"Nyatanya, kita tetap hidup bersama masa lalu."
° ° °
YASA terkejut karena kedatangan Gesa pagi-pagi buta. Pria itu datang dengan senyuman hangat, meminta sedikit waktu Ayas dan Yasa.
"Aku mau ajak Ayas main sebentar, boleh gak?"
Itu pertanyaan yang Gesa berikan pada Yasa. Sumpah demi Tuhan, Yasa bingung harus menjawab apa. Gesa ayahnya Ayas, tapi berat rasanya bagi Yasa untuk memberikan Ayas. Bukan karena Yasa membenci Gesa, tapi Yasa takut Gesa akan mengambil Ayas darinya.
Hanya Ayas yang kini Yasa miliki untuk mengulang setiap harinya. Tak penah terbayang sekalipun dalam benak Yasa, jika dia harus melalui harinya tanpa rengekan Ayas atau canda tawa Ayas yang selalu membuat Yasa bersyukur menjadi seorang ibu.
"Sejauh apa pun anak perempuan dengan ayahnya, dewasa nanti dia pasti cari ayahnya." Itu adalah pesan yang sempat Bapak amanatkan pada Yasa.
Bukan Yasa ingin memutus hubungan dengan Gesa. Apalagi, menjauhkan Gesa dari Ayas. Tapi, sekali lagi, Yasa takut Gesa akan mengambil Ayas darinya.
Lama sekali Yasa termenung untuk mencari sebuah jawaban. Pikirannya berkelana kesana-kemari, mencari alasan agar Ayas tetap bersamanya. Namun, sejauh Yasa meniti jawaban demi jawaban, dia tetap berlabuh pada kenyataan bahwa Ayas juga memiliki hak untuk mendapatkan kasih sayang dari ayah kandungnya. Setidaknya, Ayas harus tahu apa itu ayah dan siapa yang harus dia panggil ayah.
Sekali lagi, Yasa tatap wajah Gesa yang begitu sabar menunggu sebuah jawaban. Namun, saat manik legam Gesa menatapnya begitu lekat, Yasa langsung memalingkan pandangannya.
"Gak akan lama, kita main di sekitaran Sukabumi aja. Kalau kamu takut aku bawa Ayas, kamu ikut." Gesa kembali meyakinkan. Tatapan pria itu memang jauh lebih lembut dan hangat dibanding dulu, tapi manik hitamnya tetap penuh dengan tekad dan tujuan. "Kita pergi bertiga, aku, kamu, juga Ayas."
"Asyik, Ayas pelgi main!" Ayas yang diam-diam mendengarkan, langsung berjingkrak saat tahu ayahnya mengajaknya pergi jalan-jalan. Gadis kecil itu masih memakai piyama lengkap dengan sayap peri yang belum dilepas dari punggungnya. Dia datang sambil menggosok matanya. Wajahnya kian lucu karena wajah bantal selepas bangun tidur. "Kita mau ke mana, Buna?" tanyanya.
"Ayas mau ke mana?" Itu Gesa yang bertanya.
Ayas langsung menoleh. Bagi gadis kecil seperti Ayas, Gesa tidak jauh berbeda dengan Jaya, pria dewasa yang akan mengajaknya main tanpa peduli siapa orang itu dan apa tujuannya. Ayas hanya tahu, bermain dengan orang banyak jauh lebih menyenangkan dibanding dengan bermain hanya berdua dengan bunda atau Tante Mala.
Ayas suka saat digendong sambil berlari, Ayas suka saat tubuhnya diangkat tinggi-tinggi untuk berpura-pura menjadi pesawat terbang, Ayas juga suka saat dia duduk di pundak seseorang. Dan, Ayas tahu semua itu tak bisa dia dapatkan dari bundanya.
Gadis kecil itu berpikir sejenak, membayangkan permainan apa yang dia inginkan sekarang. "Ayas mau pelgi ke Lumah plinses."
Yasa tak bisa menolak lagi saat jawaban itu yang keluar dari putrinya. Dia melirik Gesa sekilas, lalu mengangguk samar. "Tapi, kita mandi dulu."
"Ayah tunggu di sini," ucap Gesa.
Saat Yasa sibuk memandikan Ayas, Gesa hanya duduk di ruang tamu. Pria itu menatap sekeliling rumah mungil Yasa yang begitu rapi dan hangat. Di beberapa sudut ruangan terpajang banyak sekali potret lucu Ayas, mulai dari Ayas yang masih bayi mungil, hingga Ayas yang kini tumbuh menjadi gadis kecil yang cerewet dan menggemaskan. Dalam foto-foto itu, Ayas hanya bertiga bersama Yasa dan Mala. Di beberapa foto, hanya ada Ayas dan Yasa. Ada pula foto bayi Ayas yang digendong kakeknya.
Gesa terus mengabsen setiap kenangan yang terlukis dalam potret-potret itu. Ternyata, tak terhitung kenangan indah yang Gesa lewatkan selama ini. Banyak sekali senyuman yang Gesa lewatkan selama ini. Namun, sekarang, tidak lagi. Gesa tak ingin kembali melewatkan semuanya.
° ° °
Hampir satu hari penuh, Yasa dan Gesa menghabiskan waktu mereka untuk menuruti semua kemauan Ayas. Mereka bertiga pergi ke salah satu tempat wisata yang menjadi miniatur kota Venezia, Italia. Di sana, Gesa dan Yasa mengukir banyak sekali kenangan yang dulu tak bisa mereka berikan pada Ayas. Tak sedikit tawa dan canda mereka ciptakan dengan kegembiraan. Jika bisa kembali egois, Gesa ingin hari ini tidak pernah berakhir. Namun, waktu selalu saja pergi.
Kini, sudah larut malam. Yasa dan Gesa kembali menyusuri jalanan ramai Kota Sukabumi. Layaknya sebuah film yang diputar kembali, dulu jalanan ini sering Yasa lalui bersama Gesa. Bedanya, kali ini ada Ayas yang tertidur di pangkuannya.
Meski mereka tidak lagi hidup di masa lalu, tapi nyatanya keduanya tetap hidup bersama masa lalu. Entah sebagai kenangan buruk atau sebagai tolak ukur dari kebahagiaan.
Diam-diam, Yasa melirik Gesa yang fokus pada jalanan. Dia berdeham kecil, mengusir kesunyian yang melanda saat Ayas sudah pulas tertidur.
Yasa mengusap kepala Ayas yang begitu kelelahan setelah bermain seharian. "Makasih udah ajak Ayas main. Dia seneng sampai pules tidur."
Gesa menoleh sekilas, lalu ikut mengusap kepala Ayas. "Nanti kita main lagi."
Sambil membenarkan posisi tidur Ayas, Yasa hanya mengulum senyuman kecil. Dia kembali menatap jalan yang cukup gelap saat tak ada perumahan dan bangunan yang mereka lewati.
"Oh iya, kalau Bapak di mana?" tanya Gesa.
"Bapak udah gak ada," jawab Yasa pelan. Benaknya tengah mengingat saat-saat ketika Bapak merintih pilu di sela napas terakhirnya. "Hampir 2 tahun yang lalu," sambungnya.
"Maaf, aku gak denger kabar itu," sahut Gesa. Dia kembali melirik Yasa, memeriksa keadaan perempuan berwajah ayu itu. Tak ada kesedihan dalam sorot mata Yasa. Bahkan, Gesa tak bisa membaca tatapan mata yang begitu kosong itu.
"Nggak apa-apa. Udah lama juga. Kalau Mamah gimana? Sehat?" tanya Yasa.
"Ah, begitu lah Yas, kalau orang tua. Kadang kerasa ini, besoknya kerasa yang lain, tapi Alhamdulillah ... Mamah masih bisa beraktivitas, meski sekarang udah gak ngejahit lagi. Fokus aja istirahat di rumah, paling nonton tv."
Yasa mengangguk. Jujur, canggung rasanya mengobrol dengan Gesa. Jika bukan karena Ayas yang tadi sibuk berceloteh, mungkin sudah sejak lama Yasa mati kutu untuk mengusir kecanggungan mereka. Perempuan itu kembali menatap jalanan di depannya. Kening Yasa mengerut, menyadari jalanan yang tak asing sekaligus jalanan yang tak mau Yasa lewati lagi.
Saat rumah besar berwarna putih ada di depan mereka, jantung Yasa langsung berdegup kencang. Rumah itu adalah rumah yang Gesa tinggalkan. Rumah itu pula yang tak mau Yasa miliki lagi. Banyak sekali tangisan dalam rumah itu, tak sedikit harapan yang hancur dalam rumah itu.
Yasa menoleh, menatap Gesa yang kini sudah menghentikan laju mobilnya. "Kenapa kita ke sini?" tanyanya.
Gesa ikut menatap rumah itu. Rumah ini dijual, batin Gesa bergumam, membaca tulisan yang masih menempel di pagar rumah itu. Gesa tak menyalahkan Yasa jika ingin menjual rumah itu. Namun, banyak sekali harapan yang Gesa tinggalkan di sana, banyak sekali kenangan yang ingin Gesa ulangi di sana, kenangan Yasa bersama perut besarnya yang selalu menyambut kedatangan Gesa, hingga harapan untuk bisa melihat Ayas tumbuh besar di sana.
"Yas, apa gak ada kesempatan kedua untuk kita? Untuk kita memperbaiki segalanya. Kita mulai lagi semuanya dari awal, kita ulangi lagi semuanya bertiga. Hanya kita bertiga, aku, kamu ... juga putri kita."
𝓑𝓮𝓻𝓼𝓪𝓶𝓫𝓾𝓷𝓰 . . .
KAMU SEDANG MEMBACA
MENGULANG HARGA
RomancePerpisahan menjadi harga yang telah Gesa dan Yasa pilih. Namun, mereka hampir melupakan bahwa ada kebahagian kecil yang menanti indahnya sebuah pertemuan. Ayas mulai mengerti arti cinta dalam sebuah keluarga. Gadis mungil itu bertanya, "Bunda ... Ay...