Ness mengulum bibirnya serta mengepalkan kedua tangannya dari balik punggung. Rasa cemas dan gugup menjalar menjadi satu menimbulkan getaran samar dari badannya. Apa yang menjadi kekhawatiran terhadap nasehat Ayahnya telah menggerogoti isi kepalanya.
Bagaimana jika itu benar-benar terjadi?
Dia hanyalah seorang bocah berusia 11 tahun yang menginginkan seorang teman. Mengapa dia sangat menginginkan itu? Karena dia tidak memiliki siapa-siapa yang menjadi tempat untuknya berbagi hobi dan kesenangan, juga mengisi kekosongan di hatinya yang disebabkan oleh keluarganya sendiri.
Dia menginginkan tempat untuk pulang.
Bagi Ness, rumahnya yang sekarang bagaikan rumah sewaan yang hanya bisa dia tinggali untuk sementara dan sewaktu-waktu dia bisa pergi atau mungkin di usir.
"Ness, aku tidak tahu apa yang terjadi padamu dan Ayahmu, tetapi ..." Kaiser menghampirinya dengan sentuhan hangat di pundak Ness, mengisyaratkan kepadanya untuk tegar.
"Jangan pernah bertanya semacam itu padaku," sambungnya, "tidak alasan bagiku mengapa aku berteman denganmu. Karena aku sudah sangat senang bisa mengenalmu."
Kaiser mengubah ekspresinya tatkala temannya itu menyunggingkan senyum manis yang pernah dia lihat sebelumnya. Anak itu menundukkan kepalanya untuk menghapus sisa butiran bening yang sempat keluar dari kelopak matanya, dia sendiri tidak sadar sudah terharu dengan jawaban Kaiser yang tidak disangka-sangka.
"Terima kasih, Kaiser," ucap Ness, kegundahan di hatinya melebur perlahan-lahan tergantikan dengan perasaan senang. Sempat dia berprasangka buruk tentang jawaban Kaiser atas pertanyaan yang dia lontarkan barusan.
"Jangan menangis, seperti anak kecil saja," ledeknya diselingi gelak tawa bersama.
"Aku sudah mengantuk, besok kita ada tes harian dan kelas tambahan untuk persiapan ujian akhir," alih Kaiser sembari menguap.
Ness mematikan lampu kamar diganti lampu tidur yang temaram meneranginya. Merebahkan tubuh di samping Kaiser yang telah lebih dulu terlelap.
°^°^^°^°
Remang-remang cahaya lampu tidur membangunkan Ness pada pukul 3 dini hari bersama dengan suara rintihan dari sebelahnya. Ness mendapati Kaiser meracau dalam tidurnya seraya menyebut nama Ibu untuk melindunginya dari pukulan sang Ayah.
Dia telah berusaha mengguncang pelan tubuh Kaiser yang meringkuk, tetapi anak itu malah semakin ketakutan dan hendak memukul Ness.
"Kai, ini aku! Bangun!" Ness terus memanggilnya sekalipun wajahnya menjadi sasaran tamparan temannya.
Begitu jelas suara Ness memanggilnya, dia pun tersentak dan langsung memeluk tubuh Ness. Seluruh tubuhnya berguncang didalam dekapan hangat seorang Alexis Ness.
"Tenang saja, ada aku disini. Kau berkeringat, Kai," ucap Ness sambil mengusap keringat yang bercucuran di dahi Kaiser menggunakan selimutnya.
"Aku takut, Ness ... aku tidak mau pulang ..." gerutu Kaiser semakin mengeratkan pelukannya seolah tidak ingin melepaskan Ness.
Ness kebingungan tidak tahu harus berbuat apa? Apa yang bisa dia lakukan untuk menenangkan temannya? Dia hanya mampu mengusap pelan punggung yang berkeringat dingin itu seraya mengucapkan kata-kata penenang.
Setelah Kaiser sedikit lebih baik, pelan-pelan dia mau mengatakan yang terjadi padanya pada Ness.
Seharusnya, itu adalah sebuah rahasia besar yang tidak boleh diketahui siapapun termasuk 2 kakak dan Ness sendiri. Karena itu adalah pengalaman paling buruk dan menjijikkan untuknya, dia takut jika Ness telah mengetahuinya-dia akan menjauhinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
TATTOO || KAISER NESS ✅
Fanfictionᴡʀɪᴛᴇ : sᴇᴘᴛᴇᴍʙᴇʀ 2023 ᴇɴᴅ : ғᴇʙʀᴜᴀʀɪ 2024 Garis takdir menyerupai tato mawar biru muncul dengan misterius membawa rasa sakit seperti disayat perlahan-lahan. Ness tidak tahu bagaimana tato ini bisa muncul di punggungnya tanpa sebab. Dia menjadi kere...