Bab 9 - Pergi -

55 5 0
                                    

Semakin lama, Qila dapat menyadari bahwa kondisi neneknya  memburuk. Perempuan itu akhirnya lebih berhati-hati dan terus memperhatikan neneknya, walaupun sudah ada Tika yang selalu bisa menemani Nenek Rida sepanjang waktu.

Setiap harinya, Adnan masih datang ke ruang rawat Nenek Rida sepulang dia bekerja. Namun, pria itu sangat jarang berkomunikasi dengan Qila. Sebenarnya semua itu karena Adnan ingin menjaga rahasia tentang kondisi Nenek Rida.

Perlahan, Qila membantu neneknya untuk memperbaiki posisi tidurnya. Setelah benar-benar nyaman, Nenek Rida mengulas senyum kecil di wajahnya. "Makasih," ucap Nenek Rida dengan pelan. Namun di sisi lain, Qila malah ingin menangis karena melihat kondisi neneknya yang terlihat begitu lemah.

Tak lama kemudian, Adnan datang ke dalam ruangan Nenek Rida dan Qila langsung mengajak pria itu untuk berbicara empat mata. "Ayo keluar, gue mau ngomong sama lo!"

Qila menyeret Adnan dengan tubuh kecilnya. Dia membawa pria itu untuk pergi ke taman rumah sakit dan mulai menginterogasinya. "Gue mau tanya dan lo harus jawab dengan jujur, Nenek gue kenapa?"

Pertanyaan yang tiba-tiba saja keluar dari mulut Qila itu berhasil membuat Adnan gugup dan salah tingkah. Namun, pria itu tetap berusaha agar Qila tidak menyadari perubahan ekspresi wajahnya.

"Kenapa? Nenek Rida nggak pa-pa kok?" jawab Adnan dengan suara yang kurang stabil dan hal itu membuat Qila sadar bahwa pria yang ada di hadapannya kini tengah berbohong.

Dengan perasaan yang emosi, Qila menarik kerah kemeja Adnan dengan sekuat tenaga. "Gue tau ya, lo bohong!"

Mata Adnan membulat karena panik setelah mendengar ucapan calon istrinya itu. Perlahan dia melepaskan cengkeraman tangan Qila di kerah kemejanya dan membawa perempuan itu untuk duduk di sebuah kursi yang ada di taman tersebut.

"Mending kita duduk dulu," ajak Adnan yang untungnya mau diikuti oleh Qila. "Sebenarnya saya nggak tahu mau bicara dari mana ... ."

Ucapan Adnan tiba-tiba terpotong karena ponselnya berbunyi. Pria itu langsung berdiri dan sedikit menjauh dari kursi yang dia duduki sebelumnya.

"Iya, halo," ucap Adnan singkat setelah mengangkat telepon yang entah dari siapa.

"Apa! Nenek Rida kritis!"

Adnan langsung berlari kembali ke ruangan Nenek Rida sembari menarik Qila untuk ikut bersamanya. Qila yang tidak mengetahui apa-apa itu akhirnya hanya mampu mengikuti Adnan tanpa mampu bertanya terlebih dahulu.

Sesampai di ruang rawat Nenek Rida, ternyata beliau tengah diperiksa oleh Dokter Farhan. Adnan kemudian berjalan mendekat pada dokter tersebut dan beberapa kali memberi pertanyaan. Namun, tidak ada satu pun pertanyaan yang dijawab oleh Dokter Farhan.

Kini tubuh Nenek Rida dipasangi beberapa alat kesehatan, bahkan beliau juga harus menggunakan alat bantu pernapasan. Qila yang melihat hal itu langsung menggenggam tangan neneknya yang terasa begitu dingin.

"Nek, Nek, Nenek kenapa?" tanya Qila dengan suara yang serak karena kini perempuan itu tengah menangis.

Nenek Rida tersenyum kecil ke arah Qila. "Qil, maafkan Nenek ya, nggak bisa jagain kamu."

"Nenek, nggak boleh ngomong gitu," bantah Qila dengan tangis yang semakin menjadi.

Perlahan, Nenek Rida mengalihkan tatapannya ke arah Adnan. Saat mata keduanya bertemu, Adnan tak kuasa menahan tangisnya. Walau tidak separah Qila. Namun, tangis Adnan terasa begitu menyakitkan.

"Nan, Nenek titip Qila ya, Nak. Tolong jaga dia selamanya."

Belum sempat Adnan membalas ucapan Nenek Rida, jantung beliau tiba-tiba berhenti berdetak. Kini, suara dari monitor detak jantung itu terdengar begitu mengerikan dan membuat Qila berteriak histeris.

Adnan langsung menarik perempuan itu dan membawanya keluar dari ruang Nenek Rida. Kini, mereka harus membiarkan para tenaga medis yang ada untuk berusaha semampu mereka menyelamatkan hidup Nenek Rida.

Di luar ruangan, Qila beberapa kali mencoba untuk kembali masuk ke ruangan neneknya. Namun, Adnan menahannya dengan cara memeluk perempuan itu dengan erat. Cukup lama kejadian itu berlangsung, hingga akhirnya Qila kehabisan tenaga dan terjatuh ke lantai rumah sakit.

Adnan masih memeluk calon istrinya itu dengan erat dan sesekali mengusap punggungnya, tapi lama kelamaan tubuh Qila terasa berat dan seketika Adnan tau bahwa calon istrinya itu pingsan.

"Tolong! Tolong!" teriak Adnan karena panik dan tak lama kemudian beberapa perawat datang untuk membantu Adnan membawa Qila masuk ke sebuah ruang rawat.

Di sana, Qila ditidurkan dan mulai diperiksa. Adnan terus berada di sisinya sembari berdoa di dalam hati agar kondisi Qila semakin membaik.

Setelah nyaris 10 menit, Qila akhirnya selesai diperiksa dan hasilnya, perempuan itu harus tetap berada di ruang rawat karena dia kelelahan. Kini di tangan Qila sudah terpasang sebuah infus yang entah untuk apa.

Saat menunggu Qila sadar, seorang perawat masuk ke dalam ruang rawat Qila. Perawat tersebut kemudian berjalan ke arah Adnan dan memberitahu tentang keadaan Nenek Rida.

"Maaf, Mas, wali Ibu Rida ya?" tanya perawat berpapan nama Lia itu.

Adnan berdiri dari duduknya dan terlihat begitu khawatir. "Iya, saya walinya beliau. Gimana keadaan beliau?"

Lia menunduk dengan perasaan sedih, suster itu kemudian memberikan sebuah kertas kepada Adnan dan pria itu menerimanya dengan perasaan sedikit curiga. "Maaf, kami tidak bisa menolong Ibu Rida. Beliau meninggal hari ini pukul lima lewat 21 sore tadi."

Tangan Adnan bergetar dan tak sengaja melampiaskan kesedihannya dengan meremas kertas kematian yang ada di tangannya kini. Tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulut Adnan saat ini bahkan hingga Lia pamit keluar dari ruang rawat Qila.

"Permisi, Mas. Saya pamit keluar dulu."

Sepeninggal Lia, Adnan tak kuasa menahan tangisnya. Pria itu bahkan sampai terduduk di atas lantai kamar rawat Qila. Tangisnya terasa begitu menyedihkan karena kini dia tidak bisa bersuara agar tidak mengganggu calon istrinya tersebut.

Setelah selesai mengeluarkan semua perasaan sedihnya, perlahan Adnan bangkit dari duduknya dan masuk ke dalam kamar mandi yang ada di dalam ruang rawat Qila. Pria itu kembali merasa sedih setelah menatap pantulan dirinya yang terlihat begitu berantakan.

Adnan membasuh wajahnya dengan air keran dan kemudian keluar dari kamar mandi tersebut. Saat sudah benar-benar keluar, dia sangat terkejut karena sekarang dia melihat Qila tengah berusaha membuka infus yang ada di tangannya.

Adnan berlari mendekat ke arah Qila dan menahan perempuan itu. "Qil, jangan Qil!" larang Adnan dengan sedikit berteriak.

Mendengar suara Adnan yang terdengar begitu keras, Qila sangat terkejut dan terlihat memperbaiki alunan nafasnya. Kini, dadanya naik turun dan wajahnya terlihat stres. "Nan, Nenek gimana, Nenek nggak pa-pa kan?" tanya Qila dengan tergesa.

Adnan tak mampu menjawab dan kemudian menarik tubuh Qila untuk masuk ke dalam pelukannya. "Maaf, Qil. Maaf."

Qila mendorong tubuh Adnan dengan sekuat tenaga hingga akhirnya pelukan mereka terlepas. "Apa maksud omongan lo?" tanya Qila dengan dahi mengkerut.

"Nenek, sudah nggak ada, Qil," jelas Adnan singkat yang berhasil membuat Qila menangis histeris.

Perempuan itu kemudian memukul-mukul tubuh Adnan hingga akhirnya tenaganya habis kembali. "Nan, gue mau ketemu Nenek," lirih Qila yang berhasil membuat Adnan mengangguk pelan.

"Yuk, kita ketemu Nenek untuk terakhir kalinya."


Jumlah kata : 1084


***

Jodoh Titipan Nenek (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang