"Sulit bagiku untuk mengatakan bahwa aku cemburu dengan caramu bahagia tanpaku."
° ° °
GESA berdiri dari kejauhan. Dia hanya bisa menyaksikan bagaimana Yasa dan Ayas memilih pulang bersama Jaya. Dua figur cantik beda usia itu berjalan bersama seorang pria, seakan-akan menjadi potret bahagia dari keluarga kecil yang selama ini Gesa impikan.
"Maaf, saya udah janji pulang bareng Mas Jaya."
Itu alasan dari Yasa saat Gesa menawarkan diri untuk mengantar pulang. Ucapan perempuan itu memang terdengar lembut dan sopan, tapi tetap melukai perasaan Gesa. Berulang kali pria itu mengepalkan tangannya dengan perasaan cemburu yang tak bisa dia bendung.
"Ayas mau pulang sama Papa."
Bagaikan rekaman rusak yang menusuk rungu Gesa, rengekan Ayas untuk Jaya terus terdengar berulang kali. Semakin terdengar, semakin jauh jarak Gesa pada angannya. Dia terdiam dan hanya bisa diam, menikmati setiap hal yang ternyata tidak dia miliki lagi.
"Tataaaaah ...."
Tiba-tiba, Ayas berteriak pada Gesa. Gadis itu melambaikan kedua tangan mungilnya dari pangkuan Jaya.
"Tatah ... Ayah!"
Gesa tersenyum getir. Kepalan tangannya perlahan terbuka. Dia melambaikan tangan dari jarak kerinduan. Bahkan, bersama hati yang terluka sekali pun, Gesa masih bisa memamerkan senyuman untuk putri kecilnya.
"Nanti, kita main lagi! Sekalang, Ayas pulang duyu ...." Ayas tak henti berteriak dengan suara cempreng dan menggemaskan.
Gesa hanya mengangguk, meski hatinya tetap menolak semua itu. Gesa hanya tersenyum, meski hatinya tetap menyesali semua itu.
Tepat di samping Jaya, Yasa ikut melabuhkan pandangannya pada Gesa. Dia tersenyum. Meski tanpa suara, perlahan bibirnya bergumam, "Terima kasih."
"Hati-hati, kabari kalau udah sampai rumah," balas Gesa tanpa suara.
Setelah mendapat anggukan dari Yasa, Gesa lantas berjalan ke arah berbeda. Pria itu memilih untuk masuk dalam mobilnya sendiri, menatap Ayas dan Yasa hingga hilang dari pelupuk matanya sendiri. Namun, semakin jauh figur Yasa dan Ayas di pelupuk mata Gesa, semakin kecil rasanya kesempatan untuk memiliki mereka berdua kembali.
° ° °Tepat di ruang tamu rumah Yasa, saat Ayas dan Gio asyik bermain, Jaya hanya menatap Yasa. Dia pandangi perempuan cantik itu dengan pertanyaan yang mengganjal di benaknya. Jaya tahu, Yasa punya masa lalu. Jaya juga tahu, Ayas masih memiliki seorang ayah. Namun, bukan jawaban itu yang hatinya inginkan. Dia ingin tahu, siapa yang hati Yasa inginkan sekarang.
Jaya takut, jika kehadiran Gesa akan menghancurkan semua perjuangannya. Jaya juga kehadiran Gesa merebut harapannya bersama Yasa. Dan, hal yang paling Jaya takutkan adalah saat Yasa masih menginginkan Gesa.
"Yang tadi, ayahnya Ayas?" tanya Jaya.
Yasa hanya mengangguk.
"Orang mana?"
"Bandung."
Jaya langsung tertegun melihat tatapan Yasa yang seketika berubah saat membicarakan Gesa. Manik hitam Yasa terlihat berbinar. Tatapan itu yang belum pernah Yasa berikan untuk Jaya selama ini.
"Yas, kamu masih—"
"Papah!"
Ucapan Jaya terpotong karena teriakan Gio. Bocah laki-laki berlari, mendekati Yasa dan Jaya dengan wajah panik.
"Kenapa?" tanya Jaya. Berbeda dengan Yasa yang langsung beranjak, mendekati putrinya di ruang tengah.
"Ayas ngompol!" pekik Gio.
"Nggak! Ayas gak ngompol!" teriak Ayas sambil menahan tangisnya. Bocah cantik itu berdiri dengan celana basah dan genangan air kencing di bawah kakinya. Dia menatap bundanya bersama linangan air matanya yang mulai berjatuhan. Dia bahkan menggelengkan kepalanya dengan ribut. "Buna, Ayas gak ngompol."
"Ngompol itu!" Gio menimpali. "Ih jorok ih. Ayas ngompol."
Meski sudah bisa berbicara, tapi Ayas belum mengerti kapan dia mau buang air atau tidak. "Gak! Ayas gak ngompol!"
"Ayas gak pake popok, Yas?" tanya Jaya.
Yasa menoleh sambil mendekati Ayas. "Lupa aku. Tadi pagi abis, gak keburu beli."
"Ih, Ayas ngompol! Ayas ngompol!" Gio terus meledek Ayas. Bocah laki-laki itu melompat ke pangkuan papahnya, menghindari genangan ompol Ayas di lantai.
Ayas yang malu langsung menangis. Dia mendorong Jaya dan Gio untuk keluar rumah. "Pelgi! Pelgi dali lumah Ayas!" teriaknya.
"Baby gak boleh gitu, Sayang." Yasa ingin melarang Ayas, tapi tangisan Ayas malah makin nyaring. Dia terus mengusir Jaya dan Gio hingga ayah dan anak itu terpaksa berjalan ke luar rumah.
"Maaf, ya, Mas."
Jaya hanya tersenyum. Dia tertawa kecil saat Ayas terus mengusirnya, sampai-sampai gadis cilik itu menutup pintu rumahnya agar Jaya dan Gio tidak bisa masuk.
"Mas pulang dulu ya, Yas. Kalau ada apa-apa, kabarin. Besok mas ke sini lagi."
° ° °Di persimpangan jalan yang berbeda, Gesa tiba-tiba menghentikan laju mobilnya. Dia kembali tertegun. Hatinya kembali terusik karena bayangan Yasa dan Ayas yang pulang bersama Jaya. Terekam dengan jelas bagaimana Yasa tersenyum pada Jaya dan bagaimana Ayas merengek manja pada Jaya. Harusnya, Gesa yang ada di posisi itu. Harusnya, Gesa yang ada di sana bersama Yasa dan putri kecil mereka.
Selama ini, Gesa selalu percaya bahwa waktu tidak mengubah segalanya. Nyatanya, semua orang terus berjalan, meninggalkan Gesa yang masih enggan untuk berpaling dari masa lalu. Banyak sekali hal yang sudah berubah. Banyak juga hal indah yang ternyata Gesa lewatkan. Tak terhitung pula waktu yang ternyata telah Gesa sia-siakan.
Gesa tak pernah tahu, kapan pertama kali Ayas belajar berjalan. Kapan pertama kali Ayas jatuh cinta pada figur seorang ayah. Hal yang kini Gesa sesalkan, langkah pertama Ayas tertuju pada figur lain. Rengekan manja itu juga Ayas minta pada orang lain.
Mungkin, itu adalah harga yang harus Gesa lunasi. Bukan hanya penyesalan dan rasa rindu, tapi juga kehilangan cinta dari putrinya sendiri. Entah kapan cinta itu bisa Gesa rebut kembali, tapi panggilan ayah dari Ayas sanggup membuat Gesa mendambakan keegoisannya. Dia ingin memiliki semua itu lagi. Dia ingin mengulang setiap kesempurnaan yang sempat dia rebut dari Yasa.
Urung untuk bertolak ke Bandung, pria itu memilih untuk berputar arah. Kali ini, perjalanannya tertuju pada rumah Yasa.
"Yas, Ayas putri kita dan selamanya akan jadi putri kita," gumamnya.
𝓑𝓮𝓻𝓼𝓪𝓶𝓫𝓾𝓷𝓰 . . .
KAMU SEDANG MEMBACA
MENGULANG HARGA
RomancePerpisahan menjadi harga yang telah Gesa dan Yasa pilih. Namun, mereka hampir melupakan bahwa ada kebahagian kecil yang menanti indahnya sebuah pertemuan. Ayas mulai mengerti arti cinta dalam sebuah keluarga. Gadis mungil itu bertanya, "Bunda ... Ay...