07. Kabar Lama

8.7K 796 66
                                    

"Saat kamu tidak tahu harus mulai dari mana, pergilah ke tempat yang sangat kamu rindukan."

° ° °

GESA tiba-tiba mengirimkan pesan singkat pada Yasa. Pria itu menggunakan nomor baru. Namun, dari profilnya, Gesa menggunakan fotonya bersama Ayas ketika bayi.

Jujur, sudah sangat lama Yasa tak menerima pesan dari pria itu. Terakhir kali, Gesa menghubungi melalui DM, dia hanya izin mengambil foto Ayas untuk dia cetak. Sekarang, Yasa tak tahu dari mana Gesa mendapatkan nomor Yasa.

Apa kabar, Yas?
Ini aku, Gesa.

Padahal, hanya pesan sederhana seperti itu yang Gesa kirimkan, tapi mampu membuat Yasa kehilangan fokus sejak tadi. Perempuan itu, bahkan hampir melupakan di mana tempat duduknya. Dia celingak-celinguk dekat pintu masuk kafe, mencari meja yang tadi dia gunakan.

"Yas!"

Tak jauh dari tempat Yasa berdiri, Jaya melambaikan tangannya. "Di sini," ucapnya tanpa suara. Pria itu menatap kursi kosong di depannya, seolah memberi tahu tempat duduk yang sempat Yasa tinggalkan.

Yasa tersenyum kikuk. Dia mangut pada beberapa orang yang menatapnya. Dengan ponsel dalam genggamannya, perempuan itu berjalan mendekati Jaya.

"Masih muda udah pikun." Jaya mencibir dengan sedikit gurauan. "untung cantik," tambahnya.

Lagi-lagi, bibir Yasa hanya tersenyum kaku. Dia memang duduk di depan Jaya, tapi pikirannya masih terganggu oleh pesan dari Gesa. Harus seperti apa Yasa membalas pesan itu. Samar-samar, darahnya seakan berdesir selaras dengan debar jantung yang mulai tak karuan.

"Mau makan apa?" tanya Jaya.

Aku baik. Diam-diam, Yasa mengirimkan pesan balasan untuk Gesa. Dia letakkan ponsel itu di atas meja, meski matanya masih tak lepas menanti balasan apa yang akan Gesa kirimkan.

"Yasa."

Yasa mengerjap kaget karena ucapan Jaya. "Eh, Mas. Kenapa?" tanyanya.

Jaya malah memamerkan senyuman. "Dari tadi Mas tanya loh, kamu mau makan apa?"

"Eugh ...."

Yasa malah terdiam. Rencananya, sore ini Yasa dan Jaya mau menghabiskan waktu berdua, sesuai dengan permintaan Jaya. Tidak banyak yang akan mereka lakukan, hanya berkeliling kota. Namun, pesan dari Gesa seakan menghancurkan rencana mereka. Yasa tak henti menatap layar ponselnya, menunggu notifikasi pesan masuk dari Gesa.

Di tempat, Jaya malah tertawa. Dia cekikikan saat membaca menu. "Yas, yang ini nama menunya lucu deh, Gulay Bohay hahahaha," gelaknya. Pria itu begitu fokus membaca setiap lembar menu. "Eh, Mas kira cuma ada makanan Indonesia aja. Ternyata, ada steak sama pizza juga. Mas mau coba Iga Garang Penyet, tapi pedes gak ya? Kamu mau apa, Yas?" tanyanya.

Ayas udah besar ya?

Yasa langsung mengambil ponselnya saat menerima balasan dari Gesa. Dia tertegun. Berulang kali Yasa membaca pesan itu, tapi berakhir dengan kebingungan harus membalas apa.

Jaya menyadari Yasa sibuk sendiri dengan ponselnya. Pria itu menghela napas, lalu menutup buku menu di tangannya. Dia pandangi Yasa begitu lamat sambil menopang dagunya sendiri. "Kayaknya, Mas harus jadi hape deh, biar diliatin kamu terus," ucapnya.

Yasa melupakan sopan santunnya. Ternyata, ada benarnya kata orang, zaman sekarang ponsel bukan mendekatkan yang jauh, tapi malah menjauhkan yang dekat. Padahal, sejak tadi Jaya mengajak Yasa berbicara. Bisa-bisanya, ucapan pria itu luput dari pendengaran Yasa.

"Ayas pasti baik-baik aja sama Mala. Gak perlu dikirim pesan tiap waktu. Biarin Mala sama Wildan belajar ngurus anak-anak. Jarang-jarang loh kita bisa jalan berdua kaya gini," ucap Jaya.

Yasa tersenyum canggung. Dia segera menyimpan ponselnya. "Maaf."

"Jadi, mau pesen makan apa? Tadi katanya, lapar. Mau pesen paket liwet aja, untuk 6 orang?"

"Eh, jangan!" Suara Yasa memekik sempurna. "Kebanyakan," sambungnya.

"Kamu suka pedes, 'kan? Ada menu gurame pecak bakar nih, mau coba gak? Kayaknya pedes sih. Eh, tapi jangan deh. Kamu kebanyakan makan pedes dari kemarin."

Ini yang Yasa suka dari Jaya. Ketulusan dan rasa melindungi yang tak sempat Yasa dapat dari Gesa. Jaya juga tak pernah mempermasalahkan hal sepele. Mungkin, karena usia Jaya yang jauh lebih dewasa. Dia selalu memiliki cara berbeda untuk memberitahu saat Yasa salah.

"Makasih ya, Mas," ucap Yasa tiba-tiba.

"Eh, makasih apa?"

"Makasih aja."

Akhirnya, acara makan pun berakhir dengan suka cita. Tak jarang Jaya melontarkan gurauan di sela acara makan mereka.

Hingga tak terasa, kini langit sudah benar-benar gelap. Setelah menghabiskan waktu 3 jam untuk menonton film Avatar 2, Yasa dan Jaya memutuskan untuk pulang. Dua orang itu menyusuri jalanan ramai dihiasi gemerlap lampu mobil yang masih semangat menanti tujuan mereka masing-masing.

Yasa duduk di kursi penumpang sambil menatap jalanan. Begitu juga dengan Jaya yang begitu fokus mengendarai mobil. Sesekali, pria itu melirik Yasa yang melamun di sampingnya.

"Yas, mau langsung pulang aja, nih?"

Yasa menoleh. "Eh, Mas. Kalau boleh, kita mampir ke tempat mainan dulu, yuk. Kasian anak-anak ditinggal dari tadi siang, pasti nunggu oleh-oleh. Kalau makanan, pasti gak di makan."

"Boleh. Gio juga kemarin minta pensil gambar baru. Sekalian deh, kita cari keperluan anak-anak."

Yasa hanya mengguk samar.

Tiba-tiba, keduanya kembali jatuh dalam lamunan masing-masing. Yasa mengambilnya ponselnya, memeriksa pesan Gesa yang belum dia balas. Sedangkan, Jaya terlihat begitu gelisah. Dia mengetuk-ngetuk stir mobil tanpa sebab. Entah sejak kapan jantungnya berdebar. Berulang kali dia mencuri pandangan pada Yasa.

"Yas."

Yasa hanya menoleh.

"Tolong, ambilin kotak di sana," ucap Jaya sambil menatap laci dashboard.

"Ini?" Yasa ikut menunjuk laci di depannya, memastikan benda yang Jaya minta ada di dalam sana.

Setelah mendapat anggukan dari Jaya, Yasa membuka laci di depannya. Perempuan cantik itu tertegun melihat kotak kecil di dalam sana. Sebuah kotak cincin berbentuk kristal. Yasa bisa melihat seindah apa cincin yang tersemat di dalamnya. Cincin berwarna silver dengan satu permata yang bekilauan. Bahkan, lingkaran cincin itu dipenuhi permata-permata kecil yang tak kalah cantik.

"I-ini ...?" Yasa sampai terbata-bata saat bertanya.

"Dari Mas, buat kamu," sahut Jaya. Jaya sengaja menatap jalanan. Dia tak sanggup membalas tatapan Yasa. Padahal, ini tujuan utama Jaya meminta Yasa untuk jalan berdua. Sejak tadi siang, Jaya mencari waktu yang tepat untuk memberikan cincin itu. Mungkin, sekarang adalah waktunya.

"Yas, kita udah saling kenal satu sama lain. Mas kira, kamu ngerti maksud Mas. Jujur, Mas gak bisa berkata manis, atau membuat acara romantis."

Entah apa yang Yasa rasakan saat ini. Hatinya samar berdebar. Dia terus menatap wajah Jaya yang masih memalingkan tatapannya.

Setelah menghirup udaranya begitu dalam, Jaya kembali melanjutkan ucapannya yang belum usai. Terdengar tulus penuh tekad, pria itu berucap, "Tapi, Mas mau memulai hidup baru bareng kamu. Kita bangun keluarga kecil yang bahagia. Kamu jadi bunda untuk Gio. Mas jadi papa untuk Ayas."

Ucapan Jaya bersahutan dengan notifikasi ponsel Yasa. Di sana, Gesa kembali mengirimkan sebuah pesan.

Yas, aku boleh ketemu Ayas?

𝓑𝓮𝓻𝓼𝓪𝓶𝓫𝓾𝓷𝓰 . . .

MENGULANG HARGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang