19. Pusara Pelebur Kebahagiaan

7.2K 736 61
                                    

"Kita mungkin saja melihat ke belakang, tapi tidak untuk membawanya kembali."

° ° °

YASA memutuskan untuk menemui Elfara sebelum pulang. Pagi ini, di bawah langit mendung dan dengan tanah basah bekas hujan tadi malam, dia bersama Gesa dan Ayas datang ke sebuah pemakaman umum di pinggiran kota Bandung. Mereka berlutut di depan pusara pelebur kebahagiaan yang tak pernah bisa mereka tebus rasa sakitnya.

Hampir tiga tahun marmer hitam itu bersemayam di sana. Ukiran namanya masih tetap sama, Elfara Keira. Nama itu ternyata masih mengiris saat terungu oleh hati. Nama itu pula yang ternyata masih Yasa simpan dalam setiap luka dan do'anya.

Yasa tak tahu, entah keabadian seperti apa yang Elfara temui di sana. Mungkinkah Elfara telah menemukan kebahagiaannya bersama versi kecil dari Gesa, ataukah dia tetap mengutuk setiap kebahagiaan yang Yasa impikan bersama Ayas.

Demi Tuhan, Yasa takut indahnya kata maaf belum terucap dari Elfara. Yasa juga takut damainya sebuah kerelaan belum sempat Elfara tuturkan. Meski sekarang Yasa bersimpuh di hadapan nisan sekalipun, kata maaf dan kerelaan itu rasanya tak pantas Yasa untuk dapatkan. Banyak sekali penyesalan yang masih menghantui Yasa. Tak terhitung ketakutan yang terus membayangi Yasa.

Namun, sekeji apa pun Yasa membenci dirinya sendiri, Elfara tetap pergi.

Yasa taburkan kelopak demi kelopak bunga mawar hingga menutupi tanah yang diselimuti rumput hijau itu. Yasa lantukan do'a terindah yang bisa dia berikan untuk Elfara. Yasa tujukan setiap harapan terbaiknya untuk Elfara. Sesekali, Yasa usap nisan hitam itu, membersihkan embun pagi yang tersisa di sana.

"Buna, Ayas mau duduk di sini." Ayas kecil merengek sambil menunjuk nisan Elfara.

"Eh, gak boleh, sayang ...." Yasa usap wajah putri kecilnya. "ini bukan tempat duduk," tuturnya pelan.

"Kaki Ayas sakit, semut gigit. Ayas mau pulang." Bocah cantik itu kembali merengek. Kali ini sambil menggaruk kaki dan mengusap lengannya.

Yasa langsung melirik Gesa yang sejak tak terdiam menatap ukiran nama Elfara. Pria itu terkejut saat Yasa menyentuh pundaknya.

"Mau pulang sekarang?" tanya Gesa.

"He'eh." Itu Ayas yang menjawab. Dia menganggukkan kepalanya begitu cepat. "Ayas mau pulang!" pekiknya.

"Yuk!" Gesa beranjak. Dia mengulurkan kedua tangannya, menyambut putri kecilnya yang ingin segera dipangku. "Waduh, putri Ayah berat banget."

"Ayas udah besal, Ayah." Ayas sengaja meronta-meronta dalam pangkuan Gesa. Kaki dan tangannya bergerak ke sana kemari, menggoda ayahnya yang hampir saja kewalahan karena berat badan Ayas seakan bertambah dua kali lipat saat dia tak henti bergerak-gerak.

"Iya ... Ayas udah besar, tapi masih ngompol. Siapa yang tadi pagi ngompol? Ayas ... Ayas ngompol. Makanya pipis dulu sebelum bobo. Ih bau, ih," ledek Gesa hingga mengundang wajah cemerut putrinya yang begitu menggemaskan.

"Ayas gak bau!"

"Bau, ih ...."

"Nggak!"

"Bau ...." Gesa memang tak pernah merasa cukup saat menggoda putrinya. Dia tak henti menimpali rengekan Ayas.

Di tempatnya, Yasa hanya tersenyum kecil melihat interaksi antara ayah dan putrinya itu. Sebetulnya, hal kecil seperti itu yang selalu Yasa impikan bersama Gesa dan Ayas. Candaan sederhana seperti itu yang Yasa inginkan dalam hidupnya. Tawa kecil yang bersahutan dengan rengekan manja seperti itu yang ingin Yasa tuai setiap harinya.

MENGULANG HARGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang