Keceplosan?

1.2K 83 9
                                    

"Gak jadi nangis Ca?"
Katanya sabil menyiapkan alat-alat yang entah apa saja itu di lemari belakang kursi dental ini.

"Mas Ian jangan ngeledek gitu dong, udah mencoba berani ini. Percuma nangis juga, gimana-gimana aku bakal kalah dan harus nurut sama kamu."
Dia tertawa menanggapiku, kemudian dia duduk di kursi kecil sebelah kursi dental yang sudah aku duduki.

"Kemarin kamu mata-matain aku ya?"
Tanyanya tiba-tiba sambil mencarikan film di netflix yang bakal aku lihat di monitor kecil depanku saat mas Ian melakukan aksinya, yaitu mengobrak-abrik gusi dan gigiku.

"Hah? Kapan sih mas? Ngapain juga?"

"Kemarin kamu ke klinik kan? Sebelah rumah mama?"

"Iya... mas tau?"

"Tau dong"

"Tau dari Zahra? Atau sus Mega?"

"Enggak, aku lihat sendiri pas mau masuk poli gigi. Tapi Mega juga cerita sih lihat kamu di sana sama temanmu. Zahra juga cerita."

"Berati mas ngenalin aku waktu itu? Tapi kok diam aja?"

"Kamunya ngalihkan muka, sambil benerin masker. Aku kira kamu lagi nyamar atau apalah itu. Yaudah pura-pura gak tau aja biar kamu seneng."

"Hahaha... Zahra cerita apa mas?"

"Cuma bilang tadi sama kamu kesitunya, tapi kamunya udah pamit pulang dulu"

"Oh... mas, masak kata Zahra tu udah keliling klinik, tanya-tanya biaya operasi gigi bungsu gitu katanya dua juta sampai lima juta biaya tindakannya operasinya aja. Belum konsultasi, obat dan biaya kontrol lepas jaitan. Emang semahal itu ya mas?"

"Rata-rata segitu"

"Oh, berati uangnya mas banyak dong? Gajinya gede dong ya?"
Dia hanya tersenyum menanggapi pertanyaanku sambil menyedot obat di dalam ampul menggunakan spuit.

"Kepo kamu... dah tidur sini"

"Yah... mas, harus ya disuntik dulu?"
Tanyaku padanya yang tiba-tiba tegang melihat dia memegang spuit dan kaca mulut.

"Haruslah, biar kamu gak merasakan sakit"

"Ayok Ca, kalau kamu nurut gak akan lama."

"Aduh, mas aku jadi berubah pikiran deh, cabutnya ditunda dulu kali ya? Aku gak punya uang e buat bayar konsul, apalagi tindakan buat operasi giginya."

"Utang dulu gak papa kalau kamu"

"Nanti kalau aku gak kuat bayar utangnya gimana mas?"

"Gak papa aku ikhlas, udah ayok Caca, cepetan."
Ucap mas Ian yang mulai tak sabar menghadapiku yang berbasa-basi

"Sabar atuh mas"

"Mas... mas dulu itu pas aku habis cabut gigi, pasti dokternya ngasih hadiah gitu. Ini nanti aku juga dikasih hadiah?"

"Iya, nanti pilih sendiri di lemari bawah situ. Udah ya buka mulutnya"

"Tegang banget muka kamu Ca, relax ya. Sakitnya cuma pas nyuntikin bius aja kok. Buka lebar lagi yuk, gak papa sebentar aja kok sakitnya."

"Pinter... satu lagi ya"
Katanya santai namun matanya menatap serius. Aku merasakan jarum itu menembus gusiku, namun beberapa detik kemudian aku merasakan gusiku jadi mati rasa.

"Sambil nunggu biusnya, scaling dulu ya Ca?"
Aku tak menjawab, karna aku tau mas Ian sebenarnya bilang begitu hanya untuk basa-basi saja. Kalaupun aku menjawab tidak dengan menggelengkan kepalaku, mas Ian tetap akan memaksaku lagi dan lagi.

Setelah beberapa menit mendengarkan suara seperti bor yang mengilukan itu, aku merasakan gigiku di geraham atas mulai diongkek, terasa seperti mendengar suara akar pohon kalau dicabut "kreek" gitu di dalam mulut, cuma sebentar saja dan akhirnya berhasil tercabut tanpa rasa sakit, Alhamdulillah. Setelahnya, aku merasakan gusiku seperti di tarik-tarik saat suamiku itu menjahit luka yang ada di gusiku.

KAFELETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang