreng ... jreeeng ....
Aleena keluar kandang, Guys. Wkwkwk
Semoga suka, ya, konflik sungguhan mulai keluar. 😁مِنَ العَائدِيْنَ والفَائِزِين
KAMU SEDANG MEMBACA
Nikah tanpa Cinta
General FictionKyra tidak pernah menyangka kalau dia akan menikah dengan lelaki yang bahkan tak pernah singgah dalam mimpi dan angannya. Bagi Kyra, nikah tanpa cinta itu bagai Kopi tanpa Gula, karena Pemanis itu sendiri sudah pergi tanpa pamit. Cowok yang menjanji...