CHAPTER 7 : He didn't say it

386 54 5
                                    

Saat Ibu masih dirawat di Rumah Sakit, Ayah bersikeras untuk tetap pindah dan membiarkan Ibu di sana sendirian. Aku menolak ajakannya yang menyuruhku pulang ke rumah untuk mempersiapkan kepindahan kami.

"Kalau kita pindah, siapa yang akan menjaga Ibu?"

"Ada perawat dan Dokter yang senantiasa menjaganya, Kaiser, besok kau juga harus mulai bersekolah."

"Aku tidak mau sekolah! Aku mau menjaga Ibu!" teriakku menggema di ruang tamu yang hampir kosong.

Tanpa aba-aba apapun, tangan kekarnya menamparku hingga tubuhku jatuh diatas kardus-kardus barang.

"Ayah! Sudah cukup, Ayah!"

Kaizen membantuku berdiri, siku kananku sedikit tergores, tapi tatapanku masih tajam kearahnya.

"Kaiser, kau juga berhentilah!" Sementara Arthur mencoba menahan tubuh Ayah yang ingin sekali lagi memukulku.

"Kenapa kau sangat keras kepala sekali?" ucap Kaizen sembari membalut lukaku dengan plester.

Kulihat Arthur meminta Ayah untuk melanjutkan pekerjaannya yang memindah barang, lalu dia menghampiriku dengan wajah kesal.

"Kaiser, cobalah menurut. Ini juga kemauan Ibu untukmu."

"Hah?" Aku tidak mengerti mengapa itu menjadi kemauan Ibu?

"Kaizen, antar dia masuk ke dalam mobil. Ayah biar ikut truknya."

Aku hanya pasrah mengikuti mereka, kedua kaki ini cukup berat untuk meninggalkan rumah. Tidak dapat kubayangkan akan menjadi seperti apa diriku di lingkungan yang baru. Aku malas bertemu dengan orang baru, sangat membosankan harus memperkenalkan diriku lagi di sana.

"Jaga sikapmu di tempat baru, Kaiser, jangan memasang wajah cuek. Kau hanya memperburuk citra sebagai Putra Michael," tutur Arthur menasehatiku ketika kami telah sampai di depan pagar rumah baru.

°^°^^°^°

"Aku mendengarnya dengan malas dan aku melihatmu sedikit mengintip kami."

Wajah Ness memerah mengetahui itu. Dia tidak menyangka Kaiser sempat menemukannya diam-diam mengintip.

"Aku membatin, sedang apa bocah itu?" Kaiser terkekeh dan masih melanjutkan, "kita bertemu lagi di kelas yang sama keesokannya. Wajahmu terlihat pucat waktu itu, tapi karena aku masih canggung untuk berkenalan dengan siapapun, aku hanya diam saja."

"Sejujurnya," Kaiser mendongak lurus menatap awan yang perlahan muncul hendak menutupi matahari.

"Aku ingin berkenalan denganmu, karena menurutku, cuma kau yang pernah aku lihat. Sayangnya anak-anak kelas mendahului mengajakku berkenalan dengan mereka. Aku tak bisa menolak, justru aku malah senang mereka lebih dulu mengajak berkenalan—"

"Dan sejujurnya," Ness menyela, dia ikut menatap ke langit yang sedikit berawan. "Aku juga ingin berkenalan denganmu lebih dulu, karena tanggapanku lambat, aku keduluan oleh anak-anak."

Walhasil, Ness mengungkapkan dirinya yang sudah sangat menginginkan beradaptasi dengan Kaiser.

Bocah blonde-blue  itu terkesiap mengetahui ungkapannya. Dia tidak menyangka mereka akan memiliki keinginan yang sama.

"Itulah yang terjadi ketika 2 orang canggung dipertemukan," kata Kaiser; dan Ness menyambungkan kalimatnya.

"Sekalinya akrab, seperti saudara jauh yang tak pernah bertemu."

Gelak tawa 2 bocah di bawah pohon Maple beriringan dengan embusan angin semilir yang membawa awan ke tempat mereka. Sedikit kelabu di atas sana, sepertinya ramalan cuaca yang dikatakan akan cerah berawan berganti menjadi mendung.

TATTOO || KAISER NESS ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang