"Aku tidak akan pernah menyesali pertemuan kita. Karena di bawah kuasa waktu yang berbeda sekalipun, kamu tetap yang kuinginkan."
° ° °
GESA tak bisa menahan gelak tawanya saat mendengar nyanyian Ayas sepanjang jalan. Pria itu terkekeh sambil memegangi perutnya yang kini terasa sakit karena terlalu banyak tertawa. Padahal, dia tengah mengendarai mobil, tapi nyanyian Ayas sungguh tak bisa Gesa lewatkan.
Pasalnya, bocah cantik itu terus bersenandung sambil menari-nari di pangkuan Yasa. Begini bunyi nyanyian Ayas, "Buaya o buaya, kenapa kejal akuu. Cemana aku dak kejal, keong kejal aku ... keong o keong kenapa kejal aku, cemana aku dak kuyus-"
"Cemana aku tak kejar ...." Gesa menimpali nyanyian Ayas sambil cekikikan. Dia benar-benar menyerah sekarang. Putrinya itu terus mengalihkan fokus Gesa pada jalanan panjang di depan sana.
"Ah, Ayah ganggu aja!" Ayas merajuk. Dia melirik Gesa melalui sudut matanya begitu sinis "Ayas lagi nyanyi, nih!"
"Tapi 'kan ... nyanyinya salah, sayang. Makanya, dibenerin sama Ayah." Kali ini Yasa yang menimpali.
"Huh!" Ayas mengerucutkan bibirnya mirip ujung ikatan balon. "Ayas 'kan masih kecil. Gimana sih, Buna," timpalnya.
"Iya, deh. Ayas masih kecil," sahut Yasa. Dia tak mau berdebat dengan bocah kecil itu.
Sambil mengendarai, Gesa hanya melirik sekilas. Dia penasaran siapa yang mengajari gadis pintar itu hingga bundanya sendiri menyerah untuk berdebat.
Tak hanya menggemaskan, Gesa bahkan terkejut karena kecakapan Ayas yang melebihi rata-rata anak seusianya. Ayas sudah mengenal beberapa huruf dan angka. Simpati dan empatinya pun mulai terlihat. Tadi, Ayas sempat menangis melihat nenek-nenek pemulung di lampu merah. Katanya, "Nenek kasian. Kepanasan, gak pake sendal. Bajunya juga kotoy. Buna, ayo kita beli baju buat nenek kasian."
Ternyata, Yasa tak hanya memberikan seluruh wajah cantiknya pada Ayas, tapi keindahan hati yang selalu Gesa puja juga ada dalam hati kecil nan sempurna milik Ayas.
Jujur, tak pernah terbayangkan sebelumnya dalam benak Gesa, dia akan mengenal putrinya lebih dekat seperti ini, mendengar secara langsung gadis kecilnya bernyanyi dan merengek manja.
Rasanya, impian Gesa benar-benar ada di depan matanya sekarang.
Mungkin, Tuhan memang terlalu baik pada Gesa. Dalam hancurnya kayakinan karena luka dan kekecewaan, Tuhan tetap memberikan kebahagian pada Gesa. Namun, jika boleh untuk Gesa meminta lebih, Gesa ingin memiliki kebahagian itu selamanya, memiliki setiap waktu dan harapan itu selamanya.
Jika bisa, Gesa ingin menghabiskan hidupnya bersama Yasa dan putri kecil mereka. Entah dengan suka atau duka, entah bersama tawa atau tangis, Gesa ingin memberikan versi terbaiknya untuk Ayas dan Yasa. Dia ingin menyerahkan seluruh hatinya untuk kebahagiaan dua figur cantik itu.
Tanpa sadar, bibir Gesa terus tersenyum. Entah sudah berapa kali kedua mata bulan sabitnya tercipta karena kebagiaan dari senyuman yang merekah.
"Ayah, gunungnya masih jauh?" Ayas kembali bertanya. Kali ini dengan wajah yang mulai mengantuk. Sesekali, dia menguap sambil menggosok matanya.
"Bukan gunung, Baby ... tapi Bandung," timpal Yasa.
"Jauh gak, Buna?"
"Masih jauh, ini baru setengahnya. Jalannya masih panjang."
Ayas merentangkan kedua tangannya, seolah mengukur udara dengan sepasang lengan mungil itu. "Sepanjang ini?" tanyanya.
"Lebih panjang lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
MENGULANG HARGA
RomancePerpisahan menjadi harga yang telah Gesa dan Yasa pilih. Namun, mereka hampir melupakan bahwa ada kebahagian kecil yang menanti indahnya sebuah pertemuan. Ayas mulai mengerti arti cinta dalam sebuah keluarga. Gadis mungil itu bertanya, "Bunda ... Ay...