3. Sebuah Rasa

3.3K 350 229
                                        

"Mau bicara?" tanya Fae langsung tak mau basa-basi.

Keduanya berjalan bersebelahan di koridor kelas hendak menuju ruangan yang dimaksud oleh Hillo.

"Ah---ya saya lupa. Sepertinya saya harus menjauh lebih banyak." Fae melangkahkan kakinya ke kanan sampai mentok ke dinding kelas membuat Hillo mendecak melihatnya.

"Tak perlu sejauh itu. Anda sangat berlebihan."

"Oh, ya? Bukankah ini adalah kebiasaan lama anda? Yang tak ingin berdekatan dengan saya. Apakah anda melupakan itu? Heh."

"Saya tidak melupakannya. Masa lalu bukan untuk dilupakan tetapi dijadikan sebagai pembelajaran di masa depan."

"O!" respon Fae singkat.

"Kembali ke topik awal. Katakanlah apa yang ingin anda katakan. Saya tidak punya banyak waktu untuk berbincang lebih lama bersama anda wahai tuan Hillo yang terhormat," kata Fae dingin.

"Panggilan itu..." Hillo tampak terdiam. Memikirkan sesuatu.

Sekian lama tak bertemu gadis itu nyatanya banyak memiliki perubahan yang membuatnya cukup tercengang. Kemana panggilan "Susu" yang selalu disematkan untuknya? Menghilang begitu saja. Apa dia sudah melupakan panggilan itu. Kenapa rasanya ada sedikit kekecewaan dihatinya saat ini.

"Kenapa? Ada yang salah? Bukankah nama anda adalah Hillo Al-hasan Atmadja? Saya memang sengaja menambahkan kata tuan tadi semata untuk menghormati anda sebagai anak dari pemilik yayasan ini saja. Tidak lebih."

Dan satu lagi Fae Farren sekarang bukanlah sosok bad girl yang seperti dahulu lagi. Dia sangat berubah dratis. Dia cenderung bersikap seakan engan berinteraksi dengannya. Padahal dulu dia sering menggodanya. Tutur katanya pun sangat dijaga. Walau sebenarnya ia senang melihat wujudnya yang seperti ini, feminim dan kalem mungkin. Tapi entah kenapa ada sedikit yang menjangal di hatinya. Ah, ntahlah.

Fae melirik sekilas Hillo yang masih betah diam. Anjas! Kece sekali lah ia sekarang ini. Bisa bersikap seformal ini pada si Susu. Padahal ia mah mati-matian untuk tidak bersikap jalang seperti dulu pada si Susu! Subhanallah.

MAMPOS LO, YAK, SU! GUE GINIIN. KAGET KAN LO? KEKKK, TAWANYA DALAM HATI. CIKIDIAW.

"H---"

"Aduh!" Fae meringis ketika bahunya ditabrak dari belakang oleh seseorang dengan keras.

"Maaf Bu maaf. Saya nggak sengaja dah. Sueeer!" gadis berambut bob itu meminta maaf dengan cepat sambil terus berlarian.

"Anda tidak apa-apa?" tanya Hillo sedikit khawatir.

"Nggak. Cepatlah berbicara." ketusnya.

Hillo mengangguk, "F---"

"GADIS NAKAL! HEI, KEMARI KAMU!!!"

Ghos... Hoss! Wanita tua yang berteriak keras tadi menghentikan langkahnya di samping Fae. Kedua kakinya sedikit menekuk. Satu tangannya diletakan di pinggang satunya lagi berpegangan pada gadis di sebelahnya. Napasnya tersengal. Kelelahan akibat mengejar salah satu murid nakalnya.

"Ada apa Bu Sukma?" tanya Hillo segera mendekat.

"Melanggar aturan ya Bu?" tanya Fae yang langsung mengerti situasi ini.

"IYA! Penerusnya kamu itu. Selalu buat saya pusing tujuh keliling apalagi jika sudah bersama gengnya. Ampun saya ngadepin mereka!" marahnya.

Fae dan Hillo meneguk ludah saat baru menyadari di tangan Bu Sukma terdapat penggaris kayu andalannya.

"Sabar ya Bu sabar," ujar Hillo berusaha menenangkan.

"BU SUUUK! KITA MERINDUKANMU!!!"

Sontak ketiganya menoleh ke belakang dan nampaklah Alfa, Aira dan Aga bersama orang-orang yang dibawanya.

You Are My DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang