18.2. Kebenaran terungkap

315 19 1
                                    

18 tahun yang lalu...

Seorang wanita berpakaian lusuh melangkahkan kakinya dengan gontai. Ia menarik-narik kaki sebelah kirinya yang terluka seperti goresan lalu muncul sebuah setitik darah di sana.

Rambutnya sedikit berantakan, sangat kusam. Penampilannya juga buruk, sangat tidak bersih. Pakaiannya kotor, dan badannya pun sangat kotor. Penampilan wanita itu sangat tidak terurus seperti pengemis jalanan.

Ia melangkah sambil menangis, seperti ada sebuah kesedihan dan beban berat yang di tanggungnya selama ini. Sebuah penderitaan yang tidak ada habisnya sangat terlihat dari bola mata dan kelopaknya yang sembab.

"A-Aku harus menjadi Ibu yang baik untuknya.. aku harus memberinya makan dan menyekolahkannya.. aku menyayanginya. Aku harus berusaha.. demi dirimu Megumi.."

Kata-kata yang ia ucapkan barusan, ia keluarkan dengan lirih dan bergetar. Entah apa yang terjadi dengannya sebelumnya, ia sangat kasihan.

"Kau sangat-sangat bodoh! Kau mengandung anak dari pria yang tidak kau ketahui!? Kau sangat murahan!!"

"Ayah, maafkan aku! Aku sungguh minta maaf!"

"Tidak ada kata maaf bagimu! Cari pria yang sudah memperkosamu kepadaku, bawa dia maka akan ku penggal lehernya!"

"Ayah, a-aku tidak tahu—"

"Pergi dari rumah ku! Aku tidak mau mempunyai seorang putri yang sudah merusak nama baik keluarga Fushiguro. Jangan pernah kau berikan nama anakmu dengan nama keluarga ku."

"Ayah!!"

Sekilas ingatan kembali terulang di kepalanya. Hari dimana ia di usir oleh Ayahnya sendiri sebab mengetahui kalau dirinya sedang mengandung anak yang bahkan ia tidak ketahui siapa Ayahnya.

Ia belum menikah, ia masih seorang gadis suci yang belum di sentuh oleh laki-laki manapun karena ia berasal dari keluarga terhormat. Tetapi itu sebuah kejadian yang tidak terduga, itu kecelakaan dan ia tidak bersalah.

Seorang pria bejat melakukan ini kepadanya, dan ia tidak bertanggung jawab.

Di saat ia sudah merasa lelah sebab berjalan, hujan mulai turun membasahi jalanan malam itu. Ia melihat ke atas, melihat rintikan hujan yang terjatuh ke wajahnya. Rasanya tenang, ia seperti melihat sebuah kedamaian.

Sungguh, ia sangat menantikan hujan. Karena jika ia menangis, tidak ada seorang pun yang mengetahui apakah dirinya menangis atau tidak. "Megumi! Hujan nak! Apakah kau tidak mau mandi hujan?" Serunya di antara suara deras hujan.

Seorang bocah laki-laki keluar dari gubuk yang hampir rubuh di pinggir jalanan yang sepi. Ia adalah Megumi kecil yang baru berusia lima tahun, ia sangat berbeda penampilannya. Sangat lusuh.

"Hujan!!" Serunya antusias.

Ibunya, yang kini berada di tengah jalan hanya berdiam diri sambil menatap Megumi yang hujan-hujanan di dekat gubuk mereka. Ia menangis, tetapi Megumi takkan melihatnya.

"Megumi, Mamah... menyayangimu nak—"

BRAKK!!

Tanpa di sangka-sangka, sebuah mobil melaju kencang lalu menabrak Ibu Megumi yang kini sedang menatap putranya. Megumi langsung menoleh, lalu melihat sebuah mobil yang menabrak di dinding sebuah rumah yang jaraknya lima belas meter darinya.

Ibu Megumi terseret jauh, benar-benar jauh. Darahnya sampai mengotori jalanan. Megumi hanya terdiam, lalu meneteskan air matanya dan berteriak histeris.

"MAMAH!!! MAMAH!!"

Ia ingin melangkahkan kakinya untuk berlari menghampiri Ibunya, berlari sambil menangis. Ia melihat Ibunya yang berlumuran darah, hatinya benar-benar hancur.

Why?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang