"Penyesalan terbesarku adalah pernah hadir dan menghancurkan kesempurnaanmu."
° ° °
GESA berdiri di tengah keramaian, menatap setiap orang yang datang ke acara ulang tahun putrinya. Orang-orang itu terlihat bersuka cita, menyambut acara demi acara yang Gesa tujukan untuk Ayas, mulai dari acara santunan hingga pemotongan kue ulang tahun tanpa nama.
Meski Ayas tak hadir dalam suka cita itu, Gesa bisa membayangkan bagaimana cantiknya Ayas ketika tersenyum bahagia. Terbayang kembali bagaimana Ayas berlari dengan balon merah muda yang Gesa siapkan. Bahkan dalam rungu Gesa, terdengar kembali rengekan kecil saat Ayas memotong kue itu sendiri.
"Maaf, tahun ini kita belum bisa bertemu, ayah masih takut ... tapi saat Ayas cari ayah, saat itu juga ayah akan datang." Entah pada siapa Gesa berbicara. Hanya monolog demi monolog yang menemani Gesa dalam keramaian.
Hari ini menjadi tahun ketiga bagi Gesa merayakan ulang tahun putrinya. Layaknya sebuah pesta ulang tahun, setiap penjuru ruangan dihiasi balon dan pita yang begitu cantik. Bedanya, semua hal itu tanpa pemilik.
Lagi-lagi, Gesa hanya bisa tersenyum perih. Harusnya hari ini menjadi hari yang bahagia, tapi tanpa kehadiran dari kebahagiaan itu, Gesa bahkan tak sanggup untuk memamerkan santunnya. Sejak tadi, dia hanya bergeming dengan segala bayangan indah yang seolah menjadi fatamorgana. Terasa nyata, nyatanya hanya ilusi semata.
"Woy! Bengong aja!"
Gesa menolehkan kepalanya, menatap si pemilik suara itu. Ternyata, Mada, pria yang masih setia menjadi sahabat Gesa. Tak jauh berbeda dengan orang-orang itu, Mada juga menyambut bahagia acara ulang tahun Ayas.
"Makan lu!" Mada sengaja menyenggol bahu Gesa sambil menatap deretan makanan yang sampai sekarang belum Gesa sentuh.
"Gampang," sahut Gesa asal. Dia menatap Mada begitu lamat. Ada hal yang ingin Gesa tanyakan pada sahabatnya itu.
"Kenapa?" tanya Mada.
Hati Gesa urung untuk bertanya. Dia menggelengkan kepalanya. Padahal, Gesa hanya ingin meminta keyakinan kapan dia bisa menemui Ayas. Karena bagaimanapun, rindu itu tidak bisa Gesa tahan selamanya. Jika tidak hari ini, jika tidak pula hari esok, entah kapan pun itu, Gesa ingin memiliki satu hari untuk bertemu dengan putri kecilnya. Hari di mana dia bisa mengulang segalanya dengan cara yang semestinya, dengan perasaan yang jauh lebih indah, dan dengan versi terbaik yang dia janjikan.
"Eugh ... enggak. Gua gak nyangka aja, lu bisa jadi pemandu acara ternyata," kilah Gesa.
"Gini-gini, background gua PR, mandu acara begini sih ... kacang," sahut Mada dengan mulut penuh dengan kue.
"Ya udah, berarti kalau gua ada acara-acara lagi, lu aja yang mandu acaranya, ya?"
"Siap, Boss ...."
Entah karena apa, tiba-tiba keduanya terjatuh pada pikiran masing-masing. Dua pria itu terdiam. Perlahan, sorak sorai gembira memenuhi ruangan bernuasa merah muda itu. Suara-suaranya terus bertabrakan dengan kemelut pikiran yang tak bisa Gesa utarakan.
"Kapan lu mau nemuin Ayas?" tanya Mada.
Seakan mengerti pikiran Gesa, ternyata Mada memikirkan hal yang sama.
"Udah 3 tahun, Ges. Ayas udah besar. Dia mulai ngerti dengan hubungan dan keluarga. Gua takut ... saat dia mulai menanyakan keberadaan ayahnya, lu gak ada untuk dia," ucap Mada.
Gesa menghela napasnya sebentar. Dia menatap langit-langit ruangan, menahan air mata yang sejak tadi dia tahan. "Sebentar lagi, 1.000 hari Elfara pergi," ucapanya begitu parau.
"Ges, jangan menghukum diri lu sendiri. Lu gak perlu terus-terusan menyalahkan diri lu sendiri atas kepergian Elfara. Semua orang pasti pergi ... termasuk Elfara."
"Tapi gua yang menyebabkan Elfara pergi," sahut Gesa dengan cepat.
"Semua hal yang terjadi udah takdir Tuhan, Gesa. Gak bisa lu cegah. Sekarang, Elfara udah bahagia. Dia udah berkumpul dengan putra kalian dan itu yang dia inginkan."
Gesa terdiam. Akhirnya, air mata itu tak bisa Gesa bendung lagi. Pria itu terisak pelan. Dia menundukkan kepalanya, menyembunyikan linangan air matanya. Namun, belum sempat pipinya basah karena tangisan yang sama, Gesa lebih dulu menghapusnya dengan kasar.
"Sekarang, pikirkan kebahagiaan orang-orang yang masih hidup, orang-orang di sekeliling lu. Karena, saat mereka udah gak ada, nangis pun sia-sia." Mada menjeda ucapannya sebentar. Dia menepuk pundak Gesa. "Gua gak minta lu untuk balik lagi sama Yasa, tapi setidaknya kalian harus ingat, sekarang ada Ayas. Dia berhak mendapat kasih sayang yang sempurna. Kasih sayang seorang ayah dan itu harusnya dari lu, Ges. Dari ayahnya sendiri ... bukan dari orang lain."
Gesa makin membisu karena ucapan Mada. Diam-diam dia mengepalkan tangannya yang bergetar. Gesa tahu, Yasa tengah dekat dengan seorang pria, pria yang Ayas panggil dengan sebutan Papa. Harusnya, Gesa yang menyambut pelukan Ayas. Harusnya, Gesa juga yang mendapat rengekan manja dari Ayas. Harusnya Gesa, bukan pria itu.
Baru saja Gesa mendongkakkan kepalanya, dia lebih dulu terkejut karena Jessyra yang berlari dari tengah kerumunan orang-orang. Gadis itu terlihat cemas dengan napas terengah-engah.
"Pak Gesa, Bu Maria pingsan!" serunya penuh kepanikan.
"Di mana?" tanya Gesa tak kalah panik.
"Di sana," sahut Jessyra sambil menunjuk deretan kursi di pojok ruangan.
Gesa tak tinggal diam. Dia berlari, membelah kerumunan di tempat itu. Langkahnya seakan melayang.
"Mamah?" panggil Gesa saat melihat perempuan sepuh yang kini duduk terkulai lemas di salah satu kursi tamu.
"A ...." Mamah tersenyum tipis di sela tenaganya yang habis. Dia kelelahan karena mengikuti rentetan acara yang tak henti sejak pagi hingga sore seperti sekarang.
Gesa ikut duduk di samping Mamah Dia raih kedua tangan ibuny itu. "Mah ... 'kan Aa bilang, Mamah istirahat aja. Kita ke rumah sakit sekarang, ya."
Lagi-lagi, Mamah hanya tersenyum tipis. Dia menggelengkan kepalanya. "Enggak, A. Mamah gak mau ke rumah sakit."
"Akhir-akhir ini Mamah sering kecapean, sering lemes dan sekarang Mamah sampe pingsan begini."
"Nggak pingsan, A. Mamah cuman perlu duduk aja sebentar."
Gesa menggelengkan kepalanya. Dia eratkan genggaman tangan mereka. "Setidaknya, Mamah harus diperiksa. Kita ke rumah sakit. Atau Mamah mau dokternya yang dipanggil ke sini?" tanyanya.
Mamah ikut mengeratkan genggaman tangan mereka. Dia pandangi wajah putranya yang kini jauh lebih sendu. Mamah tahu kekhawatiran Gesa. Mamah juga tahu ketakutan Gesa. Bahkan, Mamah tahu, putranya itu tengah menghukum dirinya sendiri.
"A, Mamah udah gak muda lagi. Udah wajar kerasa ini itu. Mamah gak mau ke rumah sakit. Mamah juga gak butuh obat dari dokter, A. Tapi, Mamah pengen minta satu hal dari kamu. Mamah pengen ketemu Ayas. Sehari aja ... bawa Ayas ke sini. Mamah udah kangen, Mamah pengen ketemu."
Pandangan Gesa perlahan menurun. Jantungnya berdebar perih. Rindu itu juga Gesa rasakan.
"A ... kamu ayahnya Ayas. Hubungan ayah dan putrinya gak bakalan bisa putus. Bahkan, saat udah dewasa sekalipun, Ayas akan tetap cari kamu."
𝓑𝓮𝓻𝓼𝓪𝓶𝓫𝓾𝓷𝓰 . . .
![](https://img.wattpad.com/cover/329542736-288-k321818.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
MENGULANG HARGA
RomancePerpisahan menjadi harga yang telah Gesa dan Yasa pilih. Namun, mereka hampir melupakan bahwa ada kebahagian kecil yang menanti indahnya sebuah pertemuan. Ayas mulai mengerti arti cinta dalam sebuah keluarga. Gadis mungil itu bertanya, "Bunda ... Ay...