CHAPTER 2 : Namanya, Michael Kaiser

564 71 4
                                    

Ness terus berjalan dengan kaki kurusnya, melewati jalanan setapak menuju pagar taman di belakang rumahnya. Sebuah novel ukuran tebal dengan gambar naga merah; sangat erat didekapnya. Novel favoritnya itu telah dia baca 3 kali setiap 1 minggu. Sama sekali tidak memiliki rasa bosan saat membacanya, sebab sudah lama menemani dalam rasa sepi yang menyelimutinya.

Dia duduk diatas rerumputan hijau taman melepas semua beban pikiran dengan menghirup udara segar yang menyambut kedatangannya. Suara deru mobil yang baru berhenti berhasil mengalihkan perhatiannya.

Dari celah pagarnya, dia mengintip sebuah truk cargo dan BMW X5 berhenti di sebuah rumah sebelahnya. Jarak antara rumahnya dengan tetangga itu hanya beberapa meter saja dengan pohon yang menjadi penghubung antara rumah Ness dengan keluarga itu. Jika ingin kesana hanya perlu berjalan kaki.

Sebuah keluarga dengan gaya rambut dwi-warna telah memberikan atensi khusus untuk Ness. Baru pertama kali dia melihat warna rambut pirang dan warna biru di ujungnya. Keluarga itu sangat menawan sekali. 3 orang putranya seperti modeling atas. Satu diantaranya seumuran dengan Ness.

Namun, yang menjadi perhatiannya sekarang adalah bocah itu seperti tidak senang. Apakah karena rumahnya lebih sederhana? Ataukah dia tidak ingin pindah?

Merasa dipantau oleh sesuatu, bocah itu menoleh padanya. Dengan sigap Ness langsung berbalik; berpura-pura membaca bukunya. Sesekali dia mengintip lagi, bocah itu sudah masuk ke rumahnya.

Jantungnya berdebar keras setiap kali seseorang melihatnya. Perasaan gugup sudah menjadi langganan untuknya sejak kecil ketika takut dinilai berlebihan dan takut menjadi pusat perhatian.

°^°^^°^°

Malam di musim panas cukup dingin, seperti hal yang biasa dia lakukan setiap malamnya, setelah belajar dan mengerjakan tugas; dia melanjutkan membaca novelnya sambil duduk di kursi yang menghadap ke jendela dengan view pohon Cemara. Pohon yang menjadi pembatas antara rumahnya dengan tetangga baru.

Tidak ada dorongan apapun dia sudah berpindah duduk di kusen jendela. Angin malam mengibaskan ujung rambut merahnya. Pandangannya terlempar pada jendela kamar yang menampilkan tetangga barunya sedang membereskan barang-barangnya.

Ada perasaan kagum yang menggugahnya ketika anak itu menggeser dipannya sendiri sedikit mendekati jendela. Dipan itu cukup berat untuk digeser bocah kecil seperti dia.

Dia bisa kelelahan hebat hanya untuk menggeser dipannya. Pikirnya.

Untuk sejenak saja, benaknya berkata, seandainya kami bisa dekat.

Ness segera membuang jauh angan-angan itu. Mana mungkin dia bisa berteman dengan tetangga baru itu. Dia pasti akan menjauhinya bahkan sebelum mengatakan apapun untuk menyapa.

Kepercayaan dirinya telah lebih dulu luluh lantak sebelum mencoba.

"Tuan Muda Ness, waktunya makan malam," seru seorang pelayan membuyarkan kefokusannya melihat tetangga baru. Segera dia pergi ke ruang makan atau Albert akan mengomelinya.

°^°^^°^°

Seperti yang sudah dia duga, baru saja dirinya menampakkan diri, tatapan tajam nan sinis tertuju padanya. Gara-gara dia terlambat turun membuat sup kesukaan Teresa menjadi dingin dan anak itu melenggak pergi meninggalkan meja makan.

"Apa kau yang bertanggung jawab jika Adikmu sakit nantinya?"

Ahh, suara bass yang tegas itu telah menciutkan nyalinya. Tetapi, dia mencoba untuk tetap tegar di depan Albert.

TATTOO || KAISER NESS ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang