Tok. Tok. Tok.
"Tolong jaga radius dalam 3 meter dariku, Mas!"
Fae membuka pintu dengan pelan dan menatap waspada suaminya.
"Mas, lelah."
Apalagi ini?
"Maksud Mas? Ngomongnya yang spesifik dong jangan bikin parno."
"Mas lelah berpura-pura menjadi orang yang sok asik."
Oh, baguslah.
Sadar juga akhirnya.
"Lalu?"
"Kamu nggak ingat, Fae. Kamu yang minta Mas untuk bersikap ekspresif. Dan terus menanyakan perihal panggilan Mas ke kamu apa. Kan jadinya Mas kepikiran," omelnya.
"Mas aku minta untuk ekspresif bukan bersikap freak ataupun Cringe kayak tadi bikin geli tau nggak. Yang ada aku jijik sama Mas."
"Ah, masa?"
"Ho'oh!" Fae memutar jengah bola matanya.
Tiba-tiba Hillo mengulurkan kedua tangannya lalu menempelkannya pada Fae.
"Tuh kamu nggak jijik."
"Nggak gitu juga konsepnya Bapak Hillo," desisnya.
"Udahlah, ayo kita pergi ke swalayan."
"Belanja bulanan?"
"Hm."
"Sekarang?"
"Hm."
"Yaudah, tunggu bentar."
"Hm."
Duh, beneran balik ke setelan pabrik dia. Tapi tidak apa-apa jauh lebih baik begini daripada seperti tadi.
Beberapa menit kemudian setelah dirasa semua sudah siap. Mereka langsung bergegas menuju ke tempat tujuan tentunya menggunakan mobil karena akan ada banyak barang bawaan. Gaya berpakaian mereka simple. Meski keduanya lulusan Pesantren dan Hillo memiliki ilmu yang cukup luas. Hal itu tidak membuat mereka berpakaian seperti muslim Arab. Hillo bahkan Fae sama-sama memakai celana panjang yang tidak memperlihatkan lekukan tubuh. Dan keduanya memilih warna hitam putih. Sudah seperti muda-mudi yang ingin mengajukan lamaran kerja.
Fae mengeluarkan catatan mereka dari Bi Inem. Maklum pengantin baru belum terbiasa dengan belanja kebutuhan pokok rumah tangga. Daripada lupa ya lebih baik ditulis. Fae terus-terusan mengulurkan kertas kecil yang berukuran panjang kurang lebih setengah meter. Membuat Hillo yang memerhatikannya menjadi menjadi malu.
"Eh, buset! Panjang bener udah kek contekan gue selagi SMA aja," komentar Fae.
"Fae buka sedikit-sedikit nggak usah langsung di hampar kan seperti itu. Diliatin orang, malu." Hillo mendekatinya sekaligus berbisik.
"Heheh, nggak puas Mas kalu pendek Mah. Kalo sepanjang gini kan baru mantep."
"Ayo kita ke sebelah sana." Sembari mendorong troli, Hillo juga mendorong istrinya untuk cepat berjalan karena mereka berdua sedikit menghalangi orang yang hendak lewat.
"Maaf Pak, Bu."
Sebenarnya sepasang suami-istri lansia tersebut tidak masalah hanya Hillo saja sepertinya merasa tidak enak hati. Malah mereka terkekeh mendengar celotehan Fae tadi.
Bruk!
"Fae, kamu apa-apan? Ayo cepat berdiri." Seketika Hillo dibuat panik oleh tingkah ajaib istrinya yang tiba-tiba duduk ke dalam troli dengan kedua kaki yang menjuntai keluar.
KAMU SEDANG MEMBACA
You Are My Destiny
RomanceSequel dari cerita "Bad Girl in Pesantren" *** Tujuh tahun telah berlalu. Sepasang manusia yang dahulunya pernah tinggal bersama di satu ruang lingkup bertemakan Pesantren kini dipertemukan kembali atas seizin Allah. Keduanya bertemu di sebuah seko...