18 ;

6 1 0
                                    

Kedua remaja itu duduk berhadapan, Hiro dengan tenang meminum teh nya, berbeda dengan Sora yang terdiam menunduk.

"Kau.. masih melanjutkan ritual itu?" Sora melirik Hiro yang menatapnya serius, sontak pemuda bersurai navy itu mengangguk, "aku akan melaksanakannya beberapa hari lag—"

TRAK!

Sora tersentak saat Hiro meletakkan gelasnya kasar, pemuda itu menatap Sora dengan senyum dingin.

"Kau bisa mati."

"Aku tau."

"Kenapa masih di lakukan?" Sora memalingkan pandangannya, melihat itu Hiro merasa kecewa. Ia merasa sia sia berusaha mempertahankan Sora jika pemuda itu dengan mudah menyerahkan nyawanya demi 'ritual' bodoh itu.

"Tubuhmu semakin lemah Sora.. bahkan jika kau melepaskan Rei—"

Pemuda itu berdiri, menatap tajam Sora yang masih tetap dalam duduknya, "—kau akan tetap mati di tanganku."

Deg!

Manik biru Sora terbelalak, dalam sekejap mata Hiro sudah berada tepat di depannya, "tunggu ap— ARGH!"

Sora bergetar saat merasakan sebuah benda menembus ke tubuhnya membuat pemuda itu ambruk seketika, Hiro dengan raut sendu menatap Sora.

"Maafkan aku, Sora. Tapi membunuhmu adalah pilihan yang tepat daripada mati karena ritual konyol."

Sora mendelik, keringat dingin terus bercucuran bersamaan dengan darah yang mengalir membuat genangan di antara tubuh pemuda itu.

"K kau menyebalkan—"

Hiro tersenyum, matanya melirik secarik kertas— atau lebih tepatnya surat? tergeletak tak jauh dari tempatnya.

"Surat itu.. Rieyu?"

"Hm.. yah aku tidak terlalu peduli sih,"

Hiro tersenyum lebar, "apapun itu, aku bersyukur telah mengenalmu."

"Tidur nyenyak, Sora."

___

Gadis bersurai pirang itu tersenyum riang, ia terus melangkah dengan tangannya yang menenteng sebuah paperbag.

Tepat setelah menyebrangi rel, Yoi menjatuhkan paperbag nya, matanya membola menatap Rei yang tampak mengerang kesakitan dengan Leon— dengan wujud Haruo nya yang menunjukkan raut panik.

"Ryoko... RYOKO-SENPAI!?"

Dengan tergesa-gesa gadis itu menghampiri Rei, namun dengan cepat Haruo mencegahnya, "Jangan mendekat."

"Kenapa? Ryoko-senpai membutuhkan bantuan!"

Haruo menggeleng, "Wadahnya telah hancur, itu membuat energinya melonjak tiba tiba. Kau bisa mati jika terus berada di dekatnya."

"Itulah kenapa dia harus di lenyapkan."

"Siapa itu?!" Haruo memasang posisi waspada.

"Aku? Shimazaki Hitomi."

Dari semak semak, seorang gadis bersurai navy berjalan mendekat. Matanya menatap tajam wujud Rei yang berubah menyeramkan. Tangannya terangkat menunjuk ke arah Rei.

"Dia harus segera di lenyapkan. Jika tidak, akan lebih banyak orang yang menjadi korbannya."

Yoi mendelik, "Ryoko-senpai tak pernah membunuh orang!" Hitomi menatapnya dingin.

"Apa kau bodoh? Tentu saja itu karna sebagian energinya di segel ke dalam tubuh Yuuto, itu membuat jiwa manusianya tetap ada."

"Aku cukup heran darimana ia mendapatkan kekuatan sebesar itu, padahal dia hanya arwah penunggu biasa."

"Sudah ku duga akan jadi seperti ini. Seharusnya bocah itu melenyapkannya lebih cepat sebelum menghancurkan wadahnya." Keluh Hitomi, kakinya bergerak mendekati Rei.

"Bunuh bunuh bunuh bunuh.. BUNUH!!" Rei terus bergumam, gadis itu bergerak menerjang Hitomi yang berada di depannya. Sontak debu mengepul menghalangi pandangan Yoi dan Haruo.

"Ah, kau menahan diri ya? Baiknya~ tapi.. akan lebih mudah mengusir mu jika kau mengeluarkan seluruh kekuatanmu."

"YOI!"

"Eh?" Gadis itu membatu, masih berusaha memproses apa yang terjadi, Hitomi tersenyum remeh, memegangi pundak gadis bersurai pirang itu.

"Bagaimana jika menyaksikan langsung kematian orang terdekat mu?" Yoi merinding saat Hitomi melirihkan suaranya, senyumnya melebar saat mengetahui Rei yang menggeram marah.

"AKKHHHH!!"

"YOI!" Haruo berlari mendekat, namun dengan cepat Hitomi melempar tubuh Yoi ke arahnya. Dengan cepat pemuda itu menangkap tubuh sang gadis yang mulai melemas.

Srek!

Hitomi bergerak menghindari serangan Rei yang terkesan tiba tiba, ia menyeringai merasakan luapan energi Rei semakin kuat.

"Mari bersenang senang.. Ryoko."

___

Gadis bersurai putih itu melangkahkan kakinya menyusuri trotoar, dengan mengenakan Hoodie hitam, Akari menghela nafas lega setelah berhasil menyelinap keluar rumah.

"Aku harus bertemu Rei.." gumam Akari.

Langkah kakinya semakin cepat, dari kejauhan Akari dapat melihat 3 pemuda yang ia kenali. Merasa penasaran, Akari sedikit menguping percakapan mereka.

"Kau menangkapnya?"

"Yah begitulah, kurasa adikmu itu semakin tangguh setelah kematian keduanya. Aku sampai kewalahan menghadapinya."

'Adik? Kenzie-san memiliki adik?' Akari mengeryit, menatap intens sosok pemuda yang di tanyakan.

Kenzie terkekeh, "Kazumi adalah gadis yang hebat. Aku tau dia tak akan mengulangi kesalahan yang sama."

"Berbeda sekali dengan seseorang. kan, Akeru?"

"Benar."

"Aku tau siapa yang kalian maksudkan dasar sialan." Kenzie tersenyum kesal.

"Bagus kalau kau sadar. Miris sekali nasib Kazumi, dia akan di lenyapkan dengan tangan kakaknya sendiri~"

"Seperti kau tidak pernah melakukannya saja."

"Berisik!"

"Sudahlah, masih banyak hal yang harus kita lakukan. Ayo bergegas." Akeru melerai, ketiga pemuda itu pun pergi meninggalkan Akari yang mematung.

'Kazumi..? Adik? Menangkap..? Kematian kedua? Apa semua ini!?'

"Kenzie-san tidak benar benar serius kan..? Kenapa dia ingin melenyapkan adiknya sendiri? Seharusnya dia senang adiknya hidup kembali!"

"Ah.." Akari tersentak, ia baru menyadari sesuatu. "Kematian kedua..? Jadi gadis yang di berita itu.."

"Tidak mungkin, itu Kazumi.. kan?" Gadis itu menggigit bibirnya frustasi, "ah iya!"

"Rieyu.. dia pasti tau sesuatu..!"

"Benar.. aku harus mencari Rieyu!" Akari memantapkan tujuannya, ia mulai berbalik sebelum sebuah tangan memegang pundaknya membuat Akari menghentikan pergerakannya.

"Akari? Apa yang kau lakukan disini?"

Deg!

- Page 18 end -

Autumn MemoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang