"Jika keegoisan pantas untuk kembali aku banggakan, aku ingin memiliki segalanya hingga tak tersisa."
° ° °
GESA memang tak menuntut jawaban malam itu juga. Pria itu hanya tersenyum dan membiarkan Yasa merasakan sendiri sejauh apa keseriusan Gesa untuk kembali memperbaiki semuanya dari awal.
"Dan, tentang rumah ini ... biarkan aku memilikinya lagi. Berapa pun harganya, akan aku bayar."
Yasa mengerti perkataan Gesa malam itu, bukan sekadar tentang rumah, tapi tentang hubungan mereka sebagai satu keluarga yang utuh.
Sejak malam itu, Gesa jadi lebih sering berkunjung ke rumah Yasa, setidaknya untuk mengajak Ayas bermain di luar atau membawa mainan baru yang mungkin akan Ayas sukai. Yasa memang tak pernah melarang Gesa untuk datang ke rumah. Makanya, Ayas pun mulai terbiasa dengan kehadiran pria bermata bulan sabit itu.
"Buna, hali ini Ayah datang?"
Pertanyaan itu yang kadang Ayas lontarkan saat bangun tidur. Gadis cilik itu selalu menanti mainan apa yang akan Gesa bawa atau ke tempat mana mereka akan bermain bersama.
Pagi ini, Yasa tengah sibuk mengepang rambut Ayas. Keduanya duduk di atas kasur dengan berbagai macam mainan. Tak ada jadwal ke sekolah hari ini. Jadi, Yasa bisa dengan leluasa menjaga putrinya di rumah.
"Ayas suka sama Ayah?" tanya Yasa.
Ayas menoleh hingga kepangan rambutnya yang belum selesai kembali terlepas. "Suka. Ayah baik. Bawa mainan banyak, beliin Ayas et klim, ajak Ayas ketemu badut ...." Gadis kecil itu terus mengabsen setiap hal yang dia lakukan bersama ayahnya.
"Kalau Ayah gak ke sini lagi, gimana?"
"Kenapa?" Ayas makin lekat menatap Yasa di sana. Kedua bola mata legam nan polos itu membulat, menanti jawaban dari bundanya. "Ayah gak suka Ayas?"
Yasa bukan tak suka saat Ayas makin bergantung pada Gesa, tapi Yasa ingin tahu sebesar apa keinginan Ayas untuk bersama Gesa. Ayas masih belum mengerti siapa Gesa sebenarnya dan bagaimana hubungan mereka. Sejauh ini, Ayas hanya tahu bahwa Gesa adalah pria bernama Ayah yang akan membawa mainan dan mengajaknya main peri-perian, hanya itu.
Di sisi lain, jika mengandalkan perasaannya sendiri, hati Yasa masih bimbang untuk membuka hatinya pada siapa.
"Apa gak ada kesempatan kedua untuk kita, Yas?"
Masih jelas dalam netra Yasa bagaimana tatapan Gesa saat memberikan pertanyaan itu. Tatapannya masih sama indahnya, bola matanya berbinar, entah karena linangan air mata yang tertahan atau karena keyakinan untuk menjawab setiap harga dari kebahagiaan.
Namun, Yasa pun tak bisa mengkhianati perjuangan Jaya selama ini. Jaya yang mengulurkan tangannya saat Yasa sendirian. Pria itu pula yang menjadi kerinduan Ayas akan sosok seorang ayah saat Gesa tak ada.
Yasa masih ingat malam itu dia di rumah hanya berdua bersama Ayas. Hujan lebat dengan sambaran petir yang menakutkan. Malam itu, Jaya yang rela menembus derasnya hujan tengah malam demi membawa obat penurun panas saat Ayas demam tinggi. Jaya juga yang rela tidak tidur demi mengganti kompres di kening Ayas. Belum lagi dengan sebuah cincin yang masih menanti sebuah jawaban.
Jika bertanya siapa yang Yasa inginkan, hatinya tetap tidak menemukan jawaban. Perasaan yang masih belum usai untuk Gesa berpadu dengan perasaan yang mulai tumbuh karena kebersamaannya dengan Jaya.
Andaikan keegoisan bisa Yasa banggakan seperti Gesa kala itu, Yasa juga menginginkan semuanya. Namun, Yasa tak mau hancur untuk kedua kalinya. Sudah cukup keegoisannya menghancurkan segalanya. Sudah cukup keegoisannya melukai banyak orang. Yasa tak mau mengulangi kesalahan yang sama.
KAMU SEDANG MEMBACA
MENGULANG HARGA
RomansaPerpisahan menjadi harga yang telah Gesa dan Yasa pilih. Namun, mereka hampir melupakan bahwa ada kebahagian kecil yang menanti indahnya sebuah pertemuan. Ayas mulai mengerti arti cinta dalam sebuah keluarga. Gadis mungil itu bertanya, "Bunda ... Ay...