"Selalu ada kenangan yang tertinggal dari setiap pertemuan."
° ° °
YASA tertegun di depan sebuah rumah mewah. Dia terpaku oleh perasaan dan degup jantungnya sendiri. Rumah putih berlantai dua itu ternyata masih tetap sama. Pintunya masih berdiri kokoh, sepasang pilar yang menjulang tinggi pun masih setia di tempatnya. Bahkan, setiap kenangan bersemu harapan yang tak rela Yasa ingat, seakan berputar kembali di setiap inci bangunan itu.
Tersimpan ribuan rasa di sana. Terkurung ribuan pilu di tempat itu. Yasa ingat saat pertama kali Gesa membawanya ke rumah itu, rumah yang sempat ingin Yasa rebut dari pemiliknya.
Hari ini, Gesa membawa Yasa ke rumah yang sama. Entah dengan tujuan yang sama atau tidak, tapi Yasa enggan untuk melangkah masuk. Perempuan berbaju hitam itu membeku di pekarangan rumah tanpa sudi untuk bertamu atau sekedar bertemu. Setiap skenario yang sempat Yasa bangun bersama Gesa di rumah itu terus berputar dalam pandangan Yasa yang begitu samar. Setiap pengkhiatan yang sempat Yasa dan Gesa nikmati bersama tak henti Yasa tuai kembali rasa sakitnya.
"Yas, kamu sempurna ... kamu kuat, tapi beda dengan Elfara. Dia gak bisa jadi seorang ibu."
Ucapan Gesa kala itu terus mendengung dalam rungu Yasa sampai saat ini. Sakitnya masih terasa nyata, bahkan sesak di dadanya masih melumpuhkan Yasa dari tulusnya kata maaf.
Bukan niat Yasa untuk menghukum diri karena masa lalu, tapi luka yang sudah dengan susah payah Yasa kubur dalam-dalam, kini kembali terbuka karena goresan kenangan yang tidak bisa terlupakan.
Samar-samar, Yasa menarik napasnya begitu dalam. Dia tengah mencari sedikit kelapangan dalam hati yang rumpang karena cinta yang tidak pernah rampung.
"Buna ... ayo!"
Tepat di depan pintu rumah, Ayas berteriak. Gadis itu berdiri di samping Gesa. Tangan mungilnya begitu erat menggenggam telunjuk Gesa seolah takut jika terlepas. Gadis mungil dan ayahnya itu memang sengaja menunggu Yasa.
"Buna jalannya lama, milip siput!" Ayas kembali berteriak dengan pelafalannya yang belum benar, tapi terdengar sangat menggemaskan.
Anggukkan dari Gesa akhirnya mampu meyakinkan Yasa untuk kembali masuk pada tempat yang sama. Dia melangkahkan kakinya bersama Gesa dan Ayas.
Lagi dan lagi, Yasa tertegun. Dia terkejut saat langkahnya disambut oleh deretan foto Ayas di setiap penjuru ruangan. Banyak sekali foto Ayas yang Gesa pamerkan di sana, mulai dari foto ketika Ayas baru lahir hingga foto terakhir yang Gesa minta dari Yasa.
"Ada Ayas!" Bocah cantik itu kembali berteriak. Kali ini telunjuk mungilnya begitu antusias menunjuk-nunjuk potret dirinya sendiri. "Banyak foto Ayas," serunya lagi.
"Iya, ini 'kan rumah Ayas," sahut Gesa.
"Yeay ...." Ayas melompat-lompat, "lumah Ayas besal! Ayah, ada peli gak di sini?" tanyanya.
"Ada. Perinya Ayah simpan di kamar Ayas. Mau lihat sekarang?"
Saat Ayas tak henti bertanya ini dan itu pada Gesa, Yasa masih tetap terpaku pada pijakan kakinya sendiri. Ternyata tak semua hal bisa bertahan, ada banyak yang berubah dari rumah itu. Bahkan, dalam sudut mewah ruangan itu, ada foto dirinya bersama Gesa, ada gambar Mala yang sempat Gesa minta, juga foto Yasa yang bangga memamerkan perut besarnya.
Jantung Yasa semakin berdebar saat dia juga melihat potret Elfara di sana. Potret perempuan cantik bergaun putih dengan piano besar yang tak kalah cantik. Entah apa yang Yasa rasakan saat ini. Semuanya berpadu begitu saja. Sedih, kecewa, bersalah hingga terluka. Semua rasa itu seakan membelenggu Yasa dalam masa lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
MENGULANG HARGA
RomancePerpisahan menjadi harga yang telah Gesa dan Yasa pilih. Namun, mereka hampir melupakan bahwa ada kebahagian kecil yang menanti indahnya sebuah pertemuan. Ayas mulai mengerti arti cinta dalam sebuah keluarga. Gadis mungil itu bertanya, "Bunda ... Ay...