06. Pertanyaan Kecil

8.5K 757 91
                                    

"Sayangnya, kita masih terjebak pada harapan yang sama."

° ° °

YASA menutup harinya dengan bersantai di depan televisi. Setelah seharian berkutat dengan pekerjaan dan urusan mobil yang belum kelar, Yasa memutuskan untuk menontom sambil menunggu rasa kantuk. Berhubung Ayas sudah tidur lebih dulu, jadi perempuan cantik itu menikmati camilan sambil menonton serial drama Indonesia yang sebetulnya booming beberapa bulan yang lalu.

Di ruangan yang sama, Mala juga tengah sibuk mengedit video dalam ponselnya sendiri. Gadis itu duduk sambil melipat kedua kakinya di atas karpet. Sesekali, dia mencuri camilan kue kering dari tangan Yasa.

"Kuliah kamu gimana, La?" tanya Yasa.

Mala menoleh, dia meletakkan ponselnya dan ikut duduk di samping Yasa. "Lancar-lancar aja," sahutnya sambil merebut toples camilan dari tangan Yasa.

"Jangan main-main mulu. Pacaran boleh, tapi inget waktu sama batasan. Pacaran anak zaman sekarang 'kan udah aneh-aneh. Jangan terlalu kalau lagi pacaran, harus bisa jaga diri. Belum tentu Wildan jodoh kamu."

"Iya, tetehku yang cantik jelita." Mala memang tak pernah berubah. Gadis itu tetap menjadi adik menyebalkan bagi Yasa. "Eh, Teh ... kayaknya semester depan aku mau ambil matkul PKL deh. Sekarang lagi cari-cari tempat magang. Menurut Teteh, lebih baik di daerah sini aja, atau ke luar kota?"

"Kalau Teteh sih, gak bakal membatasi kamu. Mau di sini, mangga. Mau di luar kota, silakan. Yang penting, pengalamannya bisa menunjang portofolio kamu nantinya setelah lulus."

"Aku ada inceran satu perusahaan besar sih, tapi gimana nanti aja deh. Soalnya, jurusan DKV agak susah-susah gampang."

"Menurut Teteh, kalau level magang, jangan dulu di perusahaan besar, lebih baik di agensi-agensi star up berskala kecil yang karyawannya masih bisa keitung jari. Karena, di sana kamu akan diandalkan dan banyak berperan dalam pekerjaan. Jadi, pengalamannya lebih banyak. Itu bagus buat portofolio, meski kerjanya mungkin lebih berat. Kalau udah lulus dan cari pekerjaan untuk jangka panjang, baru deh coba ke perusahaan besar. Tapi, tetap pertimbangkan financial dan work life balance, biar kerjanya gak jadi beban."

Mala mengangguk-anggukan kepalanya, mencerna setiap ucapan kakaknya itu. Dia memilih mengambil ponselnya kembali dan menonton ulang video Ayas yang belum selesai dia edit.

Yasa sedikit mengintip pada ponsel Mala. Di sana terlihat video Ayas yang bermain ayunan bareng Gio. Ada Jaya juga di sana, menjaga Ayas dan Gio dari belakang. Tawa dari dua bocah itu samar-samar bersahutan dengan omelan Jaya.

"Ayas jadi keterusan manggil Mas Jaya dengan sebutan Papa," celetuk Mala.

"Iya. Dia ngikutin Gio. Ya gitu namanya anak kecil, pasti ikut-ikutan."

Mala berdeham kecil. Tenggorokannya tiba-tiba terasa kering untuk bertanya. "Teh, kalau Teteh sama Mas Jaya gimana?" tanyanya.

"Gak gimana-gimana," sahut Yasa asal.

"Teh, Mas Jaya tuh punya maksud tertentu. Bukan tanpa alasan dia deketin Ayas, bukan tanpa alasan juga dia sering datang ke rumah kita. Dia mau sama Teteh."

"Gak mungkin. Dia gak pernah bilang apa-apa."

Mala menepok jidatnya sendiri. "Ini, siapa yang masih ABG sih?" tanyanya dengan gemas. "Teh, Mas Jaya tuh udah dewasa. Usianya aja udah 30-an. Kalau aku lihat, Mas Jaya tipe orang yang gak pakai omongan. Dia mungkin gak bilang suka sama Teteh atau terang-terangan bilang mau jadi papanya Ayas. Tapi dari tingkah laku dia, dari setiap hal yang dia perjuangkan buat Teteh, kita bisa lihat keseriusan dia. Harusnya, Teteh ngerti."

MENGULANG HARGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang