Bab 10 - Melepaskan -

73 12 9
                                    

Ruangan serba putih itu menjadi tempat terakhir Nenek Rida tinggal sebelum ajal menjemput beliau. Kini, tubuh wanita tua itu sudah dimandikan dan siap untuk dibawa pulang ke rumah.

Di sisi beliau, ada Qila yang sedang menatap jasad neneknya itu dengan tangis yang tak dapat dia bendung lagi. Sedari tadi dia berusaha untuk menahan semuanya. Namun, dia tentu merasa kesedihan yang teramat dalam karena ditinggal oleh anggota keluarga satu-satunya itu.

Tubuh Qila melemah seketika saat jenazah neneknya dimasukkan ke keranda. Untungnya, ada Adnan yang siap untuk menahan tubuh mungil itu agar tidak jatuh ke lantai.

Perlahan mereka mengikuti jenazah Nenek Rida yang tengah dibawa ke dalam mobil ambulan. Qila dan Tika ikut masuk ke dalam mobil tersebut, tetapi Adnan memilih untuk menggunakan mobilnya sendiri. Toh, tujuan mereka sama yaitu sama-sama ingin pergi ke rumah milik keluarga Qila.

Selama perjalanan, Qila tak kuasa menahan tangisnya karena jenazah neneknya itu akan segera dimakamkan dan Qila tidak bisa lagi melihat sosok neneknya. Sosok yang membesarkannya hingga sekarang.

"Sabar ya, Mbak," ucap Tika dengan pelan sembari merangkul Qila.

Tika masih tetap bekerja untuk keluarga tersebut, tepatnya menjadi pendamping Qila karena kini perempuan itu tidak memiliki siapa-siapa dan untuk gaji, Adnan-lah yang memberi gaji untuk Tika.

Qila tersenyum kecil walau tanpa rasa, dia beberapa kali mengusap bagian atas keranda itu dan berdoa di dalam hati agar dapat dipertemukan kembali dengan neneknya di alam akhirat.

Sesampai di rumah, Qila cukup terkejut karena ada banyak orang yang sudah datang untuk berbela sungkawa. Seingat perempuan itu, dia tidak memiliki banyak kerabat. Namun, dia segera menjauhkan segala pikiran buruk di benaknya dan langsung masuk ke dalam rumah tersebut.

Qila jelas melihat beberapa keluarga jauh yang juga datang dan memberi semangat padanya. Walau terasa aneh, tetapi Qila berterima kasih pada mereka semua karena mau datang ke rumahnya.

Jenazah Nenek Rida sudah dimasukkan ke dalam rumah dan dibaringkan tepat di tengah-tengah rumah berlantai dua itu. Di sekelilingnya, beberapa orang sudah mulai membacakan surat yasin dan Qila ikut melakukannya. Walau tidak selancar yang lain. Namun, Qila berusaha untuk menyelesaikan surah tersebut.

Sampai pada waktunya Nenek Rida akan di makamkan, Adnan menemui Qila. Pria itu duduk di belakang calon istrinya itu dan menepuk pundaknya.

Qila menoleh dan menemukan Adnan yang kini mengajaknya ke dalam kamar neneknya. Qila mengikuti perintah Adnan dan mereka berdua kemudian berjalan masuk ke kamar Nenek Rida yang tak jauh dari ruang tamu tersebut.

"Nenek sudah mau dimakamin, kamu mau ikut atau tinggal di sini aja?" tanya Adnan setelah mereka berdua sudah masuk ke dalam kamar tersebut.

Qila menghela nafasnya sebelum menjawab ucapan Adnan, perempuan itu kemudian mendudukkan dirinya di ujung kasur yang kini tak perpenghuni itu.

"Hmm, aku mau ikut," jawab Qila singkat sembari mengelus kasur neneknya yang terasa begitu menenangkan.

Adnan yang berada di hadapannya hanya dapat menatap sedih ke arah calon istrinya itu. Perlahan dia berjalan mendekat dan setelahnya, dia memeluk Qila dengan erat.

Qila terkejut sebentar. Namun, setelahnya dia membalas pelukan itu. Kepalanya bersandar nyaman di perut Adnan yang terasa sixpack itu.

"Kamu jangan sedih ya, saya akan tetap di sini, nemanin kamu."

Ucapan singkat yang keluar dari Adnan itu berhasil membuat Qila kembali menangis. Dia tidak menyangka bahwa Adnan akan terus bersamanya bahkan sampai saat ini, ketika neneknya sudah tiada.

Perlahan, Qila melepas pelukan itu dan Adnan berjongkok di hadapannya untuk menyamakan tinggi mereka. Mata keduanya kemudian bertemu dan Qila langsung mengusap air matanya yang terus turun membasahi pipi tembamnya.

"Nan, gue nggak paham, kenapa lo masih mau sama gue. Padahal Nenek udah nggak ada."

Dengan sekuat tenaga Qila mengeluarkan apa yang ada di pikirannya kini sehingga membuat Adnan tersenyum kecil. Tangan pria itu kemudian terangkat untuk menghapus jejak air mata di pipi Qila.

"Hmm, sebenarnya saya mau menolak perjodohan ini. Asal kamu tau, ini adalah perjodohan kesekian kalinya yang orang tua saya buat dan entah kenapa, setelah mengenalmu aku merasa bahwa kamu adalah perempuan yang berbeda. Ya walaupun sedikit kasar. Namun, saya yakin untuk memilihmu menjadi pendamping hidup saya."

Qila terdiam sesaat setelah mendengar penjelasan dari Adnan. Perempuan itu tidak percaya bahwa pria di hadapannya ini tengah mengutarakan perasaannya.

Sebenarnya Qila bahagia. Namun, untuk menjadi pendamping hidup Qila kurang yakin, apalagi dia masih sangat kecil. Umur saja belum legal.

Belum sempat Qila membalas ucapan Adnan, Tika tiba-tiba masuk ke dalam kamar tersebut. Pendamping Qila itu cukup kaget dengan posisi duduk kami dan Adnan langsung berdiri dari jongkoknya tadi.

Pria itu memasukkan tangannya ke dalam saku dan berjalan perlahan menuju Tika yang kini masih berdiri di depan pintu kamar Nenek Rida. "Kenapa? Ada masalah?" tanya Adnan dengan suara beratnya.

"Hmm, anu Pak, jasad Nenek Rida sudah mau dimakamkan," jelas Tika dengan sekuat tenaga. Perempuan itu tengah gugup sekarang, dia takut akan dimarahi oleh Adnan karena mengganggu waktunya bersama Qila.

Adnan terdiam sesaat dan selanjutnya mengangguk pelan. Pria itu kembali berjalan melewati Tika dan setelah tepat di sisi pendamping Qila itu, Adnan menepuk pundak Tika seraya berkata, "saya titip Qila ya."

Perlahan Tika mengangguk pelan dan membuang nafasnya kasar. Sedari tadi dia menahan diri walau detak jantungnya terus berpacu tanpa henti.

Setelah Adnan tidak terlihat lagi, Tika berjalan ke arah Qila yang masih setia duduk di atas kasur neneknya. Perempuan tersebut ikut duduk di sisi Qila dan mengusap pelan punggung Qila.

"Mbak yakin, mau ikut sampai ke pemakaman?" tanya Tika dengan pelan karena dia takut Qila tak kuasa melihat neneknya dimakamkan.

Qila menoleh dan menatap wajah Tika sembari tersenyum. "Iya, yakin."

Tidak ada yang bisa menahan perempuan itu untuk mengantar kepergian neneknya, dia juga ingin membuat memori indah dengan neneknya hingga jasad tersebut tertutup tanah dan tak lagi bisa Qila lihat rupanya.

"Ya udah kalau gitu, yuk, kita pergi."

Tika mengajak Qila untuk berdiri dan berjalan keluar kamar. Di luar ternyata sudah tak banyak orang dan beberapa di antaranya juga akan ikut mengantarkan jasad Nenek Rida ke tempat terakhirnya. Namun, sebelum itu jasad beliau akan disholatkan di mesjid terdekat dan Qila juga Tika hanya bisa menunggu di luar mesjid.

Setelah siap, mereka melanjutkan perjalanan menuju pemakaman yang cukup jauh dari rumah Qila tersebut. Qila dan Tika ikut bersama Adnan dengan mobil pria itu karena setelah pemakaman mobil ambulan akan kembali pulang ke rumah sakit.

Sesampai di pemakaman, Qila dan Tika segera turun dari mobil dan berjalan mengikuti orang-orang yang membawa keranda neneknya. Setelah sampai di tempat terakhir neneknya itu, Qila kembali tidak dapat menahan tangisnya apalagi setelah penutup keranda itu dibuka.

Wajah pucat milik neneknya terlihat begitu damai dan seharusnya Qila senang karena neneknya tidak merasakan sakit lagi. Dia tau neneknya itu sudah melewati masa yang panjang untuk melawan penyakitnya, walau sampai sekarang Qila tak tau penyakit beliau apa.

Beberapa orang kemudian masuk ke dalam liang lahat tersebut, Adnan juga ikut turun dan membantu pemakaman Nenek Rida. Pria itu terlihat cekatan membantu padahal dia tidak pernah melakukan hal-hal semacam ini. Dia juga sampai melupakan pekerjaannya.

Perlahan jasad Nenek Rida dimasukkan ke dalam liang lahat dan semua proses pemakaman terasa begitu damai. Setelah liang lahat itu tertutup, tubuh Qila terasa begitu lemah sehingga akhirnya dia terjatuh ke tanah.

Tangannya perlahan mengelus papan bertuliskan nama neneknya itu dan tiba-tiba Qila pingsan.

***

Jumlah kata : 1184

***

Jodoh Titipan Nenek (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang