18. Aku, Kamu menjadi Kita

2.5K 297 80
                                    

Fae mondar-mandir di depan kamarnya. Ia bingung, deg-degan dan gelisah. Pasalnya sore ini sehabis waktu Ashar nanti. Hillo akan mengajaknya untuk datang ke rumahnya bertemu sama orangtua nya. Gimana tidak karuan coba?

"Aduh, Bundaaa. Anakmu ini... tolonglah."

Fae panik. Padahal cuma bertandang ke rumah orang. Hal sepele sekali yak. Tapi, yang jadi permasalahannya adalah ia akan bertemu camer. Bagaimana nanti ya pandangan Umi-nya Hillo terhadap dirinya yang semrawut? Kalau Abi-nya? Kan Sudah kenal Fae dari SMA. Sudah tau busuknya Fae itu seperti apa. Lah, Umi Sofia? Fae cukup tau dirilah.

Apalagi pernah ada kenangan pahit yang ia lakukan kepada wanita itu. Masih ingat tidak ya? Bye-bye akhlak.

"Nak Fae kok belum siap-siap?"

Bi Inem menghampiri Fae dengan membawa bingkisan yang telah disiapkan untuk keluarga Hillo.

"Fae takut Bu." Fae malah memeluk Bi Inem dari samping. "Nanti kalo Mak Susu nggak setuju gimana yak? Kalo tau calon mantunya ini tak naruh akhlak," manyunnya.

"Hahaha, tumben kamu begini Fae. Biasanya paling berani dalam segala hal, asal nyeplos, nggak memusingkan omongan orang lain. Kok ini?"

"Ini beda, Bu."

"Penilaian pas calon PNS kamu siap lahir dan batin nggak takut nggak lolos. Kok ini?"

"Beda, Bu. Kan udah Fae bilang B-E-D-A loh. Nggak gol tes itu pindah ke sekolah lain. Lah, ini? Masa pindah ke mertua lain? Ini penilaian calon mantu yang Fae nggak tau mertua Fae ganas apa nggak."

"Mbok yo nggak mungkin lah nduk. Ibunya nak Hillo persis anaknya kok. Percaya sama ibu. Sambutan terhadap kamu nantinya pasti baik dan ramah."

"Kalaupun iya. Alhamdulillah banget." Fae melepaskan pelukannya.

"Itu nak Hillo sudah menunggu lama loh.

"Ha? Sejak kapan?"

"Dari sepuluh menit yang lalu."

"Fae udah cakep belum Bu? Rapi? Bersih? Kinclong?"

"Apasih nduk kayak lantai saja jadinya."

"Hehehe. Lagi gugup ini jadi harap maklum omongannya ngelindur."

"Ayo nak."

"Hayuk, Bu. Jantung gue mohon jangan berulah, diem napa seh." Fae menepuk pelan dadanya.

Ini kenapa ia lebih dag-dig-ser ketemu sama maknya daripada anaknya seh. Kenapa?

Ternyata begini rasanya jika seorang perempuan hendak dikenalkan lebih dekat ke keluarga laki-laki. Fae tidak bisa menjabarkannya. Sulit.

"Assalamu'alaikum." Hillo mencium punggung tangan Bi Inem.

"Wa'alaikumsalam."

Fae dibuatnya terpesona. Astaghfirullah. Tolong pandangan dijaga, sudah jadi ughtea juga.

"Sudah?" tanya Hillo lembut pada Fae.

"Ho'oh."

"Keliatan gugup."

"Ho'oh."

"Biasa Saja."

"Nggak bisa. Gue udah deg-deg-seeer pake banget, Su."

"Mau dibukain pintunya apa buka sendiri?" tanya Hillo.

Hati Fae mendadak jengkel dibuatnya. Mau romantis kok jatuhnya setengah-setengah seh?!

"Buka sendiri. Punya calon laki nggak ada romantisnya," dumel Fae membuka pintu mobil lalu duduk dengan muka tertekuk.

"Kok duduk di sana?"

You Are My DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang