"Terkadang, bagian tersulit bagi kita bukan merelakan, tapi memulai kisah baru."
° ° °
GESA di depan kemudi mobilnya tengah menyusuri jalanan. Sempitnya jalanan itu masih dipagari pohon-pohon tinggi. Samar-samar, suara angin yang meniup setiap helaian daun mulai bersahutan dengan suara ban mobil yang terus bergulir. Jalanan kampung itu tak asing bagi Gesa. Dulu, sering Gesa pijaki untuk menemui Yasa.
Kini, Gesa kembali menyusuri jalanan itu sakan mengulang hal yang sama. Tak banyak yang berubah, hanya beberapa lubang jalanan yang sudah diperbaiki.
Entah apa yang Gesa sampaikan melalui sorot matanya, pria itu hanya menatap panjangnya jalanan yang entah di mana akan berakhir. Sesekali, dia menghela napasnya dalam-dalam. Hingga tak terasa pejalanan panjang itu berakhir di sebuah pekarangan rumah. Rumah berlantai dua dengan cat warna putih. Rumah itu sempat Gesa tinggalkan. Rumah itu pula yang menjadi tempat perpisahan Gesa dan putri kecil. Rumah yang Gesa berikan untuk Yasa.
Gesa membuka pintu mobilnya. Sepasang kaki jenjang yang dibalut sepatu pentofel itu perlahan melangkah mendekati rumah yang penuh dengan ingatan. Ingatan akan harapan juga keegoisan yang sempat Gesa agungkan.
Dalam pandangan yang termaram akan kenangan, Gesa seakan melihat figur Yasa yang setia menunggu di beranda rumah dengan perut besarnya. Tanpa sadar, debar jantung itu kembali Gesa rasakan. Kaki jenjangnya seakan tak kuasa untuk menunda lebih lama akan indahnya sebuah pertemuan.
Tiba-tiba, langkah Gesa terhenti saat dia membaca sebuah papan yang tergantung tepat di depan pintu. Ada sebuah tulisan dalam papan itu.
Rumah ini dijual, batin Gesa mengeja setiap kata yang tertulis di sana.
Gesa tahu, Yasa memutuskan untuk pindah dan memulai kisah baru di tempat baru, tapi Gesa tak mengira rumah itu akan Yasa jual. Banyak sekali hal yang Gesa tinggalkan di sana. Bahkan, sebagian hati Gesa tertinggal di rumah itu.
"Ada yang perlu saya bantu, Pak?" tanya seseorang.
Gesa menoleh, menatap orang itu. Ternyata, seorang pria paruh baya berkumis abu-abu dengan sarung hijau yang melintang di bandannya yang cukup sintal.
"Rumah ini dijual?" tanya Gesa.
"Muhun, eh ... iya, Pak. Rumah ini dijual. Bapak tertarik untuk beli?"
"Eugh ... iya. Tapi, saya ingin lihat dulu dalamnya?"
"Boleh. Yuk, Abah antar."
Gesa mengekori orang itu untuk masuk ke dalam rumah. Hatinya makin berdebar saat suara kunci yang diputar bersahutan dengan derit pintu yang mulai terbuka. Aroma kotor dari debu samar-samar masuk ke indera penciuman Gesa. Dia mengusap ujung hidungnya sekilas.
"Rumah ini udah lumayan lama gak ditempati, jadi emang agak kotor, banyak debu. Tapi bangunannya masih kokoh, perabotannya juga bagus-bagus. Kalau dibersihkan, bisa kaya baru lagi. Biasanya dibersihkan sebulan sekali, kebetulan Bapak datang saat rumah ini belum dibersihkan."
Gesa hanya mendengarkan sambil menatap setiap hal di dalam rumah, mulai dari perabotan yang ditutup plastik bening hingga gambar Mala yang masih menggantung di salah satu sudut ruangan.
"Rumah ini kenapa dijual, Pak?" tanya Gesa.
"Panggil Abah Maman aja, Pak," sahut pria itu, memperkenalkan namanya.
"Oh, Iya." Gesa tersenyum tipis. "Perkenalkan saya Gesa," ucapnya.
"Pak Gesa, soal rumah ini Abah kurang tahu jelasnya kenapa dijual. Abah juga bukan asli sini. Tapi, pemiliknya minta rumah ini segera dijual."
KAMU SEDANG MEMBACA
MENGULANG HARGA
RomancePerpisahan menjadi harga yang telah Gesa dan Yasa pilih. Namun, mereka hampir melupakan bahwa ada kebahagian kecil yang menanti indahnya sebuah pertemuan. Ayas mulai mengerti arti cinta dalam sebuah keluarga. Gadis mungil itu bertanya, "Bunda ... Ay...