02. Morfem Berbeda

12.5K 972 68
                                    

"Luka di hati mungkin bisa disembuhkan oleh waktu. Sayangnya, waktu berhenti saat kita berpisah."

° ° °

YASA bergumam pelan, menghitung kembali setiap pagi yang telah dia lewati. Ternyata, pepatah hidup harus seperti jam dinding, benar adanya. Meski tidak dilihat, dia tetap berputar. Meski diabaikan, dia tetap berdenting. Saat dia berhenti bergerak, di sanalah dia berjumpa dengan kematian.

Namun, ada hal yang mungkin juga salah. Bagi Yasa, jarum jam tidak pernah bergerak, dia hanya mengulang. Berporos pada satu titik yang paten, kemudian mengabsen satu tempat dan berakhir di tempat yang sama. Bergerak dari angka 12, kemudian kembali menemui angka 12 yang sama.

Hanya itu.
Percis seperti Yasa.

Sudah tak terhitung Yasa melalui hari dengan sendu yang tak jauh berbeda. Hari ini, Yasa kembali berjumpa dengan pagi dan perasan yang sama, seperti ketika waktu yang Yasa miliki berhenti begitu saja.

Perempuan cantik itu duduk di depan meja rias dengan pakaian yang sudah sangat rapi. Dia tengah menata sederhana rambut legamnya, kemudian memoles wajahnya tipis-tipis. Namun, tak jarang helaan napas dari bibir merah muda itu terdengar begitu jemu.

Entah apa yang membuat Yasa jenuh. Dia bukan enggan untuk memulai hari yang sama, tapi entah kenapa hatinya tak kunjung berubah. Terasa ada bagian kosong yang Yasa rindukan. Terasa ada yang kurang dalam dirinya. Padahal, percis seperti luka yang sembuh karena waktu. Di bawah kekuasaan waktu yang sama, dunia Yasa pun perlahan pulih. Lebih tepatnya berubah layaknya siang dan malam.

"Buna ...."

Yasa menoleh. Raut wajahnya seketika berubah saat menatap gadis mungil yang berdiri di ambang pintu kamar.

"Baby, kenapa gak pake baju, sayang?" Yasa terkejut melihat putri kecilnya hanya memakai celana dalam merah muda berkarakter Barbie rambut pirang.

"Ayas mandi ama Buna ...." Ayas merengek sambil menggosok matanya. Gadis kecil itu terlihat masih menahan kantuk. Bahkan, sebagian rambutnya naik ke atas seperti disasak setengah jadi.

Yasa segera mendekati putrinya itu sambil manahan kekehan gemas, kemudian berjongkok untuk menyamakan tinggi badannya dengan Ayas. "Tadi katanya mau mandi sama Ateu Mala, sekarang mau sama Buna. Mana udah gak pake baju gini, masuk angin nanti," ucapnya.

"Tau tuh, Teh. Kabur begitu aja. Dasar bocil!"

Itu Mala yang menimpali. Gadis itu berjalan dari kamar berbeda dengan pakaian yang tak kalah rapi dan wangi seperti Yasa.

"Lho, La. Kamu udah rapi. Mau ke mana?" tanya Yasa.

"Ke kampus," sahut Mala. Dia meringis kaku sambil menatap kakaknya. "barusan ditelpon temen. Ada make up class dadakan," sambungnya.

"Ayas gimana? Teteh mau ke sekolah hari ini," ucap Yasa.

Mala kembali tertawa canggung. Setelah Bapak tiada, Mala memang sering membantu Yasa untuk menjaga Ayas. Terlebih saat Yasa harus ke sekolah, seperti hari ini. Namun, niat baik Mala harus gagal karena kelas pengganti tiba-tiba.

"Bawa ke sekolah aja atuh, Teh. Punten pisan. Soalnya, dosennya agak killer. Aku takut kalau bolos."

Yasa langsung memandangi putri kecilnya. Sebetulnya, Ayas memang sering ikut Yasa ke sekolah, tapi setelah kejadian Ayas jatuh di tangga sekolah, Yasa sangsi untuk membawa putrinya ke sekolah lagi. Dia takut kejadian itu terulang lagi. Karena saat ngajar, Yasa tak bisa sepenuhnya mengawasi Ayas. Terlebih, di usianya sekarang, Ayas sangat suka berlari dan berjingkrak ke sana kemari. Bagi Ayas, sekolah adalah tempat bermain yang menyenangkan karena banyak hal-hal baru untuknya. Tak hanya kucing di tangga sekolah, tiang bendera pun menjadi teman Ayas bermain.

"Ya, Teh? Aku mau berangkat sekarang. Udah ditungguin Wildan di depan." Mala kembali mengiterupsi lamunan Yasa sambil melirik ke luar rumah sekilas.

Yasa mengagguk samar. "Ya, udah. Hati-hati. Ayas biar ikut sekolah aja."

Mala langsung terbirit. Dia berlari tergesa ke luar rumah, meninggalkan Yasa dan putrinya di ambang pintu kamar. "Eh, Teh. Jangan lupa nanti sore kita bikin video buat endors! Assalamu'alaikum!" teriaknya.

"Wa'alaikumsalam." Yasa tersenyum kecil. Kini, Mala bukan anak SMA lagi, tapi kelakuannya tetap seperti bocah kecil.

"Buna, Ayas cekola?" Ayas bertanya sambil melompat kegirangan.

"Iya, hari ini Ayas ikut Buna ke sekolah, tapi Ayas harus janji ...." Yasa sengaja menggantungkan ucapannya, membiarkan Ayas melanjutkannya.

"Janji gak lali-lali. Ayas mo dengelin Buna belajal," sahut Ayas dengan suara menggemaskan.

"Pinter. Sekarang, kita mandi dulu. Okay?"

"Siap, Buna Cantip!"

Ini alasan dunia Yasa bisa berubah. Ayas, malaikat kecil yang hadir bagaikan penawar setiap kesedihan. Meski satu demi satu orang yang Yasa sayangi pergi. Meski cinta demi cinta yang Yasa miliki hilang begitu saja. Namun, kehadiran Ayas seakan mampu membuat Yasa lupa kekosongan hatinya, mampu membuat Yasa rela untuk terus mengulang harinya.

Ayas tumbuh menjadi gadis kecil yang terkadang rewel, tapi tak jarang menggemaskan hingga membuat Yasa menggeleng-gelengkan kepalanya. Seperti pagi ini, perkara mandi saja, Ayas mampu membuat Yasa mengelus dada. Demi membuat putri cantiknya itu mau mandi, Yasa rela membasahi seragam gurunya karena cipratan air, ditambah dengan puluhan kecupan penuh busa sabun mandi dari Ayas

Hingga tak terasa, ritual mandi Ayas hampir menghabiskan waktu setengah jam. Sekarang, mereka berdua siap untuk pergi sekolah. Yasa sudah mengganti pakaiannya dan kembali merias wajahnya.

Sedangkan, Ayas sudah cantik dengan dress mini lengkap dengan bandana dan tas mungil di punggungnya. Gadis kecil itu berlari ke luar rumah. Dia sudah tak sabar untuk pergi ke sekolah bersama bundanya.

"Ayas ... tunggu sebentar, sayang. Kita pesen ojek dulu!" Yasa sedikit berteriak sambil mengikuti langkah mungil Ayas dari belakang.

Bukannya menunggu, Ayas malah berjingkrak dengan langkah mungil. Dia berlari ke luar rumah. "Papa! Buna ada papa!" teriaknya

Yasa berjalan cepat mendekati Ayas. Ternyata, sebuah mobil putih sudah terparkir begitu apik di pekarangan rumah. Yasa hapal siapa pemiliknya.

"Mas Jaya." Yasa bergumam pelan.

Sesuai dengan dugaan Yasa, Jaya keluar dari mobil. Pria itu tersenyum hingga memerkan kedua lesung pipinya. Dia melangkah sambil mengulurkan kedua tanyannya pada Ayas. "Baby, mau ke mana? Udah cantik begini," serunya.

Ayas kecil menyambut uluran tangan Jaya. Gadis mungil itu tak segan untuk melompat ke pangkuan Jaya. "Ayas mo cekola ama buna," ucapnya.

Diam-diam, Jaya menatap Yasa yang masih berdiri di beranda rumah. "Yas ... Mas kira kamu gak ada jadwal ke sekolah dan maaf datang pagi-pagi begini, sekalian nganterin Gio ke sekolah," ucapnya dihiasi senyuman manis.

Yasa hanya tersenyum kecil. Bukan pertama kalinya Jaya bertamu ke rumah Yasa. Pria itu seakan mengisi posisi kosong untuk Ayas. Pria itu pula yang seakan meminta hati Yasa untuk berubah arah.

Jujur, 3 tahun harusnya cukup untuk mengubah segalanya, tapi tidak dengan hati Yasa. Layaknya jarum jam dan angka 12. Ke mana pun hati Yasa berkelana, dia tetap terjatuh pada ketakutan yang sama. Takut akan sendu dan rindu.

𝓑𝓮𝓻𝓼𝓪𝓶𝓫𝓾𝓷𝓰 . . .

MENGULANG HARGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang