34. Memiliki Seutuhnya

1.2K 244 108
                                    

Fae senang ketika Hillo bercerita penuh semangat tentang keluarganya karena itulah ia jadi tahu banyak mengenai apa yang disukai dan tidak disukai sehingga memudahkan dirinya untuk mengambil hati mereka semua dengan membawakan sesuatu. Sebagai istri yang mau disayangi mertua. Sikap baik itu diperlukan.

"Semoga Abi Herman sama Umi Sofia suka. Point ples ples gue bakal nambah, hihi."

"Assalamu'alaikum, Umi." Sapa Fae dengan senyum lima sentinya setelah menyalimi tangan lembut wanita itu.

"Wa'alaikumsalam. Kamu sendirian menantuku? Suamimu masih kerja ya?"

"Iya Umi," jawabnya kalem sambil tersenyum lagi. Racuni umi Sofia dengan senyuman agar tambah klepek sama dirinya. "Ini Fae bawakan brownis obrolan manis."

"Bukannya umi nggak suka ya nak kamu ke rumah. Umi cuma heran, kamu ke sini hari senin? Kemarin baru ke sini? Kalian baik-baik aja, kan?" tanya Sofia hati-hati, ada nada khawatir dan penasaran juga.

"Baik, umi. Nggak ada yang perlu dikhawatirkan. Fae abis pulang kerja terus liat toko brownies jadi keinget umi."

Alasan keduanya benar . Tapi alasan utamanya lebih sangat benar lagi. Fae sengaja datang ke rumah orangtua mereka demi menghindari Hillo. Ia masih malu dengan kejadian semalam.

"Oh, gitu ceritanya. Syukurlah anakku. Kamu tau aja umi suka sekali makanan ini."

"Apaseh yang nggak Fae ketahui tentang Umi," godanya.

"Ah, kamu bisa saja Fae. Umi jadi malu." Sofia menepuk pelan lengan Fae kemudian tertawa.

"Untuk abi nggak ada nih?" Tanya Herman menghampiri kedua nya di dapur.

"Ada dong! Masa iya Fae lupain Abi yang bijaksana ini seh. Abi itu selalu ada di hati. Mana bisa dilupain."

"Haha." Herman tertawa kecil.

"Fae bawakan Abi sesuatu yang spesial pake banget yaitu risol mayo."

"Makasih ya. Menantu kita ini selain cantik ternyata pengertian sekali."

"Pasti Abi dan Umi bangga pake banget kan punya menantu modelannya kek Fae? Aduduh, pintarnya Mas Hillo pilih istri." Fae berkata dengan percaya dirinya membuat mereka terkekeh.

"Bangga banget. Sini Abi cicipin biar bangganya makin dobel."

"Awas ya kalau nggak enak. "

"Santuy, umi. Biar Fae yang ambilin piring dan sendoknya. Umi duduk manis aja di sini menemani Abi makan." Cegah Fae menahan tangan Sofia yang hendak bangkit. Tak butuh waktu lama untuk membawakan piring beserta garpu ke hadapan mereka.

"Kamu nggak ikutan makan?"

"Nggak, yang udah dikasih nggak boleh diambil lagi nanti sikutan."

"Ada-ada aja kamu."

"Gimana, mi?" Tanya Herman.

Tidak ada rasa deg-degan yang menerpa jantung Fae ketika mereka mencicipi. Ia sangat yakin bahwa makanannya pasti enak kok. Masakan boleh tidak tapi soal selera. Fa jagonya. Butuh bukti? Contohnya tuh, suaminya. Kalaupun tidak enak ya kali dua manusia baik hati ini akan berkata yang melukai hati. Mereka bukanlah chef Juna yang akan mengatakan makanan ini adalah sampah dan berniat melemparkannya.

"Enak."

"Tuh kan apa kata Fae pasti enak kok kalo nggak enak ya dienak-enakin aja."

"Ini beneran enak sayang. Umi nggak bohong. Rasanya pas cocok di lidah Umi."

"Benar apa kata umimu."

"Iyalah manis Abi yang beli kan Fae jadi rasanya ketularan oleh kemanisan yang Fae punya."

You Are My DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang