"Bukan tak ada kesempatan kedua, tapi waktu yang sudah berbeda."
° ° °
GESA tengah mencari diksi indah untuk menawar tatapan polos dari putri kecilnya. Tepat di depan Gesa, gadis mungil itu masih menuggu tuturan ayahnya yang sejak tadi membisu tanpa sua. Jika bisa, sebenarnya Gesa tak mau berbohong, tapi Ayas belum mengerti akan kejinya sebuah kebenaran. Gesa tak bisa bilang bahwa dia pergi. Dia juga tak kuasa untuk berkata bahwa dia meninggalkan putrinya untuk menghukum diri.
Banyak sekali hal yang ingin Gesa tunjukkan pada putri kecilnya. Tak terhitung pula cinta yang ingin dia tumpahkan untuk malaikat kecilnya. Namun, tidak dengan hatinya yang telah rusak karena keegoisan. Gesa tak mau menunjukkan sisi buruknya di depan Ayas. Gesa juga tak mau memberikan figur candala pemuja keserakahan. Jika dulu Gesa tak bisa menjadi suami yang sempurna, maka sekarang izinkan Gesa menjadi ayah yang pantas untuk dicintai, ayah yang menjadi cinta pertama bagi putrinya.
"Ayas ... ayah bukan gak ada, ayah selalu ada." Gesa bawa tangan mungil Ayas agar menyentuh dada mungil sang empunya. "di sini. Ayah selalu ada di sini."
Ayas menundukkan kepalanya, merasakan detak jantungnya sendiri. Dia tatap lengan besar ayahnya yang setia menggenggam tangannya. Entah mengerti atau tidak, tapi gadis cantik itu tersenyum. "Dada Ayas bunyi," gumamnya.
Gesa ikut tersenyum. Murninya hati kecil Ayas benar-benar menjadi penawar hati Gesa yang telah rapuh oleh kekecewaan. Dia bawa gadis kecil itu dalam pelukannya. Dia ciumi seluruh wajah cantik dan menggemaskan itu.
Gelak tawa Gesa tak mampu tertahan lagi saat Ayas mengerucutkan bibir sambil mengusap pipinya.
"Ih ... basah. Ayah jolok!" Ayas mulai merengek. Dia usap sekali lagi kedua pipinya itu.
Bukannya berhenti, Gesa terus menghujani wajah Ayas dengan ciumannya. Saking gemasnya, Gesa bahkan ingin mengigit pipi tembam bagaikan buah peach itu.
"Buna!" Kali ini Ayas berteriak. Dia ingin mengadu pada bundanya, tapi Gesa tetap memeluknya begitu erat. "Buna ... ayah galak sama Ayas!"
Teriakan Ayas akhirnya berubah menjadi isak tangis. Gadis mungil itu meronta-ronta dalam pelukan ayahnya. Wajahnya mulai memerah. Dia merengek dengan tangisan yang kian nyaring.
"Ada apa ini teh?" tanya Yasa yang tiba-tiba berdiri di ambang pintu kamar.
Setelah lepas dari pelukan Gesa, Ayas segera turun dari kasur dan langsung berlari, memeluk kedua kaki bundanya. "Buna ... Ayah galak," adunya.
Yasa menatap Gesa dari kejauhan dengan selidik. Ternyata, pria itu tengah cekikikan sambil menjewer kedua telinga sendiri.
"Maaf," gumam Gesa tanpa suara.
Yasa hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Tak hanya satu kali Gesa membuat Ayas kesal hingga menangis seperti sekarang. Sepanjang perjalanan pun, Gesa tak henti menggoda Ayas.
"Biarin, Yas. Nanti, kita marahin Ayah, ya?" Yasa memilih untuk membawa Ayas dalam pangkuannya.
Ayas kecil hanya menggangguk sambil tersedu-sedu. Gadis itu menjulurkan lidahnya pada Gesa. Dia berhenti menangis saat Gesa balas menjulurkan lidahnya.
"Ayas, kita ketemu nenek dulu. Nenek udah nunggin Ayas dari tadi," ucap Yasa, menginterupsi kelakukan konyol Ayas dan Gesa.
"Nenek ciapa, Buna?" tanya Ayas.
"Nenek Ayas."
"Ciapa?"
"Sekarang, Ayas akan ketemu."
KAMU SEDANG MEMBACA
MENGULANG HARGA
RomancePerpisahan menjadi harga yang telah Gesa dan Yasa pilih. Namun, mereka hampir melupakan bahwa ada kebahagian kecil yang menanti indahnya sebuah pertemuan. Ayas mulai mengerti arti cinta dalam sebuah keluarga. Gadis mungil itu bertanya, "Bunda ... Ay...