Aku duduk termenung di pinggir kasur dengan pikiran kosong. Nyerinya sudah hilang dan seluruh tubuhku terasa memanas. Sepertinya aku demam tinggi gara-gara tato ini. Sungguh ambigu, sakit karena sebuah tato.
"Hei, kenapa kau bangun? Bersandarlah di tembok," sahut Kaiser yang telah kembali dari kantin, membawa dua nampan makanan, satu di antaranya ada sebotol obat untukku.
Dia membuka satu bungkus pereda demam dan menempelkannya di dahiku, lalu duduk berhadapan denganku, menyendok nasi.
"Danke, Kai, aku bisa melakukannya sendiri. Kau makanlah punyamu."
Dia menghindari tanganku yang hendak mengambil nampan darinya, "orang sakit sebaiknya diam. Aku bisa makan nanti setelah menyuapimu."
Aku diam menurutinya, sedikit tersenyum.
"Aku minta maaf atas ucapanku tadi," ucapnya tiba-tiba. "Aku terlalu kesal pada diriku sendiri sampai melampiaskannya padamu. Maaf, Ness, kau pasti sakit gara-gara aku."
Tanpa melihatku, aku bisa lihat raut wajahnya yang penuh penyesalan. Meskipun sedikit sakit hati dengan ucapannya tadi, apalagi tatapan tajamnya benar-benar menakutiku. Tidak pernah aku membayangkan Kaiser bisa memiliki tatapan mematikan seperti tadi.
Aku pun tersenyum, memaafkannya meskipun sebenarnya bukan salah dia juga. Aku masih belum bisa memberitahunya tentang tato ini, aku sangat yakin dia akan menganggapku aneh. Muncul tato dengan sendirinya? Memangnya aku sedang menjalani kisah fantasi?
Sejenak, suasana jadi lebih ringan. Kaiser kemudian melanjutkan, "Bagaimana perasaanmu sekarang? Apakah sudah lebih baik?"
Aku mengangguk, "Iya, obat ini membantu. Terima kasih, Kai."
Kaiser melanjutkan makannya dengan suasana yang lebih nyaman. Setelah selesai, Kaiser membantu membersihkan nampan dan menyimpan obat di dalam lemari.
"Jangan lupa nanti diminum lagi obatnya, panggil aku jika masih sakit. Besok jangan masuk dulu, aku akan meminta ke Pelatih untuk mengizinkanmu beristirahat."
"Tidak perlu, demamnya akan segera turun."
Besok akan ada penilaian yang menentukan keberhasilan kami untuk dikirim ke Jepang. Aku tidak bisa melewatkannya sehari saja hanya karena demam biasa. Level permainanku juga masih di bawah Kaiser. Sebisa mungkin aku harus mampu mengejarnya dan berangkat bersama-sama.
"Kau yakin? Wajahmu masih pucat, loh." Tangannya menempel ke pipi dan leherku yang hangat untuk memastikan suhuku. "Walaupun sudah mulai turun, kau masih harus beristirahat. Aku tidak ingin kerepotan apabila kau jatuh pingsan di lapangan. Mau aku seret pakai gerobak semen?"
Aku tertawa mendengar candaannya yang lumayan lucu. Kaiser itu jarang bisa membuat suatu lelucon, kadang aku harus pura-pura tertawa dengan satu leluconnya yang menurutku tidak lucu; hanya supaya dia merasa senang.
Memang terkesan jahat, tetapi daripada aku mencelanya lebih baik seperti itu, bukan? Lagipula, Kaiser adalah sahabatku, aku adalah sahabatnya, dan kami sama-sama memiliki kekurangan.
"Jahatnya," kekehku yang tak lama kemudian aku merunduk, "besok adalah penilaian kita sebagai kandidat pemain yang akan dikirim ke Jepang. Aku tidak mau melewatkannya begitu saja, Kai."
Aku mendongak melihat wajah Kaiser, "level permainanku masih jauh darimu dan ... aku sangat takut kita tidak bisa pergi bersama-sama."
Aku tidak mendengar dia menjawab ku, Kaiser terbungkam menatap iba padaku—sepertinya. Matanya yang menatapku lurus itu sedikit menggusarkan, apa aku terlihat sangat menyedihkan sehingga dia melihatku begitu?
KAMU SEDANG MEMBACA
TATTOO || KAISER NESS ✅
Fanficᴡʀɪᴛᴇ : sᴇᴘᴛᴇᴍʙᴇʀ 2023 ᴇɴᴅ : ғᴇʙʀᴜᴀʀɪ 2024 Garis takdir menyerupai tato mawar biru muncul dengan misterius membawa rasa sakit seperti disayat perlahan-lahan. Ness tidak tahu bagaimana tato ini bisa muncul di punggungnya tanpa sebab. Dia menjadi kere...