09. Interval Hati

8.5K 936 100
                                    

"Jika pertemuan membuka kembali luka akan perpisahan, bertemu denganmu adalah luka terindah yang kurindukan."

° ° °

GESA berlari dari parkiran menuju ruang rawat inap di lantai dua rumah sakit. Berbagai macam pikiran buruk hinggap di kepalanya. Beribu do'a dia lantunkan dalam kalbunya. Pria itu tak bisa menahan dirinya lagi saat menerima kabar bahwa putri kecilnya dirawat di rumah sakit.

Ayas jatuh dari sepeda, harus operasi kecil. Alhamdulillah, operasinya lancar. Sekarang udah baikan, tinggal rewelnya aja.

Itu pesan yang Yasa kirimkan saat Gesa menanyakan kabar Ayas.

Kini, Gesa tak bisa menanti lebih lama lagi. Dia tak kuasa untuk menunda lebih lama lagi. Hukuman dari pedihnya jarak dan waktu itu ingin Gesa tepis saat ini juga. Tak peduli jika pertemuan itu kembali menghadirkan luka akan perpisahan, karena Gesa rela mengiris setiap kepingan hatinya demi indahnya sebuah pertemuan, pertemuan bersama cintanya lagi.

Bersama kedua kaki jenjangnya, pria itu terus mengikis jarak dan waktu yang tersisa.

Namun, saat interval itu hilang di pelupuk matanya, Gesa malah membeku. Seakan terpaku, dia bahkan tak sanggup untuk kembali melangkah. Dia hanya berdiri tepat di depan sebuah kamar bercat merah muda. Pintu kamar itu terbuka lebar seolah-olah mengizinkan Gesa untuk memandang setiap hal di sana. Ada figur cantik yang sempat Gesa tinggalkan dalam kamar itu. Gesa ingat punggung kecil itu, bahkan legamnya surai yang terurai panjang itu masih sama indahnya.

Di dalam kamar, Yasa berdiri membelakangi pintu. Perempuan itu tak menyadari kedatangan Gesa. Lengan kurusnya terlihat menyodorkan sendok kecil berisi bubur.

"Ayas ... makan dulu, sayang. Katanya, mau jadi peri. Jadi peri harus sembuh dulu. Supaya sembuh harus makan yang banyak."

Gesa meremat tangannya sendiri. Suara lembut itu yang dia rindukan. Bahkan, nama yang Yasa sebut terdengar jauh lebih indah saat Gesa mendengarnya secara langsung.

"Ayas mau pis duyu, Buna ...."

Hati Gesa semakin terasa sesak. Debar jantungnya tak bisa dia dustai. Suara mungil itu yang sejak dulu ingin Gesa dengar. Suara mungil itu pula yang selalu mengalun dalam setiap mimpi indahya.

Perlahan, Gesa menutup matanya yang mulai terasa perih. Dia tengah menjawab setiap rindu yang tak pernah bisa dia obati sendiri. Jika merdunya suara Yasa yang bersahutan dengan rengekan Ayas hanya sebatas mimpi indah, Gesa rela menulikan pendengarannya pada semua kenyataan. Dia ingin terus mendengar suara-suara itu di hidupnya.

"Ayas gak mau digendong, Ayas mau jalan sendili!"

Rengekan Ayas memberanikan Gesa untuk kembali membuka matanya. Suara menggemaskan itu benar-benar mengalun dengan nyata seakan mengobati hati Gesa yang tak henti merindu.

Perlahan, pandangan Gesa mulai buram karena linangan air matanya sendiri. Perasaannya kian membuncah saat Yasa membalikkan tubuhnya. Perempuan cantik itu berdiri dengan figur kecil yang berdiri di sampingnya.

Setiap pertanyaan yang selama ini Gesa kumpulkan, seakan dijawab oleh dua pasang mata yang saling bertemu. Gesa selalu bertanya-tanya, seindah apa Yasa saat ini dan selembut apa tatapan Yasa saat ini.

Waktu mungkin mengubah segalanya, tapi tidak dengan hati Gesa. Sorot mata itu masih dia puja, bahkan indahnya bibir merah muda yang mengatup itu masih menggetarkan hatinya.

"Yas ...." Suara Gesa terdengar bergetar kala berucap. Sorot matanya bahkan menurun, menahan tangisannya sendiri.

Di tempatnya, Yasa seakan terhipnotis. Perempuan itu sama membekunya. Dia tatap legamnya mata Gesa. Setiap kesedihan dan kerinduan seakan bersemayam dari sepasang mata itu. Diam-diam, Yasa merasakan jantungnya berdebar. Dia eratkan genggaman tangannya pada Ayas.

MENGULANG HARGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang