08. Rasi Rasa

7.6K 701 86
                                    

"Akan datang waktu ketika kamu harus memilih untuk membuka kembali halaman sebelumnya, menulis buku yang lain atau sekedar menutupnya."

° ° °

YASA masih tak lepas memandang wajah Jaya. Sumpah demi Tuhan, Yasa tak tahu harus bagaimana menanggapi ucapan pria itu. Sejak tadi Yasa hanya meremat tangannya sendiri, menyusun setiap kata yang seakan cabar dalam tuturnya, mengumpulkan setiap kepingan rasa yang seakan samar dalam kalbunya. Sekali lagi, Yasa tatap kotak cincin yang tak berani dia sentuh. Indahnya cinta dari benda kecil itu masih takut untuk Yasa miliki.

Tanpa sadar, lalu lalang kendaran mulai berkurang, gemerlap lampu jalanan mulai meredup. Yasa masih setia dalam rasa dan kata yang tak mampu dia utarakan. Hanya harap berbalas bisu.

Sampai akhirnya, Jaya memutuskan untuk menepi. Dia sengaja menghentikan laju mobilnya. Dia balas tatapan Yasa tak kalah dalam. Untuk kesekian kalinya, senyuman itu dia berikan untuk Yasa.

"Mas sayang kamu, Yas. Mas mau menjadi bagian dari hidup kamu, berbagi segalanya sama-sama, lalu menjalani semuanya bareng-bareng, ... bareng Gio juga Ayas."

Yasa semakin kehilangan kata saat kata demi kata milik Jaya terlampau indah untuknya.

Tiba-tiba, Jaya membungkukkan badannya, meraih kotak cincin di dalam laci. Saat tak ada jarak antara dirinya dengan Yasa, Jaya seakan mampu mendengar getar jantung perempuan cantik itu. Jaya kira, hanya dirinya yang tak mampu menahan debaran itu. Tenyata, Yasa pun sama.

Namun, kebisuan dari Yasa membuat Jaya hanya mampu menatap cincin dalam genggamannya.

Dengan sedikit rasa takut, Jaya meraih tangan Yasa untuk pertama kalinya. Rasanya benar-benar hangat dan lembut. Dia bawa jemari lentik itu dalam genggamannya. Dia pautkan setiap jemari.lentik itu dengan jemarinya. Jaya sengaja membiarkam telapak tangan Yasa berada di wajah rupawan miliknya, lalu merasakan bagaimana tangan itu membelai wajahnya. Perlahan, Jaya berani untuk melabuhkan kecupan di punggung tangan Yasa yang terlihat begitu cantik.

Yasa menutup matanya, merasakan lembutnya bibir Jaya berlabuh di tangannya. Rasanya hangat dan lembut. Dia bahkan merasakan hembusan napas Jaya yang menerpa punggung tangannya.

"Yas ... Mas mau kamu yang menyambut setiap pagi yang Mas miliki. Kamu juga yang Mas inginkan untuk menutup hari lelah yang Mas miliki." Jaya berikan kotak cincin itu untuk Yasa genggam.

"M-mas ...."

"Jangan dijawab sekarang."

Jaya menimpali ucapan Yasa dengan cepat. Setelah Yasa benar-benar menerima kotak cincin itu, Jaya menyentuh wajah Yasa dengan jemarinya. Dia puja setiap lekuk indah dari wajah cantik itu. Mulai dari kelopak mata berbentuk almon dan terkesan sedikit sayu, lalu pipi tirus yang merona merah muda, hingga bibir merah merekah bagaikan kelopak mawar.

"Kita gak perlu terburu-buru. Kalau kamu belum siap ... Mas mau nunggu." Jaya kembali meraih tangan Yasa yang kini mengepal, menutupi kotak cincin dalam genggamnnya.

"Yas ... Mas mau kamu menyimpan cincin itu. Saat hati kamu juga menginginkan untuk kita bersama, izinkan Mas sendiri yang memasangkan cincin itu di jari manis kamu."

Yasa hanya terdiam. Perlahan, dia mengangguk samar.

"Kapan pun itu, Mas akan tunggu."

Jaya kembali membenarkan posisi duduknya dan kembali melanjutkan perjalanana mereka yang belum usai. Sedangkan Yasa, dia kembali menatap jalanan dengan kotak cincin dalam genggamannya.

"Eh, Yas ... mumpung jalanan sepi. Mau coba belajar bawa mobil gak?" Jaya bertanya sambil menoleh sekilas. "Hari ini, Mas sengaja pakai mobil matic biar kamu bisa belajar."

"Ih, masih takut ah," sahut Yasa.

"Kalau ngandelin takut, kapan mulainya."

"G-gimana mulainya?"

"Mas ajarin." Jaya menepuk-nepuk pahanya sendiri. "Duduk di sini, biar gampang belajarnya."

"Eh ... di-dipangku?!" Yasa seketika kaku. Perempuan itu terkejut. Matanya membola, tapi tatapannya begitu polos seperti anak kecil.

"Bercanda ...." Jaya tertawa. Dia terkikih-kikih, melihat lucunya wajah Yasa saat terkejut.

"Aku kaget, dikira beneran, Mas." Yasa mencebikkan bibirnya. "Hilih, taunya modus!"

"Yas, besok-besok kalau ada yang ngasih permen, jangan diambil ya." Jaya terus menggoda Yasa meski dihiasi dengan tawanya sendiri.

"Tau ah, gelap!" Yasa menggulirkan matanya dengan malas. Perempuan itu memilih untuk mengambil ponselnya. Ternyata, ada pesan masuk dari Gesa.

Yas, aku boleh ketemu Ayas?

Yasa malah melirik Jaya. Pria itu serius mengendarai mobilnya. Yasa makin terpaku sambil mengeratkan genggaman pada ponselnya sendiri. Entah kenapa getar jantungnya seakan mengkhianati perasaannya untuk Jaya.

Yas, ayo kita ketemu.
Kita mulai lagi semuanya dari awal.
Aku ingin memperbaiki segalanya.

Yasa merasakan ponselnya kembali bergetar karena setiap pesan dari Gesa.

"Ada telpon tuh, Yas," ucap Jaya.

Yasa langsung menatap ponselnya. Dia terdiam saat panggilan itu berasal dari Mala.

"Siapa? Gak diangkat?" tanya Jaya.

"Dari Mala."

Yasa lantas terima panggilan telpon itu.

"Teteh masih di mana?" tanya Mala dari balik telpon itu. Suaranya terdengar panik. Terdengar sayup-sayup orang-orang mengobrol. Entah apa yang terjadi, tapi Yasa bisa mendengar dengan jelas tangisan bocah laki-laki dari seberang sana. Dari suaranya, Yasa kenal itu suara Gio.

"Kenapa, La? Itu Gio kenapa nangis?"

Jaya ikut menoleh saat namanya putranya disebut. Tatapan matanya seolah bertanya, kenapa? Samar-samar, Yasa menggelengkan kepalanya.

"Ayas jatuh dari sepeda. Kepalamya sobek dan harus dijahit. Sekarang, Aku sama Wildan bareng Gio juga udah di rumah sakit."

"Rumah sakit mana?!" Yasa panik bukan main. Jantungnya berdebar. Bahkan, kini tangannya bergetar hebat. Sampai akhirnya, Yasa jatuh dalam tangisan.

"Kenapa, Yas?" Jaya ikut panik. Dia sontak menginjak pedal rem sekuat tenaga. "Siapa di rumah sakit?" tanyanya.

Yasa menatap Jaya dengan tangisan yang sudah tak bisa dibendung. Dia terisak sambil berucap, "Mas, Ayas jatuh, kepalanya sobek."

Jaya rebut ponsel Yasa. "Halo, La. Kalian di mana sekarang?"

"Mas, kita di Assyifa."

"Ayas gimana?"

"Lagi ditangani sama dokter."

Jaya mengerti. Setelah menutup telpon dari Mala, dia segera melesat menuju rumah sakit dengan kecepatan penuh. Di sampingnya, Yasa harap-harap cemas dengan linangan air mata yang tak kunjung surut.

"Ayas pasti baik-baik aja. Sekarang, Ayas udah ditangani dokter." Jaya menggenggam tangan Yasa yang bergertar. Dia usap punggung tangan itu dengan lembut. "Jangan nangis, kita berdo'a untuk Ayas."

"Mas, kepala Ayas sampai harus d-dijahit," ucap Yasa di sela tangisannya.

"Ayas pasti baik-baik aja."

𝓑𝓮𝓻𝓼𝓪𝓶𝓫𝓾𝓷𝓰 . . .

MENGULANG HARGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang