Rumah kayu berlantai dua itu terlihat begitu menarik di mata Adnan. Walau jauh dari kata mewah. Namun, rasa rindunya untuk tetap tinggal terus ada hingga sekarang.
Adnan bahkan sampai lupa bahwa dia memiliki apartemen yang sangat mewah, tetapi dia sangat nyaman tinggal di rumah Qila saat ini. Dia juga belum memiliki keinginan untuk kembali ke apartemennya, apalagi jika Qila mau tidak ikut dengannya.
Satu persatu barang yang Adnan dari luar kota, dimasukkan ke dalam rumah tersebut dan setelah semuanya selesai, pengawal dan sekretarisnya yang ikut membantu, langsung pulang ke rumah mereka masing-masing karena besok mereka akan kembali bekerja seperti biasanya. Tidak ada waktu istirahat kecuali tanggal merah.
Perlahan Qila memperhatikan bawaan dari Adnan dan dia sedikit penasaran dengan apa yang pria itu bawa. "Nan, kenapa koper lo jadi nambah gini?" tanya Qila sembari menatap ke arah Adnan yang kini tengah duduk di sofa ruang tamu.
Adnan yang sebelumnya tengah menyadarkan tubuhnya, langsung memperbaiki posisi duduknya dan sedikit bergeser ke ujung sofa.
Pria itu kemudian menepuk sisi sebelah sofa yang dia duduki dengan perlahan. "Sini, duduk sini, biar saya jelasin."
Qila mengikuti perintah pria itu dan duduk di sisinya. Tanpa mengeluarkan suara apapun, Qila mencoba untuk menunggu Adnan kembali berbicara.
"Semua itu, berkas dari kantor dan harus segera aku cek ... ."
"Loh, emang berkasnya nggak online gitu," potong Qila karena dia begitu penasaran.
"Online kok. Cuman ini berkas lama, dan kalau online udah banyak perubahan. Ya kalau bisa dibilang, ini berkas asli."
Qila mengangguk paham setelah mendengar penjelasan dari Adnan. Namun, tiba-tiba saja pria itu berdiri dari duduknya dan mengambil sebuah paper bag yang diletakkan tak jauh dari sofa.
Paper bag itu kemudian di sodorkan kepada Qila dan tentu perempuan itu menjadi cukup bingung. "Buat gue?" tanya Qila sembari menunjuk dirinya sendiri.
"Iya, buat kamu."
Dengan ragu, Qila mengambil paper bag tersebut dan Adnan kembali duduk. Cukup lama Qila terdiam tanpa melakukan apapun dan Adnan menjadi bingung dengan sikap calon istrinya tersebut.
"Kok nggak dibuka paper bagnya?"
Qila menoleh ke arah Adnan karena sebelumnya dia tengah melamun. Entah kenapa pikirannya tiba-tiba melayang setelah mendapatkan sesuatu dari Adnan. Ya walaupun hadiah ini bukan hadiah pertama. Namun, Qila tetap saja bingung dan merasa aneh karena Adnan memberinya sesuatu lagi.
Perlahan Qila membuka paper bag tersebut dan mengeluarkan isinya. Ternyata isi paper bag tersebut adalah sebuah kotak yang Qila yakini adalah kotak parfum. Melihat hal itu tentu Qila sangat terkejut. "Parfum?" tanya Qila yang langsung dijawab dengan anggukan oleh Adnan. Padahal pria itu juga tidak tau apa isi paper bag yang dia beri.
"Coba buka," perintah Adnan yang langsung Qila lakukan.
Setelah beberapa saat, kotak itu terbuka dan benar saja, ada sebuah parfum kecil di dalamnya. Dengan hati-hati Qila membuka tutup parfum itu dan menyemportkannya di pergelangan tangan.
"Hmm, harum banget!"
Parfum kecil yang diberikan oleh Adnan nyatanya begitu harum dan sesuai dengan selera Qila. Karena terlalu semangat, perempuan itu tiba-tiba saja memeluk Adnan dengan erat. "Makasih, Nan."
Adnan tidak bisa membohongi keterkejutannya dia karena Qila memeluknya dengan erat. Kali ini pelukan tersebut bukan karena kesedihan lagi. Namun, karena sebuah kebahagiaan.
Beberapa hari kemudian berlalu begitu saja dan kini kehidupan Qila juga Adnan berjalan seperti biasanya. Qila sibuk dengan sekolahnya dan Adnan juga sibuk dengan pekerjaannya. Pria itu bahkan nyaris melupakan ulang tahun Qila yang akan datang dua hari lagi.
"Pak, Bapak nggak lupakan, lusa nanti ulang tahun calon istri Bapak" ucap Feni dengan tiba-tiba saat mereka tengah berdiskusi mengenai perusahaan.
Adnan mengangkat wajahnya setelah sekian lama menunduk untuk membaca semua berkas di hadapannya. "Astagfirullah, saya hampir lupa!"
"Lah, semuanya sudah saya siapin loh, Pak."
"Iya, iya, lakukan sesuai apa yang kamu buat ya. Kamu tinggal kasih tau saya dimana tempatnya."
Feni mengangguk dengan perlahan. "Siap, Pak."
Sesampai di rumah Qila, kepala Adnan dipenuhi dengan strategi untuk membawa Qila pergi dengannya dua hari lagi. Semua sudah tersusun rapi. Namun, tiba-tiba saja perempuan itu berdiri di hadapannya dan membuat semua strategi yang sebelumnya dia buat hilang begitu saja.
"Tumben udah pulang," ucap Qila sembari berlalu di hadapan Adnan. Perempuan itu baru saja dari dapur dan ingin naik ke lantai dua.
Dengan cepat Adnan menahan perempuan itu agar dia tidak langsung naik. "Qil, bisa ngomong sebentar?" tanya Adnan yang membuat Qila berhenti melangkah.
"Nanya apa?"
Adnan tidak bisa memberi jawaban secara langsung dan malah menarik tangan perempuan itu untuk mengikutinya. Adnan membawanya ke ruang tamu dan mulai memperbaiki alunan nafasnya yang tengah memburu.
Qila yang melihat hal itu menjadi bingung dan perlahan memegang lengan atas Adnan." Lo nggak pa-pa kan?" tanya Qila dengan dahi mengkerut.
Pertanyaan Qila membuat Adnan kembali bingung dan tiba-tiba saja dahinya dipenuhi dengan keringat. "Hah, nggak pa-pa kok."
"Terus, lo mau ngomong apa?"
Belum sempat Adnan menjawab, tiba-tiba saja televisi di hadapan keduanya menayangkan hasil wawancara Adnan saat di bandara. Qila tentu sangat terkejut karena dia melihat dengan jelas wajahnya terpampang nyata di layar televisi.
"Loh, ini kan berita yang kemarin? Lo belum jelasin ke gue, siapa elo?" tanya Qila meminta penjelasan pada Adnan.
"Tenang, biar saja jelasin." Adnan menarik nafasnya dengan panjang karena menurutnya menjelaskan pada Qila, perlu teknik tertentu. Dia tidak bisa asal bicara pada perempuan itu. "Jadi, saya adalah seorang pengusaha. Hmm, kalau bisa dibilang, saya cukup terkenal dan saya mohon maaf baru bisa ngasih taunya sekarang."
Seperti diberi tekanan listrik rendah, Qila kembali terkejut untuk kedua kalinya. Dia tidak pernah menyangka bahwa Adnan adalah seseorang yang cukup terkenal. Dia pikir, Adnan hanyalah seorang pekerja biasa.
"Hmm, saya mau ngajak kamu buat dinner ulang tahun kamu lusa nanti."
Dahi Qila mengerut karena bingung. Dia benar-benar lupa bahwa lusa nanti dia sudah akan berusia 17 tahun.
"Kamu mau kado apa?" tanya Adnan lagi sembari memperhatikan Qila dengan seksama.
Qila tidak menjawab pertanyaan dari Adnan karena menurutnya pria itu terlalu berlebihan, padahal dia baru saja memberi Qila parfum yang harganya pasti sangat mahal.
"Nggak, nggak usah. Gue nggak mau apa-apa kok," tolak Qila dengan pelan sembari berlari naik ke lantai dua kamarnya.
Dia meninggalkan Adnan yang kini terus memperhatikannya bahkan hingga bayangan perempuan itu tak lagi dapat dia lihat. Apa dia kembali menolak saya? tanya Adnan di dalam hati.
Sampai sekarang, dia tidak yakin akan perasaan Qila dan lusa nanti, dia mau menanyakan mengenai hal tersebut karena nantinya mereka akan menikah dan tidak boleh ada sesuatu yang dirahasiakan menurut Adnan.
Saya akan tetap berusaha untuk mendapatkan hatimu, Qila.
***
Jumlah kata : 1059
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Titipan Nenek (Selesai)
RomanceBukannya kado berupa barang yang diterima Qila saat ulang tahun ke 17. Perempuan itu malah mendapatkan jodoh dari neneknya berupa pria tampan yang jauh lebih tua darinya. Mau menolak pun rasanya tidak enak karena neneknya sudah sakit-sakitan dan be...