"Terkadang, genggaman tangan membuat kita enggan untuk melangkah. Kini, mungkin saatnya bagi kita untuk melepas satu sama lain."
° ° °
GESA tak bisa memejamkan matanya barang sejenak. Pria itu terlentang di atas kasur, menatap langit-langit kamar yang temaram oleh cahaya kuning bersemu biru dari lampu tidur. Hanya rintik hujan tengah malam dari luar sana yang mampu Gesa dengar. Hanya semilir sejuk pendingin ruangan yang memeluk Gesa. Bahkan, hanya aroma vanilla yang menemani Gesa sepanjang malam.
Perlahan, bayangan wajah Yasa tadi sore kembali muncul dalam pandangan Gesa. Tangisannya masih dengan jelas Gesa dengar. Wajah sendu kala itu juga bisa Gesa rasakan. Gesa menggulingkan tubuhnya, lalu menutup matanya, tapi wajah Yasa yang tetap memenuhi seluruh inderanya.
Ternyata, keputusan Gesa menghukum semua orang. Banyak sekali hati yang Gesa lukai. Tak terhitung harapan yang sudah Gesa hancurkan. Bahkan, kebahagiaan kecil yang belum sempat Gesa berikan untuk putrinya sendiri seakan lenyap sebelum bersemi.
Gesa menutup mata, menyembunyikan tangisannya dalam kesunyian. Dadanya sesak menahan luka yang seakan mengganjal dalam hatinya. Matanya perih menampik setiap isak tangis yang dia redam dalam-dalam.
Sedu dan sedan.
Hanya kamarnya sendiri yang menjadi kawan tangisan Gesa. Hanya kamar itu pula yang menyaksikan bagaimana Gesa terus menghancurkan hatinya sendiri. Gesa selalu mengira pertemuan dengan Yasa akan menyembuhkan segalanya. Dia selalu berharap pertemuan itu akan mengobati setiap luka yang mereka miliki.
Layaknya luka yang dibuka kembali, pertemuan itu seolah membuka kembali lara hati yang mungkin saja belum pulih seutuhnya. Hati Gesa rasanya teriris oleh tangisan Yasa. Batinnya menjerit pilu saat Yasa berpura-pura tersenyum di depan Ayas.
Gesa memang bukan manusia yang sempurna. Banyak keegoisan dalam hatinya. Banyak sekali harapan tak tahu diri yang selalu Gesa pinta pada Tuhan tanpa rasa malu.
Jika aku terlalu buruk untuk mendapat sedikit kebahagiaan dari-Mu, Tuhan ... tolong jangan biarkan aku kembali merebut kebahagiaan orang lain. Jangan biarkan mereka kembali tersakiti karena kehadiranku. Hanya itu yang Gesa pinta pada Tuhan kali ini. Tidak kebahagiaan, tidak pula kebersamaan. Dia tak mau kembali menghancurkan segalanya.
Biarlah harga dari kebahagiaan itu Gesa tuai sendirian. Biarlah penyesalan itu Gesa bayar sendirian. Kesempatan kedua mungkin ada bagi mereka yang beruntung. Namun, Gesa tidak beruntung untuk kembali mengulang kesalahan yang sama.
Larut dalam kejolak hatinya sendiri, Gesa tak tahu berapa lama dia menghabiskan waktu untuk menangis sendirian. Pria itu bangkit, lalu berjalan gontai ke luar kamar. Entah ke mana tujuan dari langkahnya kali ini. Namun, kedua kakinya kaku ketika siluet figur Yasa bersemayam di pelupuk matanya.
Ternyata, tak hanya Gesa yang melalui malam yang panjang. Yasa pun tetap terjaga di sana. Perempuan cantik itu larut memandangi potret Ayas ketika bayi yang tepanjang di salah satu dinding rumah.
"Yas," panggil Gesa.
Yasa hanya menoleh sekilas, sebelum akhirnya kembali menatap potret yang sama. Padahal pandanganya hanya ditemani sinar kecil dari lampu kecil, tapi potret itu seakan mampu Yasa lihat dengan jelas.
Gesa ikut berdiri di samping Yasa, menatap potret Ayas di sana. "Maaf," gumamnya.
"Ternyata saat bayi, Ayas mirip kamu." Yasa menatap wajah Gesa dari samping. Hanya siluet dari setiap garis wajah rupawan itu yang mampu Yasa puja dalam kegelapan. "Maaf ... perkataanku tadi sore mungkin melukai hatimu," gumamnya.
Gesa menolehkan kepalanya. Belum sempat dua pasang manik legam itu saling menjatuhkan pandangan, Gesa lebih dulu menundukkan kepalanya. Dia tutup seluruh wajahnya dengan telapak tangannya sendiri.
"Maaf membuatmu dan Ayas menunggu terlalu lama. Maaf ... aku terlalu rumit untuk mengerti semuanya. Maaf ... aku perlu banyak waktu untuk menemui kalian berdua." Tubuh Gesa bergetar karena isak tangisnya. "Yas ... aku selalu ingin menemui kalian. Setiap malam aku selalu bertanya-tanya, kalian di sana sedang apa? Apa kalian merindukanku sama seperti aku merindukan kalian berdua?"
Getar suara Gesa membuat Yasa menangis dalam sunyi. Dia genggam tangan Gesa yang kini tak kalah bergetar. Dia genggam tangan kosong itu. Terasa hangat dan rapuh secara bersamaan. Entah siapa yang menguatkan, tapi keduanya rindu genggaman tangan itu.
"Yas ... aku gak tahu bagaimana caranya untuk memulai kembali. Aku takut ... aku terlalu pengecut untuk menemui kalian."
Perlahan, Yasa usap air mata Gesa dengan jemarinya. Dia tepis tangisan itu jauh-jauh. "Maaf, aku yang gak mengerti. Kamu perlu waktu, aku perlu waktu, kita pun perlu waktu untuk segalanya. Entah memulai atau mengakhiri. Tapi, kini ... kejamnya waktu tidak kita miliki lagi."
Yasa membuka kalung dari ceruk lehernya. Dia ambil sepasang cincin yang sampai sekarang dia pakai sebagai liontin. Dia berikan sepasang cincin itu pada Gesa.
Gesa ingat sepasang cincin itu. Satu cincin yang pernah Gesa pasangkan di jari manis Yasa dan satu cincin miliknya yang sempat Gesa tinggalkan sebelum dia pergi. "Yas ...," ucapnya begitu parau.
"Aku kembalikan."
Gesa menggelengkan kepalanya dengan ribut. Dia remat cincin itu dalam genggamannya.
"Ada seseorang yang menungguku pulang. Dia yang ada saat aku sendirian, dia juga yang mengulurkan tangannya saat aku kesulitan. Sekarang, aku tak bisa membuatnya menunggu terlalu lama."
Gesa menggigit bibirnya sendiri. Hatinya kembali diselimuti keegoisan. "Kamu mencintainya? Kamu mencintainya, Yas?"
Bukannya menjawab, Yasa malah menundukkan kepalanya. Isak tangisnya terdengar begitu halus. Perempuan itu menangis dalam kegelapan.
"Jawab aku, Yas. Kamu cinta sama dia?"
"A-aku ... aku menghargainya."
Gesa memalingkan wajah. Dia menghirup udaranya begitu jemu. Dia pandangi wajah Yasa yang kini menyembunyikan tatapannya. "Yas ... kalau kamu lebih bahagia sama dia, aku rela. Tapi, jika kebahagian itu bisa kita ciptakan bersama-sama, bersamaku dan Ayas ... aku gak mau mengalah, Yas. Aku gak akan ngalah."
𝓑𝓮𝓻𝓼𝓪𝓶𝓫𝓾𝓷𝓰 . . .

KAMU SEDANG MEMBACA
MENGULANG HARGA
RomancePerpisahan menjadi harga yang telah Gesa dan Yasa pilih. Namun, mereka hampir melupakan bahwa ada kebahagian kecil yang menanti indahnya sebuah pertemuan. Ayas mulai mengerti arti cinta dalam sebuah keluarga. Gadis mungil itu bertanya, "Bunda ... Ay...