Pria Mapan

1K 60 5
                                    

Aku dipersilahkan masuk oleh orang yang bernama Ajeng ini dengan membukakan pintunya. Aku ucapkan terimakasih karna walaupun terlihat dia tak suka padaku namun dia begitu baik membukakan pintu untukku. Mungkin dia sudah lelah, ingin cepat pulang namun aku menganggunya sehingga dia tidak bisa bersih-bersih ruangan lebih cepat. Dia bilang tadi belum bersih-bersih kan? Dan langsung tak suka melihatku ketika suamiku itu mempersilahkan aku masuk.

"Mas"
Panggilku pelan saat melihatnya sedang menulis di meja, dia melihatku lalu bertanya bukan padaku yang ternyata wanita bernama Ajeng ini mengekoriku dan ikut masuk.

"Dokter maaf, saya boleh cuci alatnya sekarang tidak? Soalnya saya ada janji harus cepat pulang."
Tanyanya saat mas Ian menegurnya kenapa masih disini.

"Boleh"
Jawab suamiku itu.

"Kamu kok kesini Ca? Belum tidur?"

"Belum, gabut. Mas belum selesai?"

"Belum sebentar lagi. Sini dulu"
Perintahnya sambil menyeret kursi yang didekatkan pada kursinya.

"Sudah makan dan sholat isya?"

"Belum makan, bareng aja. Nih aku dibawain mama makanan."
Ucapku yang dia angguki sambil memegang pinggaku dia arahkan untuk duduk di pangkuannya, dan perlakuannya yang tiba-tiba itu membuatku kaget, padahal sudah ada kursi disampingnya.

"Mas gak enak dilihat mba itu tadi lo"
Bisikku padanya namun dia seakan tak peduli dengan protesku.

"Biar"

Katanya singkat sambil melanjutkan menulis sesuatu, sedangkan tangan satunya masih memeluk pinggangku posesif. Jangan tanya aku kenapa suamiku itu jadi posesif seperti ini, aku sendiripun juga heran dengan perubahannya yang tiba-tiba itu. Yah... mas Ian tiba-tiba bisa begitu lembut padaku, namun tiba-tiba juga bisa bersikap cuek padaku. Aku melihat handphoneku, ketika ada suara 'ting' berbunyi dari sana.

"Ck kirain siapa"
Kataku pelan.

"Emang siapa?"
Tanya suamiku itu padaku, namun matanya masih fokus pada lembaran-lembaran kertas di depannya.

"Kamu, baru dibalas wa ku pas aku udah disini."
Mas Ian tak menanggapi ucapanku, lebih memilih fokus menulis.

"Dry text"
Ucapku sambil membaca pesan darinya yang hanya kata 'Ya'.

"Apanya dry text Ca"

"Ini mas Ian jawabnya di wa singkat banget"

"Bahasa apa itu?"

"Bahasa anak-anak sekarang mas, anak gaul gitu"

"Dry text?"

"Iya"

"Apa artinya?"

"Pokoknya dry text itu untuk menggambarkan pesan teks yang singkat,hambar atau kurang ekspresif. pesan semacam,minim emosi,tidak menunjukkan ketidaksukaan, atau terkesan datar gitu."

Dia tersenyum mendengar penjelasanku yang terkesan menyindirnya. Tapi matanya masih fokus pada lembaran kertas di depannya, tangannya menulis entah apa itu, aku tak memahaminya karna tulisannya terkesan asal khas tulisan seorang dokter seperti kue cekeremes. Orang lain apa paham dengan tulisan semacam ini? Apa dia juga paham kalau sewaktu hari membaca tulisan ini lagi?

Karna terlalu asik belajar mengeja tulisannya itu, aku sampai tida sadar kalau suamiku itu telah mengakhiri aktivitasnya dan kini beralih memperhatikanku. Jari-jarinya kini meremas pinggangku posesif. Aku yang sekali lagi kaget dengan perlakuannya yang tiba-tiba itu langsung menoleh ke arahnya.

"Kenapa hmm?"
Tanyanya sambil mengelus pipiku lembut.

"Enggak"
Jawabku tersenyum sambil menggelengkan kepala.

"Kenapa? Gak bisa baca tulisanku ya?"
Aku menoleh kaget kearahnya, tapi kemudian tersenyum dan menganggukan kepalaku.

"Kok mas tau sih isi kepalaku"

"Taulah"

"Ini tulisan aslinya kaya gini?"

"Enggak, ini yang asli"
Katanya sambil menulis di kertas lain.

"Biar apa nulis jelek kaya gini mas?"

"Karna yang ditulis banyak, sudah capek. Biar cepet aja."

"Astaga mas Ian"

Dia tertawa menanggapi komentarku.
"Pingin dipijetin kamu deh sayang"

Aku menoleh lagi kearahnya karna panggilan 'sayang'nya.
"Kenapa sih? Dari tadi expresinya kaya kaget gitu?"

"Mas aneh deh malam ini."

"Haha aneh gimana?"

"Ya aneh aja perasaan"

"Kenapa jadi romantis?"

Aku mengangguk sambil melihat wajahnya. Kok tau ya dia? Apa dia bisa mendengarkan pikiran dan isi hatiku? Namun buru-buru aku memalingkan mukaku ke arah lain saat mas Ian menatapku. Aku gak bisa lama-lama saling menatap mata dengannya, apalagi diperlakukan seperti ini, buat jantungku tidak sehat aja. Bagus kalau mas Ian sudah benar-benar ada rasa padaku, kalau hanya melampiaskan nafsunya gimana? Aku gak mau baper dan jatuh sendiri. Seringkali terlalu berharap kasih sayang pada manusia bernama lelaki itu bikin sakit pada akhirnya.

"Mas cenayan ya?"

"Bisa jadi"
Katanya asal sambil menutup map di depannya.

"Pulang yuk, pengen makan kamu"
Benar kan tebakanku? Pria yang kata mama mapan dan tampan ini menginginkan sesuatu dariku. Sudah bisa ditebak.

"Alah paling sampai rumah mas juga tepar"

"Nantangin kamu Ca?"

Ucapku padanya sambil berdiri dari pangkuannya, lalu aku berjalan ke arah pintu keluar untuk pulang terlebih dahulu. Namun mas Ian menarik tanganku, mengintruksikan untuk menunggunya sebentar. Dia mengambil handphonenya yang ada di laci dan dia masukan pada tas kecil yang dia bawa, mengenggam tangan kananku dan pamit pada suster yang sedang menyeterilkan alat di pojok ruangan.

"Pake baju dinas ya nanti"
Bisiknya padaku sambil berjalan ke pintu keluar Klinik.

"Astagfirullah mas"
Ucapku geli sambil bergidik.

"Kok istigfar, kan udah sah"

"Kalau aku sampai rumah udah ngantuk gimana?"

"Habis ini kita mampir ke kedai kopi X, kita beli kopi dua shot. Ayo buruan"



***

KAFELETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang