17. Selisih Waktu

6.1K 675 79
                                    

"Ada hati yang menunggumu pulang, ada hati yang menunggumu kembali, ada pula hati yang kosong sejak kamu pergi."

° ° °

YASA ingin rehat sebentar setelah seharian menjaga Ayas. Dia menyandarkan punggungnya pada bantalan kursi sambil menunggu makanan yang sudah dia pesan. Perempuan cantik itu memejamkan mata, menukas rasa lelahnya hari ini.

"Capek, ya?" tanya Gesa.

"Hmmm ... lumayan." Yasa bergumam tanpa membuka mata. Dia membenarkan posisi duduknya agar lebih nyaman saat bersandar pada kursi. "tapi terbayar, sih ... karena Ayas seneng."

Gesa hanya mengulum senyuman kecil, melihat Yasa yang begitu kelelahan demi putri kecil mereka.

Hari ini, mereka sengaja menghabiskan waktu bersama di taman bermain karena Ayas sendiri yang minta. Katanya, "Ayas mau naik kuda poni walna pink."

Banyak sekali permainan yang gadis kecil itu coba, mulai dari komedi putar, bumper car, hingga menjelajahi pulau liliput. Tak heran, Yasa dan Gesa yang hampir kewalahan menuruti semua kemauan Ayas. Makanya sebelum pulang, Gesa memilih restoran Jepang untuk mengisi perut mereka.

Tadinya mereka berlima, bersama Mamah dan Bi Narti, tapi Mamah dan Bi Narti pulang lebih dulu karena jadwal medical check up Mamah yang tidak bisa dia lewatkan hari ini.

Kini, tinggal Gesa dan Yasa yang duduk di salah satu sudut restoran bersama putri kecil mereka.

Di atas baby chair, Ayas sudah sibuk dengan onigiri, puding buah dan sebotol susu formula. Gadis mungil itu begitu lahap memakan makanan sendiri. Meski sedikit belepotan, Ayas menolak untuk disuapi. "Ayas udah besal," begitu katanya.

Sesekali, Gesa bantu membersihkan butiran nasi yang menempel di hidung dan kening bocah cantik itu. Entah bagaimana cara Ayas makan hingga sisa makanannya menepel di atas kepalanya sendiri. Sampai-sampai, seluruh jari tangannya juga dipenuhi butiran nasi yang menempel.

"Pelan-pelan makannya, sayang," ucap Gesa.

Ayas hanya menggangguk dengan pipi membulat karena mulutnya penuh makanan.

"Midori Sushi," ucap sang pramusaji yang datang membawa setiap makanan untuk Yasa dan Geaa. "Taki Udon Seafood-upsized, Sahimi Moriawase, Salt Shell Karaage, Salmon Unogi Roll, Kani Tobiko Roll ...." Dia susun setiap piring di atas meja sambil mengabsen setiap menu yang Gesa pesan.

Yasa langsung terbalak melihat deretan piring di atas meja. Dia kebingungan kenapa makanannya bisa sebanyak ini. Perempuan itu melirik Gesa dengan tatapan heran sekaligus kaget. "K-kok banyak banget?" bisiknya.

Gesa malah cengengesan. "Tadinya, aku pesen buat Mamah sama Bi Narti juga," sahutnya pelan.

"Ih, mubazir nanti kalau gak kemakan." Yasa berdeham kecil, lantas menatap pramusaji yang masih berdiri di samping meja. "Mbak, maaf ... tadinya, kami pesan buat empat orang, tapi dua lagi udah pulang duluan. Makanannya sebagian boleh dibungkus aja gak?" tanyanya.

"Boleh, yang mana yang mau dibungkus?"

Saat Yasa berdiskusi dengan sang pramusaji, Gesa malah terhipnotis oleh figur Yasa yang kini jauh lebih dewasa. Tuturannya terdengar sangat lembut, bahkan jiwa keibuannya begitu terpancar dari sorot matanya yang begitu teduh.

Tanpa sadar, Gesa larut memandangi bagaimana Yasa tersenyum di sela ucapannya. Sesekali, perempuan cantik itu terlihat kebingungan memilih menu yang akan dibungkus. Jujur, Gesa makin terpesona saat Yasa menyelipkan helaian rambutnya ke belakang telinganya.

"Kamu pesan ini 'kan ya, tadi?"

Gesa antara mendengar dan tidak mendengar ucapan Yasa, tapi dia menganggukkan kepalanya, meng-iya-kan pertanyaan Yasa.

"Udah, Mbak. Itu aja yang dibungkus ... terima kasih," ucap Yasa.

Di tempat duduknya, Gesa masih tak bisa melepaskan pandangan dari Yasa. Setiap ukiran senyuman, sepasang kelopak mata yang berkedip, hingga gestur kecil dari jemari lentik itu tak luput dari pandangan Gesa yang begitu memuja. Pria itu tersenyum bodoh dengan getar hati yang seakan dungu.

Yasa mengerjapkan matanya beberapa kali, menyadari tatapan Gesa untuknya. "Makanannya dimakan. Keburu dingin mah nanti gak enak."

"Eh, iya." Gesa tersenyum kaku. "Yas, kamu mirip Mamah. Udah cocok jadi ibu-ibu," ucapnya.

"Lupa ya? Aku emang udah jadi ibu-ibu." Yasa melirik Ayas yang masih sibuk dengan makanannya sendiri. "Tuh, bocil yang lagi makan. Dia anak aku," guraunya.

"Anak kita." Gesa sengaja menganggantungkan ucapannya. Pria itu ingin melihat reaksi Yasa saat ini. Tak Gesa sangka, Yasa mengatupkan bibirnya dengan sempurna. Bahkan senyuman kecil yang sejak tadi Gesa puja, perlahan-lahan memudar.

"Ayas putri kita, Yas."

Yasa menundukkan kepalanya. Terdengar helaan napas yang begitu berat dari bibirnya yang bergetar. "Iya. Ayas putri kita ... tapi kamu meninggalkanya."

"Yas ...."

Entah karena hari yang lelah atau memang hatinya yang sudah tak kuasa untuk menahan segalanya. Yasa terisak pelan. Dia meremat ujung bajunya sendiri. "Aku sama Ayas nunggu kamu. Aku selalu nunggu kamu datang ... datang dengan versi terbaik yang kamu janjikan. Saat Ayas demam, saat Ayas jatuh, bahkan saat Ayas belajar melangkah untuk pertama kalinya ... aku selalu nunggu kamu datang."

Yasa jatuh dalam tangisan. Dia terisak dengan air mata yang berjatuhan. Namun, belum sempat air mata itu mengusai hatinya, Yasa buru-buru menghapusnya dengan kasar. "Tapi, saat itu kamu gak ada. Kamu gak datang ... s-sekarang ... saat aku dan Ayas mulai melangkah tanpa kamu. Saat aku mencoba untuk membuka hatiku pada orang lain, kamu datang dan merusak segalanya. Aku gak tahu harus jawab apa saat Ayas bertanya, Buna, Ayah itu apa? Buna, Ayah itu siapa?"

Yasa menepis tangan Gesa dengan kasar. Dia terang-terangan menolak genggaman tangan Gesa.

"Bahkan, kasih sayang seorang ayah yang harusnya dari kamu, Ayas dapatkan dari orang lain. Hari ini, kamu bilang Ayas putri kita? Dia putriku, Ayas putriku ...." Yasa menutupi wajah dengan kedua tangannya. Sekuat tenaga dia sembunyikan tangisan yang sudah sejak lama dia pendam.

Gesa tak tahu harus berbuat apa sekarang. Tangannya bergetar, bibirnya kelu. Bahkan, telinganya mendengung, mendengar setiap kata yang terucap dari bibir Yasa. Hati Gesa terasa sakit sekarang. Entah sedalam apa luka yang telah Gesa berikan untuk Yasa selama ini. Entah sehancur apa hati Yasa saat Gesa memilih untuk pergi.

"Buna ... kenapa nangis?" Ayas tiba-tiba ikut merengek. Gadis mungil itu terisak sambil merentangkan kedua tangannya, meminta agar Yasa menggendongnya.

Kini, Gesa menyadari satu hal yang tidak berubah dari Yasa, perempuan cantik itu masih pandai berbohong. Yasa begitu pintar sembunyikan tangisan pilu itu di balik senyuman secerah matahari untuk Ayas.

Dengan menepis habis tangisannya, Yasa membawa Ayas dalam pangkuannya. Dia peluk figur kecil penawar hati itu.

"Buna gak nangis ... Buna cuma capek," ucap Yasa. Dia tatap putri kecilnya dengan manik legam yang berkaca-kaca.

"Gala-gala Ayas main teyus, Buna cape?"

Yasa menggelengkan kepalanya. "Enggak ... malah saat Buna lihat Ayas, capek Buna langsung ilang."

Layaknya budak dalam biduk, Gesa hilang dalam ketidakberdayaan. Hatinya mencibir hina pada diri. Dia tak kuasa untuk bertutur lagi. Ternyata, hati Yasa belum pulih, bahkan lukanya semakin dalam karena kedatangan Gesa.

Maafkan aku, Yas ....

𝓑𝓮𝓻𝓼𝓪𝓶𝓫𝓾𝓷𝓰 . . .

MENGULANG HARGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang