Gedung Putih

1.1K 58 7
                                    

"Caca tunggu"

Teriak Zahra yang masih bisa aku dengar, namun permintaanya itu aku abaikan. Yang aku inginkan sekarang hanya segera sampai rumah. Namun baru beberapa langkah aku keluar dari restaurant, ada tangan besar yang menahanku lalu mengenggam tanganku, aku menoleh dan ternyata itu mas Ian. Aku memberontak mencoba melepaskan gengaman itu, namun tangan besar itu cukup kuat mencengkeram lenganku.

"Lepasin"

"Lepasin, sakit."
Ucapku kemudian sambil berkaca-kaca yang membuat tangan besar itu agak mengendur.

"Diam dan nurut Ca"
Katanya pelan sambil sedikit menarikku keluar dari Mall.

"Mas apa-apaan sih, aku mau pulang."

"Iya, pulang sama aku"

"Gak mau, aku bisa pesan ojol."

"Hujan Ca"

"Gak peduli, gak mau sama kamu pokoknya."

"Lepasin"

Mas Ian tak menanggapiku, aku terus memberontak dan berdebat dengannya hingga sampai tempat parkir Mall di basement. Tanganku bisa terlepas namun beberapa detik kemudian tertangkap kembali oleh tangan kekar itu. Beberapa orang melihat kearah kami heran, sampai ada bapak satpam yang menghapiri kami karna aku terus berontak.

"Selamat sore, mohon maaf ada apa ya saya perhatikan kok ada ribut-ribut."
Tanya petugas keamanan tersebut.

"Gak papa pak, istri saya lagi badmood aja."

"Benar begitu mba?"

"Aku..."

"Permisi ya pak kami duluan."
Belum selesai aku meneruskan kata-kataku, mas Ian sudah lebih dulu menyela dan mengendongku ala kuli beras ke arah mobilnya. Membuka pintu penumpang depan dan mendudukanku kemudian mengunci kembali mobilnya agar aku tak kabur.

Bapak satpam bertubuh kekar tadi ternyata mengikuti kami. Bertanya pada mas Ian, tapi entah apa yang sedang mereka bicarakan karna aku sudah dikurung dalam mobil ini sehingga tidak bisa mendengar pembicaraan mereka. Beberapa saat kemudian mas Ian kembali membuka pintu kemudi dan dengan tenang mengendarai mobilnya.

"Aku gak mau pulang sama kamu."

"Aku udah bilang kan, aku ingin cerai."

"Aku mau pulang ke rumah mamaku aja."
Ucapku pada mas Ian sambil menangis."

"Aku mau kita cerai, aku gak mau hidup sama orang yang masih ada hubungan sama mantannya."

"Aku mau kita pisah"

"Gak akan"
Ucapnya singkat namun tegas.

"Gak akan? Hahaha aku gak mau hidup sama orang yang gak nafsu sama aku. Aku mau nikah sama pacarku aja yang jelas-jelas lebih sayang sama aku."

"Siapa pacarmu? Erik Wahyu Ningrat itu?"

"Kalau iya kenapa? Bagus kan kalau nikah sama dia... seengaknya selain disayang bakal jadi Putri Kerajaan. Dapat gelar Raden Ayu. Syukur-syukur kalau bisa ngelahirin anak laki-laki.

"Dia jauh lebih brengsek dari aku."

"Gak peduli, tapi dia sayang sama aku. Anggap aku ada gak kaya mas.. Nikahin tapi sama sekali gak pernah anggap aku ada."

"Gak usah bandingin aku sama dia. Banyak yang gak kamu tau."

"Kenapa? Fakta kan? Nikah sama mas Ian itu sulit, sakit. Mas gak pernah tanya aku dimana? kenapa belum pulang padahal hari sudah malam. Jarang banget kita terlibat komunikasi apalagi bersikap layaknya seorang suami istri. Kamu anggap aku apa mas? Kamu nikahi aku tapi kamu masih sama wanita lain."

"Kamu bilang kita bisa hidup sendiri-sendiri dulu, tapi kamu ancam Erik jika masih dekati aku."

"Kamu jahat, kamu pengecut, kamu egois, kamu brengsek, kamu buat aku picik dan berpikiran sempit. Bodohnya aku kenapa bisa sayang dengan orang sepertimu? Bodohnya aku selalu berharap kamu bisa balas perasaanku. Aku sudah capek mas sekarang, apa yang salah dariku? Apa aku gak pantas kamu cintai mas?"

"Kenapa sulit sekali aku rasain bahagia? Orang lain bisa gampang menikah dengan laki-laki yang sayang mereka, lalu mempunyai anak, dan hidup bahagia, tapi kenapa itu sulit untukku?"

"Aku mau turun, turunin aku. Aku bisa pesan ojol."

"Aku mau pulang ke mama aja."

Kataku sesengukan sambil mengambil handphone di tas, namun handphone itu diambil mas Ian dan seenaknya dia lempar ke kursi belakang. Mobil berhenti di lampu merah, beberapa saat, mas Ian menoleh kearahku. Tatapan mata sipitnya itu menajam seperti ingin menerkamku. Nyaliku menciut akan tatapannya itu.

"Mas kenapa jahat ke aku? Aku salah apa?"

"Bukannya mas mau menikah sama Lily? Sebentar lagi kan katanya... suami macam apa itu tidak pernah menyentuh istrinya tapi pacaran dengan wanita lain? Depan istrinya lagi."

"Lily hanya masa lalu Ca."
Ucapnya frustasi.

"Gak mungkin. Dia bisa kemana-mana ngintilin mas Ian, peluk-peluk mas. Sedangkan aku...."

Mas Ian berhenti di sebuah parkiran, aku yang dari tadi mengomel dan tidak memperhatikan jalan jadi bertanya-tanya ini dimana? Tempatnya tidak begitu luas namun terlihat asri. Aku memperhatikan parkiran sekitar yang terlihat sepi, namun yang membuatku tertarik adalah sosok Eva yang sedang berlari kecil dari dalam arah gedung menuju mobil mas Ian.

"Ini dimana?"

Tanyaku pada mas Ian, namun dia hanya menoleh ke arahku sekilas lalu keluar dari mobil dan menghampiri Eva. Aku tak berminat keluar mobil walaupun aku sedikit penasaran apa yang sedang mereka bicarakan. Tidak lama kemudian mas Ian membuka pintu mobil penumpang di sebelahku dan menyuruhku turun, namun aku tetap diam memperhatikan Eva yang berada di depan mobil sedan ini.

"Jalan sendiri apa mau saya gendong lagi Ca?"

"Dek, sorry aku ngerepotin lagi. Bisa minta tolong bukain pintunya?"

Kata mas Ian pada Eva. Eva mengangguk lalu berjalan lagi ke arah gedung. Aku yang tidak mengerti maksud kakak adek ini menoleh pada mas Ian, mas Ian menatapku juga lalu menggendongku lagi masuk ke dalam gedung berwarna putih tulang itu. Aku memberontak namun tetap saja tenagaku kalah dengan laki-laki ini, dia membawaku memasuki sebuah kamar.

"Thanks dek"
Kata mas Ian pada adeknya di ambang pintu, aku lihat dengan samar Eva tersenyum padaku kemudian menutup pintu kamar itu.


***

Agak nyebelin sih memang si Arter ini ya?
Kira-kira mereka ada rencana apa ya buat Caca? Kalian penasaran gak sih? 😂

Jangan lupa vote and coment ya...
Thank you

KAFELETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang