Tiga hari tidak bertemu mas Ian, tiga hari juga mas Ian tidak mengabariku sama sekali. Dalam hati, tentu saja aku bertanya, dalam pikiran... tentu saja ada rasa curiga. Sesibuk itu kah dia? Atau tidak pentingkah aku dimatanya? Sehingga dia sama sekali tidak memberiku kabar dan membalas pesanku?
"Calista sendirian aja"
Tegur Gilang yang tiba-tiba sudah duduk di sampingku."Mau ngapain ke Fakultas Hukum?"
Tanyaku padanya yang senyum-senyum melihatku."Apel"
"Apel? Ngapain disini? Gak ada upacara disini."
"Hai... Hallo"
Sapa Zahra yang baru datang dari arah parkiran."Nah ini yang mau tak apelin Ca. Akhirnya setelah sekian lama aku menjomblo kena juga dia Calista"
Kata Gilang bersemangat dengan senyum-senyum khas orang kasmaran."Uh sayangnya mas Gilang, sini duduk. Sudah makan belum sayang?"
"Alay... gilo"
Kata Zahra sadis membuat kita tertawa bersama."Udahlah mau pulang... pening kepalaku, mual juga denger Gilang gombal terus."
"Hahaha hati-hati Ca"
"Bawa mobil apa naik ojol Ca?"
Tanya Gilang padaku saat aku masih sibuk membalas chat dari mama."Mobil.."
"Gila emang, Caca gak pernah bawa mobil... sekali bawa BMW. Om doktermu emang kaya ya... yaudah sana pulang, dijaga baik-baik atm berjalanmu itu Ca."
Kata Gilang meledekku."Suamiku masih muda ya, mas bukan om. Tolong"
"Hahaha kan lebih tua dari kita"
"Selisih enam tahun doang, tapi kan wajah masih ganteng dan muda. Gak boros kaya lu Gilang."
"Astaga Caca... hahaha"
Zahra tertawa berbahak-bahak mendengar ledekanku, sedangkan yang di ledek manyun."Wes pergio sana... mau pulang aja ngasih sangu omongan pedes Ca."
Kata Gilang mengusirku.Aku tertawa lalu berjalan ke arah parkiran, menghidupkan mobil itu dan mulai mengemudi jalanan kota Malang yang Alhamdulillah lancar walaupun padat. Tapi ketika aku sedang di lampu merah dan akan memasuki kawasan Araya, aku melihat mobil Pajero Dakar 4x4 Diesel warna hitam dengan plat nomor N 141 IAN sedang keluar dari kawasan Perumahan Araya.
"Itu kan mobilnya mas Ian"
Kataku berbicara dengan diri sendiri."Mau kemana? Apa aku ikuti aja ya?"
Aku memutuskan untuk mengikuti mobil Pajero tersebut, namun dengan jarak agak jauh. Setelah sekian menit mengendarai dengan sedikit ugal-ugalan karna mas Ian mengendarai mobilnya dengan kencang, akhirnya kami sampai di kawasan Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang.
"Ngapain mas Ian ke RSJ?"
Batinku, tapi aku tetap mengikutinya secara sembunyi-sembunyi. Dia berjalan sambil bertelephone, kemudian masuk ke dalam IGD. Aku menimbang-nimbang lagi akan ikut masuk atau tidak, tapi karna rasa penasaranku yang tinggi... aku putuskan untuk masuk.
Ketika aku masuk, aku menemukan pemandangan yang sama sekali tidak pernah aku duga sebelumnya. Aku melihat di bed nomor dua, mas Ian sedang di peluk wanita. Bisa aku lihat dari sini bahwa wanita itu adalah Lily. Iya benar Lily... dia saat ini sedang berbaring di brangkar sambil memeluk suamiku. Jantungku berdebar melihat pemandangan itu, kepalaku dan wajahku terasa panas. Dengan berjalan tenang, aku hampiri brangkar itu, namun keduanya masih tidak sadar akan hadirku.
"Jangan tinggalin aku lagi Ian, Please"
Kata Lily sambil menangis."Aku tersiksa Ian tanpamu, kembali padaku Please"
"Iya enggak"
Kata mas Ian singkat, namun mampu membuatku pias dan merasa panas."Janji?"
"Iya"
"Tapi kamu sudah beristri"
Katanya mulai menangis lagi, kali ini matanya menatap kearahku."Iya"
"Tinggalin dia untukku"
Katanya lagi masih menatapku."Iya gampang, nanti kita cari jalan keluarnya"
Lily tersenyum kearahku, menampilkan senyum kemenangan membuatku lemas tapi juga emosi."Gak perlu Ian, dia sudah tau"
Katanya ambigu sambil melepas pelukannya."Maksudnya?"
"Istrimu sudah tau Ian, kita bisa lanjutkan hubungan kita dan biarkan dia mundur sendiri. Itu dia"
Ucap Lily tersenyum sambil menunjuk ke arahku.
Dengan gerakan cepat, mas Ian menoleh ke arahku.. lalu berjalan ke arahku."Caca"
"Ternyata mas gitu ya dibelakangku?"
"Ca"
"Oke... it's oke"
Kataku lalu aku berjalan keluar IGD, tapi mas Ian menarik tanganku saat kita sudah di luar IGD, dan memaksa memasukanku kedalam mobilnya."Ca, kita perlu bicara"
"Bicara apa? Gak ada yang perlu dibicarakan."
"Caca"
"Apa mas? Aku udah dengar dan lihat semuanya"
"Semua itu gak bener Ca"
"Gak bener?"
Aku tertawa mendengar ucapan mas Ian, namun tawaku mereda mengingat semua yang dia lakukan di dalam IGD tadi. Mataku terasa panas, air mataku tiba-tiba mengalir dengan derasnya."Ca.."
"Mas aku gak buta... aku juga gak tuli."
"Gak usah sulit-sulit cari cara buat menjelaskan padaku. Silahkan kamu lanjut dengan dia."
"Caca, dengar dulu"
"Ssst... mas, dari awal aku sadar kamu tidak pernah mencintaiku. Dari awal aku sadar kamu terpaksa menikahiku, dan dari awal aku juga harusnya sadar bahwa kita gak akan mungkin bertahan lama."
"Harusnya kamu bilang mas, aku dengan suka rela akan melepasku. Tapi kenapa kamu jahat banget sih mas sama aku?"
"Ketika hatiku udah terlalu kering, kamu siram terus seolah aku punya harapan, seolah kita adalah keluarga bahagia yang akan terus semi. Dan ketika aku sudah berharap padamu, kamu tiba-tiba ngasih hadiah seperti ini"
"Kamu jahat banget sih mas... hiks"
"Ca... kita bicara didalam mobil yuk"
Katanya sambil menarik tanganku."Gak... gak mau"
"Caca, dengar aku dulu"
"Gak mau, aku sudah dua kali lihat kamu pelukan sama wanita itu. Aku sudah gak mau lagi, dengan sadar diri aku akan pergi mas"
"Caca"
"Oh iya, ini kunci mobilmu, ini kunci rumahmu. Barangku sementara titip dulu, nanti biar diambil mba Sri"
"Ca... jangan gitu sayang"
Mas Ian memaksaku dengan terus menarik tanganku, aku memberontak, berusaha melepaskan tubuhku dari pelukannya. Namun lagi-lagi aku kalah.
"Please jangan gini sayang, kita bisa bicarakan dengan baik."
"Gak mau"
"Lepas"
"Lepasin aku"
"Aku gak mau dipaksa-paksa lagi."
"Aku capek mas"
Ucapku dalam tangis."Kita bicarakan ini baik-baik ya di rumah, sekarang pulang sama mas ya."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
KAFELE
Teen FictionMenceritakan perjalanan cinta seorang gadis yang selalu gagal dalam urusan cinta. Sampai akhirnya dia terlibat dalam perjodohan orangtuanya. "Perjalanan hidup mengajarkan banyak hal, tak hanya membangun, tapi juga bisa menghancurkan. Kita yang meras...