Pria Dingin

1.3K 71 0
                                    

#Flashback On

"Dokter Arter emang gimana sih dok orangnya, disuguhi dokter Weny yang cantik begitu kok lempeng aja."

"Ya gitu emang cuek orangnya. Tapi beberapa kali dia dekat sama wanita sih.."

"Emang yang pernah dibawa wanita seperti apa dok?"

"Model, selebgram gitu. Mantannya kan Lily Stepfino yang sering ngonten tentang makeup itu. Tau gak? Yang anak UB"

"Ha... serius? Pantesan cantik banget emang dok. Dia kan juga sering bikin konten tentang mobilnya yang modifan semua ya?"

"Iya, anak club mobil kayanya. Tapi dokter Arter juga member Option kan? Berati mereka satu club, sama-sama suka modifikasi mobil juga."

"Tapi kabarnya sekarang dia hamil, cuma gak pernah posting nikah atau suaminya. Entah deh itu anak siapa."
Imbuh wanita yang sedang membersihkan makeup di sampingku ini.

"Iya bener, pernah liat periksa ke poli kandungan, terus disamperin dokter Arter. Tapi waktu Lily masuk, dokter Arter nda ikut masuk. Waktu dia masuk IGD beberapa minggu lalu, anak-anak juga bilang dokter Arter sempat nemanin Lily ini. Apa jangan-jangan..."

"Serius?"

"Ih serius dok"

Aku memutuskan keluar dari kamar mandi diikuti dengan Zahra. Pikiranku buntu, kepalaku jadi berat secara tiba-tiba setelah mendengar pembicaraan kedua wanita di toilet tadi. Apa benar Lily yang pernah mas Ian bawa ke rumahnya waktu itu hamil anak mas Ian? Apa benar mas Ian berani melakukan hal yang dilakukan suami istri sebelum ada ikatan pernikahan?

Flashback Off

Setelah menikah dan menjadi istri mas Ian, aku mau tak mau harus ikut pindah ke rumahnya. Setelah mengantarkan papa ke bandara Abdurahman Shaleh untuk kembali tugas, aku diajak mas Ian sekalian pulang ke rumahnya.

Aku peluk erat papaku sebelum melepas kepergiannya. Mencari tempat ternyaman di dada bidangnya sambil mengumpulkan aroma tubuhnya untuk stok rasa kangenku nanti.

"Mau sampai kapan ini pelukan?"
Kata papaku sambil terkekeh.

"Sudah besar Ca, sudah punya suami. Gak malu dilihat suamimu masih manja sama papa?"

"Masih kangen pa"
Jawabku manja.

"Papa sudah dipanggil tu"
Terdengar penerbangan maskapai yang dinaiki papa memang menyuruh penumpang segera untuk chek in.

Banyak pesan dari papa untukku dan mas Ian sebelum beliau pergi. Senyum papa kepadaku seolah menguatkanku pada kehidupan yang sedang aku hadapi.

"Arteria tanggung jawabmu saat ini bertambah setelah menikahi anak papa, titip anak papa, papa tau kamu pria yang baik. Papa berharap kamu akan jadi orang yang menemani putriku seumur hidup. Sebisa mungkin jangan sakiti dia, apalagi perasaannya. Jika dia salah, kasih tau pelan-pelan dia akan mengerti. Berjanjilah dengan papa kamu akan membawa selamat anak papa sampai ke hadapan Allah."
Nasehat papa pada suamiku sambil menepuk bundak suamiku lalu pamit pergi.

"InsyaAllah pa"

Aku masih diam memandangi punggung papa yang semakin menjauh, dan akhirnya tidak terlihat. Ada rasa tak ingin pisah dengan beliau, satu minggu bersamanya rasanya masih kurang bagiku mengingat aku yang jarang bisa menghabiskan waktu dengan beliau.

"Mau pulang sekarang?"
Kata mas Ian lembut. Aku hanya mengangguk dan berjalan mengikutinya.

"Capek gak?"
Tanyanya lagi setelah aku sudah masuk mobilnya. Aku menggeleng sebagai jawabanku.

"Mau belanja buat bulanan?"
Dia masih berusaha mengajakku bicara dengan sabar. Dan lagi-lagi aku hanya mengangguk menjawab pertanyaannya. Pikiranku masih menerka-nerka tentang kejadian kemarin, tentang wanita bernama Lily yang saat ini mungkin sedang mengandung anak dari suamiku...

***

Menikah dengan mas Ian baru aku ketahui bahwa ternyata pria ini terlalu rapi. Barang dirumahnya pun selalu tertata rapi dan disimpan dalam tempatnya semula. Pokoknya rumah ini terlihat bersih dan terjaga kerapiannya setiap saat walaupun tidak ada asisten rumah tangga.

Mas Ian bukan tipe pria yang selalu minta dilayani. Suamiku itu selalu siap untuk berbagi pekerjaan, bahu-membahu mengerjakan pekerjaan rumah. Seperti mencuci piring sebelum tidur. Pagi pun suami yang menghidupkan mesin cuci dan menjemur pakaian karena aku sibuk menyiapkan makanan dan membersihkan rumah.

Tapi masalahnya sekarang, aku seperti orang paranoid menjelang jam kedatangan suami pulang kerja. Aku harus memastikan tidak ada barang yang tidak pada tempatnya. Semua harus terlihat perfect dan jangan sampai mengganggu mood-nya atau dia akan membereskan tapi disertai omelannya.

"Ca, kalau habis pakai selimut diberesin lagi dong"
Katanya yang mulai mengomel.

"Maaf mas, aku kan cuma pipis sebentar terus aku balik lagi"

"Siang-siang gini pake selimut apa gak panas?"

"Dingin mas"

"Kamu masih sakit?"
Katanya sambil menatapku penuh intimidasi.

"Enggak dingin aja."

"Mau periksa?"

"Enggak mau tidur aja, emm... mas"
Pangilku ragu.

"Kenapa?"

"Aku cuma lagi ada yang dipikir aja, nanti kalau udah hilang sembuh kok"

"Mikir apa?"
Tanyanya menuntut padaku, matanya juga menatap tajam ke arahku membuat nyaliku sedikit menciut.

"Emm... enggak"

"Apa?"

"Mas... mas Ian marah gak kalau Chaca tanya sesuatu?"

"Tanya apa?"

"Emm, gak jadi deh"

"Tanya aja"
Jawabnya cuek sambil mengutak atik handphonenya.

"Tadi ada pangilan telephone di handphone mas, namanya lily..."

Aku tidak melanjutkan kata-kataku ketika aku lihat mas Ian menatapku dengan expresi yang sulit  kuartikan. Takut dengan tatapan itu, aku hanya mampu menunduk tak berani membuka suara lagi memilih diam dengan segala dugaan-dugaan yang ada. Apa benar, lily hamil dengan lelaki di depanku ini? Kenapa hatiku jadi tak tenang seperti ini? Apa aku cemburu?

"Maaf... maaf bukannya maksud ingin lancang lihat handphone mas, tapi tadi kelihatan."

Mas Ian masih setia menatapku dengan diam, tak lama kemudian dia bangkit dari duduknya dan memilih keluar dari kamar tanpa sepatah katapun yang keluar dari bibirnya. Sikapnya yang menurutku dingin walaupun kita sudah satu minggu menikah membuat aku semakin yakin bahwa dia tak pernah ada rasa kepadaku. Mungkin benar dugaanku, dia menikah denganku hanya karna tidak ingin mengecewakan kedua orangtua kami. Mas Ian hanya beberapa kali bicara denganku jika ada yang ingin dia sampaikan, atau sekedar menanggapi pertanyaanku padanya.



***

KAFELETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang