19 ;

7 2 0
                                    

"Akari? Apa yang kau lakukan di sini?"

Jantung Akari berpacu, dengan patah-patah dia menoleh ke belakang. Menatap si pemilik suara, rautnya terlihat takut dan kaget.

"Ka-Kazumi!!" pekiknya tertahan. Membuat pemilik nama mengernyit heran. "Kenapa? Kamu seperti melihat hantu saja?"

"Ah ... Uh ..." Keringat dingin membasahi pelipis Akari, dia menunduk. Berusaha tidak membuat kontak mata dengan Kazumi.

'Apa yang harus aku lakukan? Apa aku ... harus lari?'

Puk! Mengangkat kepala, Akari terkejut tangan Kazumi berada di atas surai putihnya. Manik hijaunya tampak berbinar kala gadis bersurai hitam itu tersenyum.

"Maaf untuk yang kemarin ya, aku sepertinya salah mengambil keputusan untuk memakai cara kasar."

"Ah ... tidak apa-apa ..." Kazumi mengelus pucuk kepala Akari lembut. "Apa kamu sudah mengingat semuanya?"

"Belum semua ..." Mata Akari melebar, menatap Kazumi dengan air muka terkejut. "Tu-tunggu bukankah Kenzie-san bilang ... kamu ... di tangkap?"

Manik ruby itu mengedip cepat, setelahnya dia tertawa kecil. "Apa sengatan panas membuat otakmu melambat? Harusnya menanyakan itu saat kamu baru melihatku." Akari cemberut, raut Kazumi berubah serius.

"Yah, memang sih. Untungnya aku punya bawahan yang bisa di andalkan. Jadi ... itu bukan masalah besar."

"Bawahan ...?" Kazumi hanya tersenyum menanggapi, dia menatap sekitar.

"Akari ..." Nada serius Kazumi membuat Akari menelan ludah. "... Aku ingin minta tolong padamu."

"A-apa itu ...?"

Kazumi menoleh ke Akari, lalu membuka suaranya.

"Tolong ... selamatkan Rei untukku."

-

Suara ketukan pintu terdengar tanpa sedikit jeda, terdengar suara khawatir wanita paruh baya akan keadaan tuannya itu. Sora meringis melirik pintu yang di tahan dengan berbagai macam benda, lalu maniknya bertemu pemuda bersurai cokelat itu.

Mata Sora mulai meredup gelap, darahnya terus mengalir keluar bersamaan dengan napas semakin tercekat. Keringat dingin semakin bercucuran disusul tubuh yang mulai pucat pasi dan suhu sedingin es.

"Maaf Sora, tapi aku harus mengambil keputusan seperti ini agar kejadian itu tidak terulang."

Sora tidak peduli, sungguh. Pikirannya kosong, sekelibat cinematic menayangkan saat-saat dirinya bertemu dengan gadis itu. Dia adalah Rei. Gadis yang masuk ke dalam hidupnya, lalu merubah segalanya.

"Halo, halo~ perkenalkan aku Rei, Ryoko Rei. Senang bertemu denganmu, Sora~!"

"Sora! Ayo kita beli es krim, hari ini sangat panas~ rasanya aku bisa mati kapan saja!"

"Sora, sebenarnya ... ritual apa yang sering Amia-san bahas sih?"

Orang bilang, di detik-detik terakhir sebelum kematian, seseorang akan dihadapkan oleh kenangan masa lalunya. Apakah ini akhirnya? Jika boleh, Sora ingin semua tidak pernah terjadi. Entah itu dari pertemuan, bahkan persahabatan. Setidaknya itu membuatnya terlepas dari masalah besar ini.

Tapi di sisi lain, dia senang dengan semua itu. Walaupun ujungnya hanya menjadi kenangan semata, dia sangat berterimakasih.

Untuk orang-orang yang telah hadir mengisi kehidupannya.

Bibir pucat itu melengkung seperti bulan sabit, manik biru yang kini menggelap mulai tertutup perlahan. Setidaknya dia harus mengucapkan sepatah kata ataupun selamat tinggal. Untuk salah satu teman-ah, sahabat yang dulu bersamanya.

Autumn MemoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang