"Jika hatiku adalah rumahmu, sejauh apa pun kamu berkelana, kamu tak perlu bertanya ke mana harus pulang."
° ° °
GESA pernah mendengar sebuah kalimat, rumah adalah tempat di mana kebahagiaan berada. Di sana kehidupan dimulai. Setiap kolase kenangan dan kepingan rindu tersimpan di dalamnya. Canda, tawa, tangis dan kekecewaan menjadi ornamen untuh dalam lingkaran kehidupan. Rumah menjadi tempat bagi Gesa untuk mengadu dan menangis. Di rumah yang sama pula, Gesa sempat tertawa gembira dan bersukacita.
Ternyata, rumah bukan sekedar tempat, bukan pula megahnya sebuah bangunan. Rumah adalah perasaan, perasaan ingin pulang dan melepas seluruh penat dari kejinya tuntutan dunia luar. Rumah adalah keluarga, setiap figur yang selalu Gesa rindukan. Rumah adalah kenyamanan, tak peduli seberapa indahnya sebuah parak, rumah selalu menjadi tujuan untuk kembali.
Untuk pertama kalinya dalam hidup Gesa, rumahnya dipenuhi oleh banyak orang. Canda dan tawa, bahkan teriakan dan rengekan tak henti terdengar di setiap penjuru rumah. Baru pertama kalinya dalam hidup Gesa, rumahnya berantakan dengan berbagai macam mainan yang berserakan di mana-mana.
Harusnya, seperti ini sebuah rumah.
Hidup dan menghidupkan.
Gesa tak lepas memandangi Ayas yang sibuk bermain bersama Gio. Dua bocah beda usia itu duduk di lantai beralaskan karpet bersama seluruh mainan mereka. Tak luput satu mainan pun yang mereka tumpahkan di atas karpet itu. Bahkan tak hanya mainan, sapu dan pantofel milik Gesa pun menjadi pelengkap bagi mainan-mainan itu.
"Abang jadi mostel, Ayas jadi peli."
"Gak mau! Monster jelek! Abang mau jadi Spider Man!"
"Gak boyeh, Abang. No! No!"
Begitu perdebatan menggemaskan antara Ayas dan Gio. Keduanya terus berteriak, memilih karakter yang masing-masing mereka suka. Meski jarang akur, tapi Gio yang sering mengalah. Katanya, "Kata Papa, Abang udah besar, jadi harus ngalah sama Ayas."
Tanpa sadar, Gesa terus tersenyum. Ada rasa rindu yang dia rasakan. Ada sedikit kebahagiaan yang menerpa hatinya. Jika Tuhan tidak mengambil kembali putranya, Gesa yakin jagoan kecil itu akan sebesar Gio. Putranya itu mungkin juga akan mulai bersekolah dan mulai mengenal teman-temannya.
"Saya dengar, harusnya anda juga memiliki seorang putra."
Saking asyiknya melihat dua bocah yang sibuk bermain, Gesa hampir lupa bahwa dia tengah duduk bersama Jaya di ruang tamu. Mereka hanya berdua mengawasi putra-putri kecil itu. Sedangkan, Yasa sibuk di dapur bersama Bi Narti dan Mamah, jika Mala fokus edit video di ruang kerja Gesa.
Tak ada obrolan hangat antara Gesa dan Jaya sejak tadi. Mereka hanya sibuk menatap kebahagian kecil dari Ayas dan Gio di sana.
Gesa menoleh, lantas menatap sekilas figur Jaya di sampingnya. "Mungkin sekarang dia sebesar Gio, atau mungkin sedikit lebih besar," tuturnya.
Jaya mengulum senyuman. "Saya gak pernah tahu bagaimana masa lalu Yasa dan anda seperti apa. Bahkan saya gak mengerti kenapa kalian berpisah. Bukan saya menutup mata, tapi saya gak bisa memaksa saat Yasa gak mau bercerita."
"Ceritanya panjang." Gesa menghela napasnya begitu dalam, mengingat kembali setiap hal yang sudah dia lalui bersama Yasa dan Elfara. "dan sedikit sulit untuk diceritakan."
Jaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Di beberapa bagian, tak semestinya semua orang mengetahui segalanya. Ada beberapa hal yang lebih baik tidak diceritakan jika hal itu menyakiti semua orang. Ada beberapa hal yang lebih pantas dibiarkan menjadi misteri jika kejujuran hanya membuka kembali luka lama. Jaya mengerti akan hal itu.
"Saya turut berduka atas kepergian putra anda."
"Putra saya dan bundanya." Gesa menimpali ucapan Jaya dengan cepat. "Mereka berdua adalah alasan saya menemui Yasa, tapi akhirnya mereka semua tetap pergi, termasuk Yasa dan Ayas."
Jujur, Jaya masih tak bisa membayangkan, serumit apa hubungan Gesa dan kedua istrinya di masa lalu. Jaya juga tak bisa mengira, sesakit apa saat semua orang memilih meninggalkan Gesa sendirian.
"Anita juga memilih pergi," ucap Jaya.
Gesa kembali menoleh. Tatapannya seolah meminta penjelasan.
"Mamanya Gio. Dia juga pergi. Bukan maut yang memisahkan kita, tapi memang keputusannya untuk pergi." Jaya tersenyum tipis. Dia terus menatap putranya dari kejauhan. Sekilas, wajah Anita terlihat dari wajah jagoan kecilnya itu. "Mimpi Anita sangat besar. Dia seorang model. Mengurus anak dan pernikahan terlalu sempit untuk dunianya yang begitu luas. Anita masih ingin mengejar mimpinya."
Gesa hanya terdiam, mendengarkan cerita Jaya di sana. Setiap orang memiliki cerita mereka masing-masing. Entah bersama luka atau tidak, tapi akan ada keputusan yang harus dibayar, termasuk keputusan untuk tetap tinggal atau mengalah dan pergi.
"Sayangnya, mimpi besar itu harus mengorbankan mimpi kecil Gio untuk memiliki ibu yang selalu ada." Lagi-lagi, Jaya mengulum sebuah senyuman. Kali ini dia menatap Ayas. Wajah Yasa terlukis sempurna dalam figur menggemaskan itu. "Tapi ... saat Gio bertemu Yasa, mimpi kecil itu kembali hadir. Figur lembut penuh kasih sayang yang Gio rindukan ada dalam Yasa ... dan itu yang membuat saya jatuh cinta pada Yasa setiap harinya. Kalau bisa, saya ingin memiliki Yasa. Bukan hanya untuk Gio, tapi untuk melengkapi keluarga kecil kami."
Jaya tertawa kecil. Manik cokelatnya berbinar saat menceritakan tentang Yasa. Pria itu benar-benar jatuh cinta. "Saya suka wajah Yasa yang bersemu merah saat dia tersipu malu atau matanya yang membulat saat terkejut. Tutur lembut dan tingkahnya membuat saya seolah memiliki rumah untuk pulang."
Gesa berdeham. Dia memalingkan wajahnya. Diam-diam, tangannya mengepal erat. Saking eratnya, setiap bentangan vena dalam lengannya seakan mencuat keluar.
Jika bukan karena Ayas dan Gio yang berlari ke arah mereka, Gesa bisa saja membiarkan setan menguasai hatinya.
"Papa, kata Ayas dia punya Ayah." Gio mulai mengadu pada Jaya.
Jaya tak tahu harus menjawab apa. Dia menatap dua bocah itu bergantian. Di sana, Ayas kecil menganggukkan kepalanya. Gadis cantik itu malah melompat-lompat sambil mengangkat-angkat roknya sendiri.
"Ayas punyanya Ayah, Abang punyanya Papa," timpal Ayas.
Gesa segera meraih tangan putrinya. "Sayang, gak boleh diangkat-angkat roknya. Malu tuh ... keliatan popoknya, ih."
"Anak-anak! Siapa yang mau makan masakan Buna!" Di saat yang sama, Yasa berteriak dari arah dapur. Perempuan cantik dengan apron merah muda itu berdiri antara sekat dapur dan ruang tamu.
"Abang!" sahut Gio. Dia langsung berlari mendekati Yasa.
"Ayas duluan!" Ayas tak mau kalah. Dia ikut berlari, menyusul Gio dari belakang dengan langkah mungilnya.
Yasa tersenyum dari kejauhan. Dia menatap Gesa dan Jaya yang masih setia di tempat duduknya. "Makan dulu, yuk," pintanya tanpa suara.
Baru saja Jaya akan beranjak, tapi dia tertahan melihat Gesa yang sepertinya akan mengatakan sesuatu.
"Saya dan Yasa memang dipertemukan dengan cara yang tidak seharusnya. Bahkan, saya sendiri yang melukai Yasa." Gesa beranjak duluan. Dia menatap Jaya dengan perasaan tak suka yang bisa saja membuncah saat ini juga. Dia menghela napasnya sebentar, "tapi, tolong ... biarkan saya juga yang menyembuhkannya."
𝓑𝓮𝓻𝓼𝓪𝓶𝓫𝓾𝓷𝓰 . . .
KAMU SEDANG MEMBACA
MENGULANG HARGA
RomancePerpisahan menjadi harga yang telah Gesa dan Yasa pilih. Namun, mereka hampir melupakan bahwa ada kebahagian kecil yang menanti indahnya sebuah pertemuan. Ayas mulai mengerti arti cinta dalam sebuah keluarga. Gadis mungil itu bertanya, "Bunda ... Ay...