Setibanya di ruang keluarga, bukan hanya ada Pak Gunawan dan Bu Dina saja, tapi Arshaka pun sedang duduk santai sambil tertawa mendengar celoteh riang Azriel-anak kandung orang tua angkatnya. Kyra langsung duduk di kursi kosong samping Pak Gunawan. Sebenarnya di sebelah Arshaka pun masih ada ruang, tapi dia sedikit canggung jika harus duduk berdekatan seperti itu.
"Ada apa, Om?"
"Begini, Om baru mendapatkan tanggal yang--"
"Kak Kiya, liat Azil. Lidah Azil bisa gini." Azriel melipat kedua sisi lidahnya dengan mimik bangga.
"Wow, keren. Kok, Azriel bisa?"
Pak Gunawan mengembuskan napas dalam kala melihat putra dan keponakannya yang malah membahas hal random.
"Bisa, dong. Emang Kak Kiya nggak bisa?"
Dengan kepolosannya, Kyra menggerakkan lidahnya mengikuti gerakan lidah Azriel. Namun, Pak Gunawan langsung mengusap wajah Kyra bagai mengusap wajah yang sedang kesurupan.
"Kamu ini, Om mau bicara serius malah meniru begituan. Kayak bocah."
Arshaka segera berdeham untuk mengalihkan diri agar tak ikut tertawa seperti Bu Dina.
"Azriel, main di kamar dulu, yu, Sayang." Bu Dina mengajak putranya ke kamar sebentar, sekadar memberi ruang kepada suaminya agar bisa membicarakan hal penting tanpa gangguan Azriel.
"Nggak mau, Bun."
Bu Dina melirik Pak Gunawan yang tengah menatapnya juga. Agak susah memang kalau bermusyawarah di saat Azriel belum terlelap. Bu Dina akan capai sendiri karena asisten rumah tangga di kediamannya tak bisa membantu. Dari dulu, Pak Gunawan dan Bu Dina memang sepakat untuk mencari ART yang pulang sekitar jam empat atau jam lima sore agar keluarganya benar-benar mempunyai privasi.
"Nggak mau sama Bunda. Mau sama Kak Kiya aja."
"Ya, nggak bisa gitu, dong, Sayang. Kan Ayah, Kak Kyra, sama Kak Shaka mau ngobrol penting sebentar."
Azriel cemberut. Jika kata 'penting' sudah terucap, anak berusia lima tahun yang masih cadel itu merasa keberadaannya tidak lagi penting. Azriel paham arti penting, karena jika kalimat pamungkas itu sudah dia ucapkan, maka Bu Dina tidak akan bisa berkutik lagi.
"Atau gini aja, Azriel main ponsel Kakak, tapi jangan berisik, ya."
"Nggak mau! Ponsel Kak Shaka nggak ada pelmainannya."
"Ya, udah punya Kak Kyra, tapi syaratnya jangan berisik. Deal?"
Wajah cemberut Azriel langsung berseri-seri. Azriel bergegas duduk di atas permadani. Tangannya yang sudah Kyra latih memainkan games langsung bergerak cekatan.
"Jadi begini, Shaka, Ayah sudah mendapatkan tanggal pernikahan yang cocok untuk kamu dan Kyra."
"Tanggal berapa, Yah?"
Jika semula Arshaka duduk bersandar pada kursi, kali ini dia duduk tegak. Arshaka juga menggulung kemeja bagian lengannya hingga sebatas siku. Arshaka memang belum mandi, padahal dia sudah datang dari setengah jam yang lalu.
"Lima Desember besok."
Kyra dan Arshaka saling bertukar pandang. Dalam hatinya, Kyra meragukan keseriusan Arshaka yang akan menikahinya. Keraguan itu semakin bertambah kala pernikahan mereka akan diselenggarakan dalam waktu satu bulan lagi.
"Yah, kalau bisa, aku mau tanggal sembilan belas bulan ini saja, Yah."
Kali ini, bukan Kyra saja yang dibuat terkejut, tetapi Pak Gunawan dan Bu Dina pun. Dari awal, Arshaka menolak mengakui status ayah dari janin yang Kyra kandung dan menolak bertanggung jawab atas kehamilan Kyra juga. Namun, malam ini dia tiba-tiba terlihat begitu siap akan status barunya itu.
"Apa nggak terlalu cepat, Shaka? Tadinya Bunda dan ayah pikir dalam waktu sebulan saja sudah terlalu cepat buat kamu mempersiapkan semuanya." Sesekali, Bu Dina melirik Pak Gunawan yang diserang kebingungan juga.
"Lebih cepat lebih baik, Bun. Kalau menunggu sebulan lagi, perut Kyra bakalan terlihat khalayak."
Pak Gunawan mengangguk mantap. "Terserah kalian saja. Jadi, kalian mau resepsi pernikahan yang seperti apa?"
Arshaka menatap Kyra, tetapi yang ditatap sedang menundukkan pandangan. Kyra tampak tidak bahagia mendengar kabar yang memang tidak terlalu membahagiakan bagi Arshaka juga.
"Om, Tante, Kyra mau minta maaf ...."
Sungguh, Kyra tidak berani menatap orang-orang di sekelilingnya. Hatinya tiba-tiba dilanda rasa takut dan rasa ragu yang dahsyat. Terlalu banyak pertanyaan yang bersarang di kepala Kyra mengenai pernikahannya dengan Arshaka nanti.
"Minta maaf apa, Kyra?" Pak Gunawan menatapnya dengan perasaan tak sabar, sama seperti yang lain.
"Sebenarnya anak yang Kyra kandung bukan anak Kak Shaka."
Tiga orang dewasa di ruang keluarga itu saling berpandangan. Ketiganya kaget mendengar pengakuan Kyra. Bukan kaget akan siapa pelaku yang telah menanam benih di rahim Kyra, tapi mereka kaget akan keberanian Kyra yang berkata jujur tanpa desakan.
Sebenarnya Bu Dina dan Pak Gunawan pun sempat membahas perihal siapa lelaki yang telah menodai Kyra. Mereka kurang percaya jika lelaki tersebut adalah Arshaka. Namun, Pak Gunawan sudah capai menduga-duga karena Kyra pun terus bungkam saat ditanya.
Di sisi lain, Pak Gunawan akan menganggap kalau Arshaka saja yang telah menghamili Kyra. Jika ada pertanyaan yang menyudutkan di kemudian hari, mereka akan menganggap kalau semua itu terjadi karena kecelakaan. Lagi pula, Pak Gunawan sudah mewanti-wantiku Arshaka agar tidak berubah pikiran. Sekalipun janin tersebut bukan buah hati Arshaka, Pak Gunawan meminta pertolongan putranya agar menyelamatkan semuanya melalui cara menikahi Kyra.
"Kyra," tegur Arshaka.
Di saat Arshaka sudah bersedia menikahinya, Kyra malah mengatakan semuanya. Arshaka kira Kyra tidak akan nekat dalam waktu cepat. Paling cepat, minimal beberapa minggu senelum mereka resmi berpisah nantinya.
"Kak, Kyra nggak mau kalau Kakak merasa dirugikan. Kyra bersedia keluar dari rumah ini, Om. Nggak papa."
"Tunggu, Kyra. Om memang pernah mengusir kamu karna Om marah, kamu sudah mengecewakan Om, dan tidak mau menjawab pertanyaan Om. Tapi tolong jawab pertanyaan Om, kalau bukan Shaka, siapa orangnya, Kyra?"
Kyra memberanikan diri menoleh pada Pak Gunawan. Lalu, dia kembali menunduk.
"Kyra takut, Om."
"Takut apa? Apa dia mengancam kamu?"
Kyra menggeleng.
"Lalu kamu takut apa, Nak?"
Bu Dina yang sedikit takut insiden beberapa waktu lalu terulang bergegas mengambil inisiatif. Dia duduk di antara Pak Gunawan dan Kyra.
"Kyra, takut apa, Sayang?" ulang Bu Dina.
"Kyra takut Om nyamperin keluarganya."
Cerita Kyra pun mengalir sebagaimana mestinya. Arshaka memilih diam. Diam-diam kembali mendengarkan. Diam-diam menggeleng tak percaya karena Kyra yang memintanya tutup mulut, tapi dia pula yang memberitahu semuanya. Diam-diam Arshaka juga memperhatikan gadis kecilnya yang tengah berbadan dua itu.
"Baik. Sekarang kamu mau mengambil langkah apa, Shaka? Ayah mencabut ucapan Ayah yang meminta kamu menikahi Kyra. Sekarang semua keputusan Ayah serahkan sama kamu."
Mendengar penuturan Pak Gunawan, Arshaka mengambil napas dalam. Dia menatap Kyra dengan lekat, hingga gadis yang tengah memandangnya pun merasa diam tak berkutik. Arshaka berhasil mengunci tatapan Kyra.
"Aku akan tetap menikahi Kyra," jawabnya dengan mantap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nikah tanpa Cinta
General FictionKyra tidak pernah menyangka kalau dia akan menikah dengan lelaki yang bahkan tak pernah singgah dalam mimpi dan angannya. Bagi Kyra, nikah tanpa cinta itu bagai Kopi tanpa Gula, karena Pemanis itu sendiri sudah pergi tanpa pamit. Cowok yang menjanji...