Revisi Diskusi

1.3K 69 1
                                    

"Kenapa kamu?"
Tanyanya sambil menatapku datar setelah aku masuk mobilnya yang terparkir tak jauh dari restaurant tempatku makan tadi.

"Gak papa"

"Yang bener?"

"Iya"

"Mas"

"Hmm"
Jawabnya singkat.

"Ih cuek"
Gerutuku yang masih bisa dia dengar, namun dia tak meresponku.

"Mas"
Panggilku setelah kami saling diam dalam waktu yang cukup lama.

"Yes"

"Mas mau ngomong apa?... tentang perjodohan ya?"

Lagi-lagi, dia tidak menjawab pertanyaanku, dia tetap diam, namun matanya terlihat menerawang jauh. Aku perhatikan wajahnya dari samping, dia memang lelaki tanpa cela, wajahnya cukup tampan, badanya tegap dan tinggi, kulit putih, , dia tampak selalu rapi.

Sejujurnya dulu tiap kali aku bermain ke rumah Eva, aku memang sempat mengidolakannya, tapi ketika aku tau tentang perjodohan ini, nyaliku jadi menciut, aku terlalu takut dengan sosok pria disampingku ini, dia terlalu sempurna dimataku, apa mungkin dia mau menerimaku dengan segala kekuranganku? Apa mas Ian setuju dan mau menjalani perjodohan ini? Apakah pria disampingku ini bisa mencintaiku?

"Mas"
Pangilku lagi pelan.

"Iya"

"Apa mas mau menerima perjodohan ini?"

"Menurutmu?"
Tanyanya datar.

"Aku bukan paranormal mas, aku gak bisa baca hati dan pikirannya mas"
Jawabku lemah.

"Kalau boleh aku jujur, sebenarnya aku takut mas maju melangkah ke jenjang pernikahan."
Aku berhenti sejenak untuk memilih kata-kata yang pas untuk mengutarakan isi hatiku.

"Mungkin akhir-akhir ini kita memang kebetulan selalu bertemu. Tapi jujur mas Ian, aku belum mengenal mas sepenuhnya, aku gak tau perasaan mas gimaan, aku takut jika mas dan aku menjalani ini dengan terpaksa maka dikemudian hari akan terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan"

"Aku gak mau rumah tanggaku nanti berantakan dan hancur seperti orangtuaku. Aku gak mau anakku merasakan hal yang selama ini aku alami."

"Aku capek mas, aku lelah harus bolak-balik Malang Surabaya terus hanya ingin bertemu salah satu dari mereka."

"Selama ini aku merasa sendiri, aku bisa tertawa diluar rumah, tapi tanpa semua ketahui aku sebenarnya rapuh, sering nangis di kamar, ingin merasakan keutuhan keluarga itu lagi"

"Jadi kamu menolak perjodohan ini?"

"Caca belum tau mas. Maaf"

"Alasannya?"

" Caca takut mas Ian tinggalin Caca kaya mama tinggalin papa"

"Hmm"
Jawabnya singkat.

"Mas Ian memang mau dan terima perjodohan ini?"

"Ya mau gimana lagi"
Jawabnya cuek sambil matanya masih tetap fokus dengan lalu lintas di depan.

"Kalau mas terpaksa, kenapa gak ditolak aja?"

"Gak segampang itu ca"

"Kenapa? Mas bisa nolak kan kalau gak ada rasa sama Caca?"
Jawabku sedikit menuntut.

"Ca, saya tau kamu kecewa dengan perjodohan ini. Sayapun juga. Saya sudah punya pacar, mungkin kamu juga, tapi saya gak mau membuat orangtua saya kecewa. Jadi yasudahlah kita jalani kehidupan kita masing-masing dulu"

"Kamu masih bisa dengan lelakimu, sebaliknya aku juga. Kita gak usah saling ikut campur urusan masing-masing."

Katanya pelan, namun tatapan mata sipitnya dan pernyataannya itu mampu membuat hatiku terluka. Dari pernyataannya itu aku mampu menyimpulkan bahwa pria ini tak ada rasa sama sekali denganku, beda dengan diriku yang ada rasa untuknya walaupun hanya sedikit.

"Bagaimana bisa menjalani rumah tangga model begitu?"

"Lalu?"

"Aku gak mau rumah tanggaku sedingin itu mas. Aku ingin menikah dengan orang yang saling mencintai"

"Saya gak mungkin mencintai kamu dalam waktu dekat ca."

"Yaudah kalau gitu kenapa gak menolak aja?"
Ucapku agak emosi.

"Kalau kamu mau menolak silahkan"
Jawabnya santai sambil memarkirkan mobilnya di depan rumah mamaku. Yang benar saja, dia menyuruhku yang bergerak menolak perjodohan ini sedangkan dia hanya diam seolah setuju namun aslinya juga menentang.

"Mas kalau gak mau bilang aja gak mau dari awal, akupun juga akan seperti itu. Jadi orangtua kita gak banyak berharap sama perjodohan ini."
Aku melirik mamaku yang keluar dari apotek dan mulai berjalan ke arah mobil ini.

"Terimakasih sudah diantar pulang. Mas Ian gak perlu manpir kan?"
Tanyaku ketus sambil membuka pintu mobilnya ingin keluar namun tanganku dicegah olehnya.

"Jangan lupa kontrol dan lepas jaitan"
Katanya kali ini sambil tersenyum. Aku terdiam sebentar memikirkan perintahnya itu. Apa kontrol dan lepas jaitan? Jadi aku masih harus menemui dia lagi?

"Apa?"

"Jaitan di gusimu itu harus di lepas Ca"

"Hah... emang gak langsung jadi daging ya"

"Gak"

"Besok ya, kerumah. Saya bantu lepas jaitannya."

"Emang harus sama mas?"

"Saya kan doktermu Ca"

"Besok ya?"
Katanya lagi sambil senyum menggodaku.

"Gak, gak mau. Aku mau nyari dokter cwe"
Kataku kemudian langsung keluar dari mobilnya.

Aku berjalan terus masuk ke rumah mengabaikan mama. Mama sempat menegurku tapi aku menghiraukannya. Dengan cepat aku masuk ke rumah dan menaiki tangga menuju kamarku di lantai dua.
***

KAFELETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang