07 ;

4 2 0
                                    

"Uh.. lihat, itu si penyihir.."

"Menyeramkan.."

"Matanya menakutkan!"

"Kenapa gadis itu masih ada disini sih.."

"Apa kita harus mengusir paksa keluarga mereka?"

Kaki kecilnya terus melangkah, kepala menunduk membiarkan helai rambutnya menutupi pandangan, 'Tak apa ... abaikan saja ...' batinnya.

Setelah menjauhi keramaian, langkahnya terhenti bertepatan dengan sekelompok anak lelaki yang menghalangi jalannya.

"Hei jelek! Kenapa kau tidak pergi dari sini sih? Mata merahmu itu membawa kesialan!"

"Sawah milik orang tua ku mengalami gagal panen setelah kau bermain disana tau!" Anak itu menunjuk nunjuk gadis kecil yang masih menunduk itu.

"Oi, aku tak pernah dengar kau tuli atau bisu?" Dengus anak lainnya.

"Membosankan.."

Anak berbaju biru melangkah maju, menatap gadis itu datar lalu menjambak rambutnya kasar memaksanya mendongak.

"Akh!"

"Kenapa diam? Apa kau takut?" Bocah itu menyeringai, tertawa saat mata merah itu mendelik tajam.

"Le— lepaskan!"

"Melepaskan mu? Hah! Mimpi saja."

Anak anak itu tertawa lepas, sedangkan sang gadis hanya pasrah membiarkan dirinya menjadi mainan mereka.

"Tcih, kenapa kau hanya diam sih? Tidak seru." Gadis itu tak bergeming, enggan menjawab.

"Hei, jangan mengacuhkanku sialan!" Geram anak itu menarik kerah baju sang gadis kecil.

SWUSSHH..

TAKK!

"Argh!" Anak berbaju biru itu meringkuk memegangi kepalanya yang terkena batu

"Urghh.. hiks.. sakit!"

"Apa itu tadi?!"

Tap!

Anak anak itu menoleh, ketakutan saat sesosok gadis lain sedang berdiri menatap tajam mereka.

"Dia datang!.."

"H hei, s sebaiknya kita pergi saja.."

"I iya, ayo!"

"Urh... Hiks.. awas saja kau! Ku adukan ke ibuku!"

Sekelompok bocah itu pun pergi meninggalkan kedua gadis kecil itu. Yang bersurai hitam berjalan mendekat, berjongkok di depan surai putih lalu mengusap ngusap kepalanya.

"Kau tak apa?" Tanya si surai hitam.

"Umh.. ya, terimakasih sudah menolongku lagi." Si surai putih tersenyum, di balas dengusan dari yang lainnya.

"Harusnya kau melawan saja, mereka itu tidak jauh beda dari anak ayam yang mengadu pada ibunya saat mainan mereka di ambil."

"Memangnya anak ayam punya mainan?"

Surai hitam mengendikkan bahu, "entah, sudahlah ayo kita pulang, ini sudah sore." Surai putih terjengkit kaget saat saudarinya menggendongnya tiba tiba.

"Hei! Turunkan aku!"

"Tidak. Aku tau kakimu sakit, biarkan seperti ini saja."

"Tapi—"

"Berisik."

"Menyebalkan!.. terserahmu saja deh.." ia menyandarkan kepalanya pada bahu surai hitam lalu tersenyum tipis.

Autumn MemoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang