Berubah?

1.1K 54 3
                                    

Hallo guys !
21 tahun ke bawah aku sarankan skip dulu ya untuk part ini. Gak usah penasaran untuk terus membaca... aku gak mau kalian nanti bakal berfantasi kemana-mana.

Tapi kalau kalian tetap membaca... aku gak tanggung jawab ya sama fantasi kalian lo ya !

Happy Reading

***

Mas masih marah ya? Kok diam aja"
Tanyaku pada mas Ian yang kini diam di ruang tengah sambil menonton berita di televisi.

"Gak"
Katanya singkat tanpa menoleh padaku.

"Kalau mas gak izinin aku gak bakal ambil tempat magang disana kok"

Dia tak menjawabku, lebih memilih memperhatikan berita di televisi yang menayangkan tentang kasus bullying di sekolah yang dilakukan oleh anak SMP. Bahkan yang aku dengar, korban bullying itu sampai meninggal karna ulah dari sekelompok siswa itu. Sebenarnya kasus bullying ini sudah ada sejak lama, tapi mungkin zaman sekarang media lebih banyak mengekspost dari pada media zaman dahulu.

Pertanyaannya apa yang sebenarnya menyebabkan kasus bullying bisa terjadi? Mengapa di sekolah sering terjadi tempat bullying? Dan mengapa bullyng ini tetap abadi? Entahlah, aku masih belum menemukan jawaban itu. Apa mereka tidak punya hati nurani sehingga bisa melakukan hal yang kejam seperti itu?

Karna terlalu larut memikirkan pertanyaan-pertanyaan itu, tak sengaja aku menjatuhkan pilus yang sedang aku makan. Mas Ian hanya melirik tupahan pilus itu yang kini sudah tercecer di lantai tanpa berkomentar. Tumben sekali dia hanya diam, batinku, biasanya mas Ian bakal mengomel kalau aku menumpahkan sesuatu.

Dengan sedikit berlari aku mengambil sapu dan cikrak atau pengki. Setelahnya aku kembali dan menyapu pilus yang sudah tercecer di lantai tersebut. Ketika berniat akan membuang sampah di tempat sampah depan rumah mas Ian baru menegurku.

"Mau dibawa kemana?"

"Di buang"

"Dimana?"

"Tempat sampahlah"

"Di depan?"

"Iya, kenapa?"

"Pakai pakaian kaya gitu mau ke depan?"
Tanyanya lagi memandangku tak suka. Aku saat ini memang hanya memakai celana pendek sepaha dan kaos.

"Iya, kenapa?"

"Mau godain siapa kamu ke depan pake pakaian kaya gitu? Mana biar aku aja"
Katanya sambil berjalan ke arahku dan mengambil cikrakku.

"Kalau pake pakaian pendek kaya gitu jangan pernah keluar rumah"

"Emang kenapa? Kan cuma buang sampah di depan"

"Pakaianmu itu pendek Ca, diliatin orang, kamu itu gak tau pikirannya laki-laki gimana kalau lihat perempuan berpakaian seperti itu"

"Emang mikir gimana?"

"Berfantasi kemana-mana, iya kalau pikiran mereka gak liar, kalau liar terus kamu di apa-apain gimana?"

"Tapi gak semua kaya gitu kan mas? Papaku enggak tuh, biasa aja liat aku kaya gini sama tanktop doang."

"Beda Ca, itu bapak ke anak. Astagfirullah"

"Eh tapi mas juga gak nafsu tuh... berati gak semua mas."

"Kamu gak tau Ca"
Kata mas Ian ambigu sambil memalingkan mukanya, lalu duduk di sebelahku lagi.

"Gak tau apa mas?"

Tanyaku sambil mendekat ke arahnya, yang kebetulan tangan mas Ian akan mengambil remot tv di kursi sampingnya. Tetapi bukan remot tv yang mas Ian ambil, dia tidak sengaja malah menyentuh paha atasku. Aku dan mas Ian yang juga kaget akan sentuhan tak terduga ini hanya saling pandang.

"Kamu nantangin ya Ca?"
Tanyanya tanpa mengalihkan pandangannya pada pahaku, aku yang tak mengerti akan pertanyaannya hanya berkedip.

"Aku gak mau tau, kamu harus tanggung jawab"
Ucapnya lagi kali ini lebih pelan dan mendekat ke arah telingaku.

Mas Ian memandangku lama, hidung mancungnya dia tempelkan pada hidungku, sedangkan tangannya mengelus lembut pahaku. Ada rasa aneh yang membuatku geli saat tangan besar itu menyentuh bagian pahaku, debaran jantungku kini sudah tak karuan di dalam sana. Mas Ian kemudian mengelus lembut bibir bawahku dengan jari jempolnya.

Kemudian mengecup lembut bibirku itu, aku kaget dan ingin menghindarinya.. namun mas Ian kembali mengecup bibirku dan mengunci tengkuk kepalaku. Kecupan itu lama-lama menjadi lumatan dan semakin kasar. Tangan mas Ian yang satunya dia gunakan untuk mengelus pahaku lagi dan kali ini semakin ke atas, menembus celanaku yang agak longgar.

Lagi-lagi aku merasakan perasaan aneh yang membuatku geli di dalam sana. Kali ini tangannya berpindah ke bagian payudaraku, meremas lembut di sana, masih sambil melumat bibirku. Kemudian ciuman berubah menjadi kecupan-kecupan kecil di bagian leherku, hingga ke payudaraku.

"Aku mau kamu"
Kata mas Ian sambil menatapku dengan ekspresi yang sulit aku artikan.

"Mau kamu sekarang"
Katanya lagi, lalu menggendongku ke kamar.

#skip

**

Aku terbangun saat jam di dinding menunjukan pukul 00.12 WIB. Badanku rasanya seperti remuk, aku toleh ranjang sampingku, terlihat mas Ian sedang tidur pulas tanpa baju sambil memelukku. Dengan gerakan pelan, aku melepas pelukan itu, berniat ingin pergi ke kamar mandi, tapi aku malah membangunkannya.

"Mau kemana?"
Tanyanya dengan suara serak.

"Pipis"
Tanpa menjawab mas Ian melepaskan pelukannya seolah mempersilahkanku.

"Kenapa?"
Tanyanya lagi memperhatikanku yang tak kunjung turun dari ranjang.

"Mas Ian hadap sana deh, aku mau ke kamar mandi"

"Kenapa harus hadap sana?"

"Iya aku kan malu"

"Malu kenapa?"

"Aku mau pake baju dulu"

"Haha kenapa malu?"
Tanyanya sambil mendekat ke arahku...

"Kan tadi udah saling tau, udah lihat semuanya"
Katanya lagi sambil menggodaku. Tangannya kini mulai memegang pahaku lagi yang masih ada di dalam selimut.

"Mas... jangan, masih nyeri ini"

"Yang bener? Tapi enak kan?"
Tanyanya menggodaku.

"Mau pipis kan?"
Aku mengangguk menjawab pertanyaannya.

"Aku anterin, mau aku gendong? Kayanya satu ronde lagi sambil mandi di bathtup dengan air hangat enak deh sayang."

"Astagfirullah mas... gak mau."
Kataku sambil ingin menangis.

"Masih sakit"

"Pelan-pelan, gak sakit kok"

"Enggak"

Kataku kemudian turun dari ranjang dan berlari ke kamar mandi, lalu mengunci pintunya dari dalam. Bodo banget dengan rasa maluku kali ini, yang aku inginkan saat ini hanya menghindari mas Ian. Dan kurang ajarnya lelaki itu kini tertawa melihat tingkahku barusan. Sial aku di kerjain, batinku.


***

KAFELETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang