"Pertemuan kita tidak diciptakan untuk sendu atau bahkan dikalahkan oleh ragu, tapi kebahagian bagi setiap kepingan hati yang merindu."
° ° °
YASA memang tak pernah meminta untuk dipertemukan lagi dengan Gesa. Pedihnya perpisahan kala itu masih dengan indah Yasa tuai hingga saat ini. Masih jelas terekam bagaimana hari itu dia dan Gesa memilih untuk menjadi asing, berjalan di jalan berbeda dan dengan tujuan yang tak sama.
Namun, mendengar gelak tawa Ayas dalam pangkuan Gesa, membuat Yasa ingin mengulang segalanya berulang kali, mengemis lagi akan cinta, kembali merasa untuk asa, juga terluka karena kecewa untuk kesekian kalinya.
Dengan senyuman tipis di wajahnya, perempuan cantik itu hanya bergeming. Dia tengah menyaksikan Ayas yang begitu asyik menyusun setiap balok lego bersama Gesa. Ayah dan putrinya itu duduk di lantai ruangan rawat inap beralaskan karpet bulu dengan berbagai macam mainan yang berserakan di mana-mana.
"Ayas mau buat istana besaaaaal ...." Gadis mungil itu dengan sekuat tenaga merentangkan kedua tanyannya. Dia tak henti berceloteh sambil duduk dalam pangkuan Gesa. Tak jarang, dia melompat-lompat dan sukses membuat ayahnya meringis ngilu.
Meski sambil menahan napasnya, Gesa mengangguk. Dia kecup pucuk kepala putrinya itu. "Ayok, kita buat istana yang besaaaaaar, tapi Ayas mau sebesar apa?" tanyanya.
"Sebesal dunia!" Ayas berteriak hingga terdengar ke luar ruangan.
Yasa sungguh tak bisa mengalihkan padangannya dari Gesa dan Ayas. Pemandangan indah seperti itu yang sempat Yasa kubur dalam harapannya, senda gurau seperti itu pula yang Yasa buang dari mimpi indahnya.
Entah kebahagiaan yang tertunda atau awal kesedihan yang tak pasti. Yasa tak tahu kedatangan Gesa bisa menyembuhkan lukanya, atau malah membuka kembali luka yang dengan susah payah Yasa tutupi. Sudah sejak lama Yasa menutup hatinya pada siapa pun, membiarkan hatinya tidak disentuh oleh siapa pun, juga menolak setiap harapan yang datang, lalu berakhir dengan hati yang tak kunjung mendambakan mimpi indah.
Namun, lagi dan lagi, senyuman dan tawa Ayas membuat Yasa menginginkan luka itu berulang kali. Diam-diam, Yasa memainkan jamarinya sendiri, mengabsen setiap ruas jari yang ternyata masih menginginkan sebuah genggaman.
"Yas!"
Perhatian Yasa teralih karena seruan seseorang, suara berat itu membuat Yasa berani untuk menolehkan kepalanya. Yasa pandangi figur tinggi di ambang pintu kamar. Pria berkaos hitam yang tak jemu memamerkan senyuman dari kedua lesung pipinya.
"Mas," panggil Yasa.
"Papa!" Tiba-tiba, Ayas berteriak saat melihat figur Jaya di sana. Gadis mungil itu berlari, meninggalkan Gesa yang kini ikut mematung karena kedatangan Jaya.
"Baby ... jangan lari-lari, sayang." Jaya segera menyambut Ayas dengan kedua tangannya. Dia gendong gadis mungil itu, lalu mengusap rambut Ayas yang sedikit basah karena keringat selepas bermain.
"Abang Gio?" tanya Ayas. Dia celingak-celinguk mencari bocah laki-laki yang selalu datang bersama Jaya.
"Abang nunggu di mobil," sahut Jaya.
"Kenapa gak diajak ke sini, Mas. Bahaya ih." Yasa ikut menimpali.
"Dia gak mau ketemu Ayas ...."
Seakan tak menyadari kehadiran Gesa, Jaya terus mengambil perhatian Ayas dan Yasa. Dia begitu bersemangat menceritakan bagaimana Gio tak berhenti menangis saat Ayas masuk rumah sakit. Gio juga menyalahkan dirinya sendiri karena dia yang memang mendorong sepeda Ayas malam itu. Makanya, bocah itu tak mau bertemu Ayas. Katanya, "Ayas marah sama Gio." Padahal, Ayas yang malah menyakan Gio.
Di sisi berbeda, Gesa menyaksikan pemandangan itu dengan perasaan yang tak karuan. Ada rasa cemburu yang berpadu dengan ragu. Tempat indah yang Gesa impikan sebagai seorang ayah untuk Ayas dan pasangan untuk Yasa seakan benar-benar tidak bisa Gesa miliki lagi. Hatinya bergemuruh gusar. Ada rasa tak suka saat Yasa tersenyum untuk Jaya. Ada rasa benci saat Ayas memeluk tubuh Jaya.
Gesa berdeham. Dia mendekati Yasa dan berdiri di samping perempuan cantik itu. Gesa tak segan menatap pria di depannya. Tak mau kalah, Jaya juga terang-terangan menatap Gesa.
Yasa mengerjapkan matanya. "Ah, iya. Mas, ini Pak Gesa. Dan Pak ... ini Mas Jaya," ucap Yasa, memperkenalkan dua pria itu satu sama lain.
Kedua pasang manik penuh tekad itu saling bertukar maksud, memperlihatkan kayakinan siapa yang paling kuat. Gesa sempat mendengar nama Jaya. Bahkan, dalam video Ayas, nama itu pernah Yasa sebut.
Tak jauh dari sana, Mala dan Wildan ikut menghentikan langkah mereka saat mendapati pemandangan Jaya dan Gesa berserta Ayas dan Yasa. Bahkan dalam imajinasi Mala, dia bisa melihat sambaran petir warna biru dan kuning dari tatapan Gesa dan Jaya.
Tiba-tiba, Mala menarik tubuh Wildan untuk bersembunyi di samping pintu. Keduanya hanya mendengarkan apa yang terjadi di dalam sana diam-diam.
"Babe, kenapa? K-kok kita malah sembunyi gini?" tanya Wildan penasaran.
Mala sengaja menyikut perut Wildan. "Jangan berisik. Kayaknya, kita harus beli popcorn," bisiknya.
Wildan yang tak mengerti, menatap kekasihnya itu dengan selidik. "Bukannya hari ini kita mau jemput Ayas? Kok malah beli popcorn? Ada film baru?" tanyanya.
Mala mendesis kesal. Dia menghela napasnya. Dia sengaja menutup mulut Wildan yang tak henti bertanya. "Iya, film baru, perang dunia ketiga!" cecarnya.
Di dalam sana, tak ada tutur sapa yang terdengar dari Gesa maupun Jaya. Yasa pun ikut terdiam dan sesekali melirik Gesa di sampingnya. Entah karena apa, mereka terjatuh dalam kecanggungan.
"Papa, Ayas punya mainan balu, banyak ...."
Rengekan Ayas sontak mengambil alih perhatian Jaya. Pria itu menatap setiap maninan yang berserakan di lantai. Mulai dari boneka barbie bersayap, hingga mainan dokter dan masak-masakan.
"Dali ayah," sambung Ayas, memberitahu dari mana mainan itu dia dapatkan.
Gesa langsung mengulurkan tangannya pada Jaya.
"Perkenalkan, saya Jaya," sahut Jaya sambil membalas jabatan tangan Gesa. Dia memang tak pernah bertemu dengan Gesa, tapi dia tahu siapa Gesa.
Gesa tersenyum tipis. Dia sengaja mengeratkan genggaman tangan mereka. "Saya Gesa, ayahnya Ayas."
𝓑𝓮𝓻𝓼𝓪𝓶𝓫𝓾𝓷𝓰 . . .
KAMU SEDANG MEMBACA
MENGULANG HARGA
RomancePerpisahan menjadi harga yang telah Gesa dan Yasa pilih. Namun, mereka hampir melupakan bahwa ada kebahagian kecil yang menanti indahnya sebuah pertemuan. Ayas mulai mengerti arti cinta dalam sebuah keluarga. Gadis mungil itu bertanya, "Bunda ... Ay...