Tidak terasa rumah tangga Fae sudah berjalan kurang lebih dua bulan, semua dilalui dengan tenang dan perlahan. Kontak fisik mereka juga sedikit demi sedikit mengalami kemajuan. Seperti tidak lagi canggung ketika bersentuhan baik dari Hillo sendiri. Terbiasa untuk melakukan kecupan singkat sebelum tidur yang di mana dilakukan oleh sang suami.
Untuk perdebatan kecil sudah pasti ada tapi akan berakhir dengan Hillo yang diam atau lebih memilih mengalah. Fae tentunya tidak ingin mengalah, egonya masih tinggi. Komunikasi antara mereka dengan kedua orang tua berjalan baik. Setiap pagi selalu menghubungi orangtua sekedar bertanya kabar atau bercerita hal yang tidak penting. Jika sibuk mereka cukup mengirimi pesan. Berhubung orangtua Hillo di Jakarta sama seperti mereka. Maka keduanya mengunjungi Abi dan Umi di akhir pekan.
Mereka tidak ingin pernikahan ini membuat hubungan ke keluargaan menjadi renggang. Sibuk dengan rumah tangga sendiri tanpa memikirkan orangtua yang mereka tinggalkan. Mereka ingin meninggalkan kesan bahwa meski mereka jauh di mata tetap terasa dekat di hati.
Seperti halnya sore ini. Bi Inem sudah pergi entah ke tetangga mana. Padahal sudah Hillo nasehatin untuk tidak sering menggosip tapi sepertinya susah baginya ntuk tidak melakukannya. Hanya berlaku satu hari saja keesokannya mulai keluyuran lagi menebar cerita. Dan Hillo tidak bisa memaksanya hanya bisa mengingatkan dan menasehati.
Jika untuk Fae sendiri sudah pasti sangat dilarangnya. Bertetangga sangat diperbolehkan tapi kalau sampai ke arah gosip sebaiknya Fae pulang.
Dan Fae mematuhinya. Ia juga merasa tidak terlalu cocok bergaul dengan perempuan. Mungkin karena semasa muda temannya kebanyakan lelaki. Lebih sering melakukan aksi daripada berceloteh. Namun jangan salah jika sudah mulai bercerita, omongan lelaki bahkan lebih tajam daripada perempuan. Sakitnya sampai menusuk.
"Mas sore ini kita mau ke rumah Umi, kan?"
"Hm."
"Tadi kita buatin umi bolu pisang suka nggak ya?"
"Apapun yang kita bawa umi pasti senang. Apalagi ada campur tangan menantunya."
"Ih, mas bisa aja. Jadi malu dedek." Fae mencubit kecil perut Hillo dengan genit.
"Katanya nggak mau dipanggil dedek."
"Tadi cuma bercanda. Bukan beneran sebutin diri Fae dengan panggilan dedek. Geli tau."
"Kamu udah siap?"
"Menurut Mas pakaianku udah sopan belum?"
"Sopan."
"Dandanan aku nggak menor kan? Nanti disangka umi aku menantu apa biduan dangdut."
"Astaghfirullah, nggak lah Fae. Kamu natural."
"Kita cuma bawa gini doang? Nggak ada parsel yang lain gitu? Pelit banget kita."
"Fae, Umi udah punya segalanya. Yang mereka butuhkan hanya kehadiran kita di rumahnya."
"Oh, yak?"
"Iya, kamu kayak baru kali ini aja main ke rumah umi."
"Heheh, biasa Mas menantu suka lebay perasaannya."
"Mana Fae yang sangat percaya diri itu?"
"Kalau sama mertua Mas jadi nggak percaya diri apalagi modelannya kayak umi yang sempurna."
"Udah ya sayang. Istri Mas harus percaya diri." Hillo menyunggingkan senyuman sembari menata rapi kerudung istrinya.
"Iya." Kenapa sih dia kalau Hillo sudah memanggilnya sayang pasti bersemu merah. Padahal ini sudah kedua kalinya ia mendengar kata sayang dari suaminya. Apa karena Hillo jarang mengatakannya jadi terasa spesial.
KAMU SEDANG MEMBACA
You Are My Destiny
RomanceSequel dari cerita "Bad Girl in Pesantren" *** Tujuh tahun telah berlalu. Sepasang manusia yang dahulunya pernah tinggal bersama di satu ruang lingkup bertemakan Pesantren kini dipertemukan kembali atas seizin Allah. Keduanya bertemu di sebuah seko...