25.Sudah tak perduli

1 0 0
                                    

"𝘈𝘥𝘢 𝘢𝘯𝘢𝘬 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘦𝘳𝘩𝘢𝘳𝘢𝘱 𝘮𝘦𝘯𝘥𝘢𝘱𝘢𝘵𝘬𝘢𝘯 𝘳𝘶𝘮𝘢𝘩 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘯𝘺𝘢 𝘣𝘦𝘳𝘵𝘦𝘥𝘶𝘩,𝘯𝘢𝘮𝘶𝘯 𝘪𝘢 𝘴𝘢𝘥𝘢𝘳 𝘣𝘢𝘩𝘸𝘢 𝘪𝘢 𝘵𝘢𝘬 𝘱𝘢𝘯𝘵𝘢𝘴 𝘮𝘦𝘯𝘥𝘢𝘱𝘢𝘵𝘬𝘢𝘯 𝘯𝘺𝘢"
~𝙎𝙩𝙚𝙫𝙚𝙣 𝙧𝙞𝙘𝙤 𝙉𝙖𝙩𝙝𝙖𝙣𝙖𝙚𝙡~

     

       Ujian telah berlalu menyisakan kenangan pahit dalam kehidupan Javeria. ia kembali mendapatkan juara umum pertama dan ia bisa merasa bebas tanpa cambukan 𝙠𝙝𝙪𝙨𝙪𝙠 𝙝𝙖𝙧𝙞 𝙞𝙣𝙞 𝙨𝙖𝙟𝙖.

Ia memutuskan pergi ke rumah sakit untuk mengambil hasil tes kesehatan yang ia lakukan minggu kemarin. Bukan untuk mengetahui seberapa berat penyakit yang di deritanya namun, hanya untuk mengetahui kapan kira-kira ia meninggal dunia.

Helaan nafas kasar terdengar, ia kini berada di rumah lamanya dengan 5 amplop berwarna putih ber stempel rumah sakit.

Membuka satu persatu amplop tersebut ia lantas merobeknya hingga tak berbentuk, menuangkan sedikit minyak ia pun menyalakan pemetik apinya.

𝘙𝘢𝘥𝘢𝘯𝘨 𝘱𝘢𝘳𝘶-𝘱𝘢𝘳𝘶 (𝘱𝘯𝘦𝘶𝘮𝘰𝘯𝘪𝘢), 𝘪𝘯𝘧𝘭𝘢𝘮𝘢𝘴𝘪 𝘫𝘢𝘳𝘪𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘰𝘵𝘢𝘬 (𝘦𝘯𝘴𝘦𝘧𝘢𝘭𝘪𝘵𝘪𝘴), 𝘨𝘢𝘯𝘨𝘨𝘶𝘢𝘯 𝘪𝘳𝘢𝘮𝘢 𝘫𝘢𝘯𝘵𝘶𝘯𝘨 (𝘢𝘳𝘪𝘵𝘮𝘪𝘢), Bipolar 𝘥𝘢𝘯 𝘗𝘛𝘚𝘋.

Ia menuangkan seember air kala api itu telah menghanguskan kertas-kertas putih tersebut. Berjalan ke arah luar yang ternyata tengah turun hujan lebat.

Tak menghiraukan hujan, ia menaiki kuda besinya membelah hujan yang begitu menyakitkan kala bersentuhan dengan kulit nya dengan kecepatan di atas rata-rata.

Sudah satu jam lamanya ia mengendarai motor nya tanpa arah dan tujuan. Saat ia melewati jembatan, tanpa sengaja ia melihat punggung seorang pria yang sangat ia kenali tengah berdiri di atas tebing jembatan hendak melompat.

"Steven!!! " setelah Mensetansarkan motor nya ia lansung menarik baju yang di kenakan laki-laki tersebut hingga jatuh ke aspal.

"Lo gila! Bunuh diri gak akan nyelesaiin masalah stev!!! Yang ada malahan masalah itu gak bakal berakhir!!! "

"GW HARUS APA JAVERIA!!! DI SAAT ORANG TUA GW CERAI DAN BAHAGIA SAMA KELUARGA BARUNYA SEDANGKAN GW DISINI BANTING TULANG GAK DI AKUI!!! GW BENCI SEMUA ORANG TERMASUK DIRI GW SENDIRI!!! GW BENCI SAMA TUHAN YANG KATANYA ADIL!!! "

tanpa berbicara apapun, Javeria memeluk tubuh rapuh yang tengah menangis pilu, mengelus pelan punggung itu lantas berbisik " masih ada gw. Jangan benci Tuhan. Tuhan punya rencana yang indah buat kamu, dan semesta lagi bercanda sama kamu. jadi jangan nangis atau semesta akan semakin mempermainkan mu"

Ia menarik tangan Steven untuk duduk di jok belakang yang kosong setelah anak itu tenang.

"Kemana? " tanyanya dengan suara serak dan mata yang sembab.

"Ke suatu tempat"

Ia melajukan motornya sedikit mengebut hingga sampai di rumah lamanya dan menarik Steven ke arah hutan.

"M-mau ngapain? Lo gak mau bunuh gw kan? "

"Gw pengen. tapi mager"

Ia menarik tanggan Steven hingga sampai di tempat dimana ia sering menghabiskan waktu bersama Nayaka dahulu.

"Wihhh.... Keren anjir!!! Gw baru tahu ada hutan sekeran ini!!! " seru nya girang.

Javeria duduk di dekat sungai menikmati semilir angin sore yang begitu menenangkan sehabis hujan.

"Hutan ini satu-satunya rumah ternyaman yang gw punya sekarang. Di sini banyak kenangan Stev. ada tawa, ada duka ada kesal ada cemburu dan ada rasa kecewa. Hutan ini saksi masa kecil gw sebelum dunia gw hancur berantakan sampai akhirnya tak berbentuk lagi" penuturan Javeria membuat Steven sadar, bahwa punggung yang selama ini ia kira kuat ternyata serapuh Ranting yang telah tua.

"Kamu gak punya keluarga tapi kamu masih punya sahabat yang mau nerima kamu apa adanya, yang mau nolong kamu di kala susah dan mau berbagai canda tawa"

"Sedangkan saya? Keluarga saya untuh, tapi mereka tak pernah menganggap saya ada. Tumbuh dengan cacian, makian serta benda-benda tajam membuat saya sulit mengekspresikan sesuatu dengan nyata. Persahabatan yang saya dambakan justru menjadi trauma terbesar yang terus menghantui. Saya juga lelah, tapi saya selalu mikir 𝘨𝘶𝘯𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘨𝘸 𝘣𝘦𝘳𝘵𝘢𝘩𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘫𝘢𝘶𝘩 𝘪𝘯𝘪 𝘢𝘱𝘢? 𝘒𝘦𝘯𝘢𝘱𝘢 𝘨𝘢𝘬 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘥𝘶𝘭𝘶 𝘢𝘫𝘢 𝘣𝘶𝘯𝘶𝘩 𝘥𝘪𝘳𝘪𝘯𝘺𝘢 𝘥𝘪 𝘴𝘢𝘢𝘵 𝘥𝘢𝘱𝘢𝘵 𝘮𝘢𝘴𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘭𝘦𝘣𝘪𝘩 𝘣𝘦𝘳𝘢𝘵 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘴𝘦𝘬𝘢𝘳𝘢𝘯𝘨? "

"Jave... You oke? " tanya Steven yang masih berdiri tak jauh dari Javeria duduk.

"Gw gak tau Stev, terlalu mati rasa buat ngerasa apa apa lagi. Rasa sakit yang terus menerus datang mengebuat hidup gw gak punya tujuan. terus melangkah tanpa arah dengan perasaan kosong dan kegelapan yang menyelimuti. Ngebuat gw gak tau apa arti kehidupan"

"Mau nyerah? " tanya Steven.

"Enggak. Kita berjuang sama-sama, gw bantu lo nyari kebahagiaan dengan syarat lo harus minta maaf sama Tuhan kamu atas apa yang kamu omongin tadi"

"Oke. gw setuju, tapi lo harus cerita ke gw setiap lo punya masalah"

"Oke deal" mereka pun berjabat tangan dan keluar dari hutan tersebut.

"Gw tinggal di mana? " langkah Steven terhenti seketika kala mengingat ia tak memiliki rumah sekarang.

"Tinggal di sini. Ini rumah gw dulu, lo bisa tinggal di sini, ada kasur kok. Nanti malam gw dateng buat ngisi bahan makanan, lo bersihin aja dikit. Oh iya sorry kalau lo nanti liat bekas terbakar di lantai"

"Kenapa? "

"Gw gabut jadi bakar-bakar dikit. Gw pergi, jaga diri baik-baik, jangan nakal atau gw jitak pala lo! " peringat nya, lantas berlalu pulang sebelum azan magrib berkumandang.

Serpihan LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang